Wednesday, February 20, 2013

BAI'AT

BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
       Bai’at merupakan sisi kegiatan politik paling menonjol yang dilakukan oleh umat. Bai’at merupakan tiang pancang bagi sistem hukum dan bahkan dalam sejarah Islam pada zaman Rasulullah SAW, bai’at mendahului pendirian suatu negara. Bai’at merupakan dasar masyarakat politik Islam dan perangkat untuk menyatakan kelaziman kepada jalan dan syari’at Islam.
       Baiat juga adalah dikenal dengan suatu perjanjian atau sumpah setia untuk menyakinkan orang agar orang itu berbuat yang benar dan masuk islam. Baiat itu juga berguna untuk amanah seseorang yang membaitatkan posisi atau jabatannya sebagai pemimpin misalnya, akan tetapi baiat ini tidak hanya untuk seorang pemimpin saja akan tetapi untuk kepercanyaan seseorang atau masyarakat yang dibaiati oleh pemimpinnya dalam hal untuk memajukan agama.
       Pertama bagi masyarakat yang dibaiati itu harus memiliki sikap yang faham dengan pemimpinnya dalam hal agama islam kefahaman itu penting karena memahamkan orang itu sangat sulit itu tugas seorang pemimpin yang harus bisa memahamkan masyarakatnya.
       Kedua orang yang berbaiat harus ikhlas karena semua itu harus didasari dari keikhlasan agar segala sesuatunya atau perjanjian dan sumpah misalnya kalau didasari dengan keikhlasan akan menjadi sesuatu yang baik dan benar bahkan masyarakatpun akan merasa tenang dan merasa puas dalam hatinya kalau semua itu didasari oleh keikhlasan.
       Ketiga baiat adalah pengorbanan maksud pengorbanan disini adalah bila pengorbanan perjanjian dengan memperoleh sesuatu yaitu untuk menuju keislaman yang baik dan benar dan dengan tujuan untuk memeroleh pahala dari Allah SWT.
       Keempat baiat ini juga dikenal dengan mempercanyai seseorang sebagai pemimpin dan kepercanyaan itu harus didasari dengan keikhlasan yang adadalam pemimpin untuk sesuatu pengemban tugas dari masyarakat yang mempercanyainya atau amanah dari masyarakat.
       Bai’at merupakan janji setia terhadap sistem politik Islam atau kekhalifahan Islam, serta kesetiaannya kepada jama’ah kaum muslim dan kepatuhan kepada pemimpin. Bai’at juga merupakan janji setia manusia yang mencakup tiga pihak yaitu khalifah sendiri, pelaku bai’at (umat), dan sesuatu yang dibai’ati, yaitu syari’at agama.
       Dalam makalah ini kami akan menjelaskan dan mengkaji secaraebih dalam  tentang apa pengertian dari bai’at serta permasalahan- permasalahn yang ada di dalam bai’at.
       Karena baiat ini sangat penting sekali dalam kita memilih pemimpin yang dapat dipercanya dan dengan hati yang ikhls para pemimpin juga yang dipilih oleh masyarakat ini akan menjadi pemimpin yang menggunakan kepemimpinannya dengan benar dan amanah dari masyarakat untuk pemimpin kita akan tercapai dengan baik dan benar.
       Bagaimana cara memilih pemimpin yang tepat dan bagaimana cara penentuannya semua itu akan kita kaji disini dalam masalah bai’at. Dari sejarah bai’at juga kita akan mengetahui tentang cirri-ciri pemimpin jaman dahulu dan bagaimana cirri-ciri pemimpin jaman sekarang kita bisa bandingkan dan akan kita kaji lebih dalam dalam makalah ini.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah pengertian bai’at?
2.      Apa saja permasalahan- permasalahan dalam bai’at?
BAB II
PEMBAHASAN
A.     PENGERTIAN BAI’AT
       Al- bai’ah secara etimologis berasal dari kata by ‘a (menjadi ba’a) yang berarti menjual. Bai’at adalah kata jadian yang mengandung arti “perjanjian”, “janji setia” atau “saling berjanji dan setia”, karena dalam pelaksanaannya selalu melibatkan dua pihak secara sukarela. Bai’at juga berarti “berjabat tangan untuk bersedia menjawab akad transaksi barang atau hak dan kewajiban, saling setia dan taat”. Bai’at juga dapat diartikan perjanjian, penyumpahan, pengukuhan, pengangkatan, penobatan[1].
       Secara terminologis ada beberapa definisi bai’at yang dikemukakan oleh ulama, diantaranya:
1.       Ibnu Khaldun (w. 808 H/1406 M), sosiolog muslim, bai’at adalah “perjanjian orang berbai’at untuk taat melakukan sumpah kepada pemimpinnya bahwa ia akan menyelamatkan pandangan yang diembannya dari pemimpin, baik berupa perintah yang disenangi atau tidak disenangi”
2.      Dr. Munir al- Ajlani (ahli sejarah hukum dari Universitas Suriah), bai’at menghendaki seorang manusia menyatakan kerelaan dan kepatuhannya terhadap khalifah, bukan pemilihan, penyerahan atau pendelegasian terhadap khalifah.
3.      Ibnu Manzur (630- 711 H; ahli fikih), bai’at adalah ungkapan perjanjian antara dua pihak yang seakan-akan salah satu pihak menjual apa yang dimilikinya, menyerahkan dirinya dan kesetiaannya kepada piihak kedua secara ikhlas dalam urusannya.
4.      Imam Muhammad Abu Zahrah (ahli fikih dari Mesir), bai’at merupakan syarat yang disepakati oleh mayoritas umat islam Suni dalam pemilihan kepala negara yang dilakukan oleh ahl al- hall wa al- ‘aqd sebagai wakil umat.

       Secara umum bai’at merupakan transaksi perjanjian antara pemimpin dan umat islam dalam mendirikan daulah islamiyah sesuai dengan Al- Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Dengan kata lain bai’at merupakan perjanjian atas kepemimpinan berdasarkan sistem politik islam modern, bai’at merupakan pernyataan kecintaan khalayak ramai terhadap sistem politik islam yang sedang berkuasa secara optimis.[2]
       Bai’at dalam kerangka umum mempunyai tiga unsur pokok:
a.       Pihak yang mengambil bai’at
b.      Pihak yang memberikan bai’at kepada orang yang menjadi pemimpin, seperti ahl al- hall wa al- ‘aqd secara khusus dan mayoritas umat islam secara umum.
c.       Topik bai’at, yaitu mendirikan khilafah islamiyah sesuai dengan Al- Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
       Adapun ayat- ayat Al- Qur’an dan hadits- hadits yang menerangkan dan membicarakan tentang bai’at, baik yang berisi aturan untuk berbai’at maupun ancaman bagi yang meninggalkannya. Tetapi bai’at yang disepakati ialah bahwa bai’at yang terdapat di dalam hadits- hadits adalah bai’at kolektif dan tidak diberikan kecuali kepada pemimpin muslim yang tinggal di bumi dan menegakkan khilafah (pemerintah) islam sesuai dengan manhaj kenabian yang penuh dengan berkah. Ayat- ayat dan hadits- hadits tentang bai’at secara ringkas:

QS. Al- Fath: 10
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيما

Sesungguhnya orang- orang yang berjanji setia kepadamu, mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janijinya, niscaya akibat melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberi pahala yang besar”.
QS. Al- Fath: 18
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحاً قَرِيباً
Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang- orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)”.

Di dalam as- sunnah:
Barangsiapa mati dan dilehernya  tidak ada bai’at, maka sungguh dia telah melepas ikatan islam dari lehernya” (dikeluarkan oleh Muslim dari Ibnu Umar).

       Bai’at dikelompokkan dalam dua bentuk:
1.      Bai’at khusus yaitu suatu bai’at yang dilakukan oleh ahl al- hall wa al- ‘aqd. Ia merupakan suatu pengangkatan imam dengan teknik pemilihan atas mereka. Bai’at ini dilakukan dengan cara memaklumatkan persetujuan mereka terhadap imam. Bai’at ini merupakan pendahuluan atas bai’at umum, baik dari sudut waktu maupun pengertiannya, akan tetapi bai’at khusus ini tidak dianggap sah oleh syara’ kecuali melalui jalan pemilihan bebas, tanpa paksaan.
2.      Bai’at umum yaitu suatu bai’at yang berlangsung setelah bai’at khusus, berlaku untuk masyarakat umum. Disini pemimpin atau khalifah telah siap untuk mengambil bai’at dari rakyat atau wakil- wakilnya. Bai’at ini merupakan suatu pernyataan atau ikrar kesetiaan, ketaatan dalam pengakuan dalam pemerintah yang berkuasa serta tidak keluar dari jama’ah.[3]
       Jama’ah sendiri adalah organisasi atau gerakan dakwah yang tersebar di banyak penjuru dunia islam saat ini. Sedangkan “jama’atul muslimin” yang bersatu membai’at seorang pemimpin muslim, menurut nash- nash yang ada mempunyai maksud yang lain. Karena pemaknaan jama’ah dalam nash sebagai organisasi memberi pengaruh pada tindakan, sikap dan emosional sebagian besar orang yang terlibat dalam gerakan dakwah islam saat ini. Pemahaman seperti ini akan tampak ketika seseorang atau individu meninggalkan sebuah jama’ah tertentu. Akan muncul trauma kejiwaan dan sikap yang merusak.
       Organisasi, gerakan dan jama’ah- jama’ah yang ada adalah dari kaum muslimin  bukan jama’atul mislimin yang mengumpulkan seluruk kaum muslimin yang ada. Secara otomatis seseorang yang tergabung dalam gerakan islam atau jama’ah bukan berarti keluar dari jama’ah atau mati dalam keadaan jahiliyah. Disisi lain bahwa ukhuwah islamiyah didasari oleh keimanan.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
Sesungguhnya orang- orang yang beriman itu berrsaudara”. (QS. Al- Hujurat: 10)

       Persaudaran itu bukan karena keterkaitan dan ketergabungan mereka dengan salah satu jama’ah atau gerakan dakwah tertentu. Maka setiap orang yang dinggap muslim oleh nash- nash Al- Qur’an dan hadits, baik di dalam struktur maupun diluar struktur jama’ah, harus disikapi dengan mu’amalah layaknya seorang mukmin.[4]
       Ada perbedaan pendapat yang muncul berkaitan dengan pembagian bai’at kepada bai’at yang khusus dan bai’at yang umum. Sebagian kelompok mengatakan bahwa sesungguhnya bai’at yang khusus adalah bai’at tokoh masyarakat yang mempunyai pengaruh (ahl al- hall wa al- ‘aqd) dalam umat Islam. Dengan kata lain, memilih salah seorang diantara mereka untuk menjadi pemimpin. Dan bai’at yang umum adalah bai’at yang terjadi setelah bai’at khusus, yang dilakukan oleh mereka kepada pemimpin, atau orang yang mewakilinya, yaitu janji setia untuk melakukan ketaatan.
       Adapun kelompok lainnya yang mengatakan bahwa bai’at yang khusus adalah bai’at untuk melakukan ketaatan pada perkara yang bersifat khusus, yang tidak berkaitan dengan kekuasaan. Yang dibagi menjadi bai’at untuk perkara khusus seperti bai’at Ridhwan, dan bai’at untuk kelompok manusia tertentu, seperti bai’at kaum wanita dan bai’at tokoh masyarakat. Adapun bai’at yang sifatnya umum adalah bai’at dan janji setia kaum muslim terhadap pemimpin mereka, setelah terjadinya baiat para tokoh masyarakat.[5]
B.     PERMASALAHAN BAI’AT
       Bai’at (Mubaya’ah), pengakuan mematuhi dan menaati imam yang dilakukan oleh ahl al- hall wa al- ‘aqd dan dilaksanakan sesudah permusyawaratan,[6] Diaud- din Rasi mengutip pendapat Ibnu Khaldun tentang bai’at ini, dan menjelaskan:
       Adalah mereka apabila membai’atkan seseorang amir dan mengikatkan perjanjian, mereka meletakkan tangan-tangan mereka di tangannya untuk menguatkan perjanjian. Hal itu serupa dengan perbuatan si penjual dan si pembeli. Karena itu dinamakan bai’at.[7]
Informasi yang berkaitan dengan bai’at ini :
QS. At- Taubah: 111
وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ
Barangsiapa yang menyempurnakan janjinya dengan Allah hendaknya kamu beri kabar suka dengan janji setia yang kamu telah berjanji setia dengannya”.
QS. Al- Muntahamah: 12
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئاً وَلا يَسْرِقْنَ وَلا يَزْنِينَ وَلا يَقْتُلْنَ أَوْلادَهُنَّ وَلا يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرُجُلِهِنَّ وَلا يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Wahai Nabi apabila datang kepadamu perempuan- perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak- anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan (pengakuan palsu mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan, seperti tuduhan zina) antara tangan dan kaki mereka. Dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka. Dan mohonkanlah ampunan kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Pengasih”.
       Bai’at pertama terhadap khalifah terjadi Tsaqie- fah Bani Sa’idah yang diceritakan oleh Ibnu Qutaibah Adainuri sebagai berikut:
       Kemudian Abu Bakar menghadap kepada orang- orang ansor memuji Allah dan mengajak mereka untuk bersatu serta melarang berpecah belah selanjutnya Abu Bakar berkata,”saya nasihatkan kepadamu untuk membai’at salah seorang diantara dua orang ini, yaitu abi Ubaidah bin Jaroh atau Umar, kemudian Umar berkata,”Demi Allah, akan terjadikah itu? Padahal, tuan (Abu Bakar), ada di antara kita, tuanlah yang paling berhak memegang persoalan ini, tuan adalah lebih dahulu jadi sahabat Rasulullah daripada kami, tuanlah Muhajirin yang paling utama, tuanlah yang menggantikan Rasulullah mengimani shalat, dan shalat adalah rukun Islam yang paling utama. Maka siapakah yang lebih pantas mengurusi persoalan ini daripada tuan? Ulurkanlah tangan tuan, saya membai’at tuan.[8]
       Pada waktu Usman bin Affan diangkat menjadi khalifah, yang mula- mula membai’at adalah Abdurrahman bin Auf yang kemudian diikuti oleh manusia yang ada di masjid.[9]
       Dari uraian di atas tampak bahwa yang membai’at itu adalah ahl al- hall wa al- ‘aqd dan kemudian dapat diikuti oleh rakyat pada umumnya seperti pada kasus pembai’atan Usman. Akan tetapi pada umunya pembai’atan itu dianggap sah apabila dilakukan oleh anggota- anggota ahl al-hall wa al-‘aqd sebagai wakil rakyat, sebagaimana pada kasus Abu Bakar.
       Kata- kata bai’at pun ternyata tidak selamanya sama. Oleh karena itu, lafal bai’at dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan dan sesuai lingkungannya asal tidak bertentangan dengan semangat dan prinsip- prinsip al- Qur’an dan Sunnah Rasulullah.[10]
       Pada masa Rasulullah SAW terjadi beberapa kali pembaiatan, antara antara lain Baiat Aqabah Pertama dan Baiat Aqabah Kedua. Baiat Aqabah pertama merupakan kontrak (perjanjian) social dan janji setia untuk berperilaku islami. Di dalamnya juga terdapat rambu-rambu bagi masyarakat islam. Adapun Baiat Aqabah Kedua adalah kontrak politik antara umat islam dan pemimpin. Dua Baiat ini merupakan proto sosial politik untuk hijrah ke Madinah dan dasar dalam pembinaan Negara islam yang pertama di negri itu[11].  
       Pada masa Rasulullah SAW terjadi beberapa kali bai’at, antara lain Bai’at Aqabah Pertama dan Bai’at Aqabah Kedua. Bai’at Aqabah yang pertama terjadi pada tahun kedua belas kenabiannya tahun 621 M di suatu bukit yang bernama Aqabah. Bai’at Aqabah pertama ini antara Nabi dengan 12 orang dari Kabilah Khajraj dan Aus dari Yastrib (Madinah) yang isinya: “Mereka berjanji setia (membai’at) kepada Nabi untuk tidak menserikatkan Allah, tidak akan mencuri, berzina, membunuh anak-anak, menuduh dengan tuduhan palsu, tidak akan mendurhakai Nabi di dalam kebaikan”.[12]
       Adapun Bai’at Aqabah kedua terjadi pada tahun ketiga belas kenabiannya tahun 622 M antara Nabi dengan 75 orang Yastrib, 73 orang laki- laki dan 2 orang wanita, Bai’at Aqabah kedua ini disebut pula dengan bai’at kubra. Di dalam bai’at ini terjadi dialog antara Rasulullah dengan orang- orang Yastrib. Dan pada akhirnya orang- orang Yastrib membai’at Rasul dengan kata- kata:
       Kami berbai’at (janji setia) untuk taat dan selalu mengikuti baik pada waktu kesulitan maupun pada waktudalam kemudahan, pada waktu senang dan pada waktu susah dan tetap berbicara benar dimanapun kami berada, tidak takut celaan orang di dalam membela kalimah Allah.[13]
       Sudah tentu pembai’atan ini dilakukan setelah terjadi permusyawaratan penentuan seorang imam.
       Ada kemungkinan tidak seluruh anggota ahl al- hall wa al-‘aqd membai’at imam, keadaan demikian harus dihindari sedapat mungkin yaitu dengan jalan musyawarah mencapai kesepakatan. Akan tetapi, apabila cara musyawarah tidak menghasilkan kesepakatan, maka imam dapat dibai’at oleh mayoritas ahl al- hall wa al-‘aqd. Apabila telah dibai’at oleh mayoritas ahl al- hall wa al-‘aqd, maka golongan minoritas ahl al-hall wa al-’aqd pun harus tetap menaati dan membantu si imam, dan tidak boleh berkuasa menjatuhkan si imam, kecuali kalau si imam melakukan kekafiran yang nyata.
       Bai’at merupakan suatu prinsip Islam. Dalam tradisi kenabian umat Islam senantiasa memberikan bai’at kepada Rasulullah SAW semasa hidupnya. Setelah Nabi SAW wafat bai’at tetap berlaku, yang diberikan kepada al- Khulafa ar-Rasyidun atau orang- orang tertentu yang memimpin umat Islam selama beberapa abad, sampai jatuhnya sistem pemerintahan Islam, kekhalifahan Turki Usmani.
       Pengambilan dan pemberian bai’at berdasarkan syara’, yaitu Al- Qur’an, sunnah Rasulullah SAW, dan ijma’. Banyak ayat Al-Qur’an yang mengungkapkan keharusan bai’at. Antara lain dalam surah al- Fath (48) ayat 18 Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang- orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan kemenangan yang dekat (waktunya)”. Ayat ini turun mengisahkan tentang bai’at ar- Ridwan di Hudaibiyah, suatu bai’at yang menampilkan komitmen jihad. Ketika itu Rasulullah SAW membai’at para sahabat supaya meneguhkan pendirian mereka setelah tersebarnya berita terbunuhnya Usman bin affan. Dalam surah al- Fath (48) ayat 10 dijelaskan bahwa: “ Bahwasannya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah”. Ayat ini menjelaskan bai’at yang diberikan oleh para sahabat kepada Nabi SAW. Substansi bai’at kepada Nabi SAW berisikan bai’at kepada Allah SWT.
       Di samping ayat Al- Qur;an, hadits Nabi SAW juga banyak yang membicarakan bai’at. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al- Bukhari dari Ubadah bin Samit: “ Nabi memanggil kami untuk berbai’at kepadanya dengan mendengar dan menaatinya dalam keadaan suka maupun duka. Beliau telah menyerahkan kami kepada suatu yang terbaik, bukan sebaliknya, dan melarang kami mendebat penguasa kecuali apabila mereka terlihat jelas- jelas kufur kepada Allah”. Hadits ini menunjukkan bahwa tuntutan untuk saling berbai’at diantar para sahabat merupakan suatu sunnah dan pelanggarannya secara sengaja adalah maksiat. Dalam riwayat lain Rasulullah SAW bersabda: “ Siapa yang membai’at seorang imam sambil memberikan jabat tangannya, maka hendaklah ia menaati semampunya. Jika datang pihak yang menyerang, hendaklah ia memukul tengkuk yang memukul itu”. (HR Muslim).
       Selain berdasarkan ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW bai’at juga didasarkan pada kesepakatan atau ijma’ kaum muslimin. Sejak zaman sahabat hingga sekarang, orang Islam telah sepakat akan pentingnya bai’at. Dalil- dalil Al- Qur’an dan sunah dan kesepakatan kaum muslimin di atas menjelaskan bahwa bai’at dalam Islam merupakan suatu kemestian (wajib) antara imam (pemimpin) dengan kaum muslimin.
       Ulama berbada pendapat tentang siapa yang menetapkan dan membai’at imam (kepala negara). Sebagian ulama berpendapat bahwa yang berwenang menetapkan dan membai’at imam adalah ahl al- hall wa al- ‘aqd. Penetapan dan pembai’atan mereka adalah final, karena mereka adalah wakil- wakil rakyat yang telah diberi kepercayaan. Pendapat ini antara lain di dukung oleh  Imam al- Mawardi. Ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini adalah Dr. Ahmad Syalabi, ahli sejarah dan kebudayaan dari Mesir. Menurutnya, pemilihan imam berlangsung melelui perantara ahl al- hall wa al- ‘aqd yang merupakan manifestasi dari umat dalam memilih pemimpin. Ia menyatakan bahwa masyarakat umum tidak memiliki wewenang untuk memilih pemimpin, karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk memilih calon yang ideal untuk pejabat tinggi ini.
       Pendapat lain mengatakan bahwa ahl al- hall wa al- ‘aqd hanya berwenang mengemukakan calon imam, sedangkan yang menetapkan dan membai’atnya adalah umat atau rakyat. Dengan demikian suatu kepemimpinan tidak bisa ditetapkan kecuali setelah selesai bai’at umat dan kerelaan mereka. Pendapat ini antara lain didukung oleh Ibnu Taimiyah dari Mazhab Hanbali. Ia mangatakan Usman bin Affan tidak menjadi imam melalui pemilihan, melainkan melalui pembai’atan semua umat Islam kepadanya. Imam Ahmad bin Hanbal berkata:  “Usman bin Affan dibai’at melalui ijma”.[14]
       Baiat ini juga dilakukan  oleh seorang pemimpin atau khalifah dengan cara musyawarah sesama kaum muslim. Pada saat khalifah memikirkan sesudah Rasulullah saw., siapa yang akan menjadi pemimpin mereka, terutama sakit Rasulullah semakin parah?
       Ada beberapa riwayat yang shahih sanadnya yang menjelaskan adanya pemikiran seperti ini diantaranya adalah riwayat dari Ibnu Abbas, ia berkata:”Ali bin Abi Thalib keluardari sisi Rasulullah saw. ketika sakit beliau parah. Maka orang-orang (sahabat) bertanya,’ wahai Abu Hasan, bagaimanakah kondisi Rasulullah saw.?’ Ali menjawab, Alhamdulillah, beliau telah membaik.’Ibnu Abbas berkata, Maka Abbas bib Abdul Muthalib memegang tangan Ali dan berkata,’Bagaimana pendapatmu?Demi Allah, saya melihat wajah bani Abdul Muthalib lavu apabiala beliau meninggal. Maka pergilah bersama kami kepada Rasulullah untuk menanyakan tentang siapakah yang akan diserahi kepemimpinan setelahnya? Jika hal itu dalam tangan kita, maka akan kita terima. Dan jika di tangan selain kita, maka kita akan menyampaikan kepada beliau untuk mewasiatkan kepada kita,’Ali berkata,’Demi Allah, jiaka kami minta kepada Rasulullah lalu beliau menolaknya, maka orang-orang tidak akan memberikanya kepaada kita. Demi Allah, kami tidak akan meminta hal itu kepadanya.
       Dan riwayat dari Alir.a ia berkata:“Rasulullah ditanya, ‘ya, Rasulullah siapakah yang akan menjadi pemimpin setelahmu?’Nabi saw. Menjawab,’jika kamu menjadikan Abu Bakar sebagai pemimpin, maka kamu akan mendapatkan dia orang yang terpercay, zuhud dalam urusan dunia dan senang kehidupan akhirat. Jika kamu menjadikan Umar sebagai pemimpin, maka kamu akan mendapatkan dia sebagai oaranga ayang kuat, terpercaya, dan tidak takut kecaman siapapun dalam menjalankan kaum Allah. Dan jika kamu menjadikan Ali sebagai pemimpin, dan saya melihat kamu tidak akan melakukannya, maka kamu akan mendapatkan dia orang yang member petunjuk dan mendapatkan petunjuk, yang akan membimbingmu kejalan yang luru[15]s.’”      
       Berdasarkan keterangan ini mereka mengetahui bahwa pemikiran tentang Imamah telah muncul pada masa hidup Rasulullah saw. Namun, perselisihan tentang khilafah itu baru terjadi setelah beliau wafat, dengan diadakannya pertemuan di saqifah yang diikuti pembaiatan Abu Bakar r.a karena yang dipilih Rasulullah pada saat itu adalah Abu Bakar r.a dan Abu Bakar juga dicalonkan oleh Umar. Maka janganlah ada orang yang terpedanya hingga ia mengatakan bahwa pembaiatan Abu Bakar itu tergesa-gesa dan telah selesai. Ketahuilah bahwa pembaiatan itu memang demikian, dan Allah telah mencegah terjadinya keburukan. Dan siapa yang membaiatkan seseorang tanpa musyawarah umat islam maka pembaiatan itu tidak benar, dan orang yang membaiat maupun yang dibaiat dapat dibunuh[16].
       Dari uraian di atas bahwa pemilihan khilafah berdasarkan pemilihan dan berdasarkan penunjukan dari khilafah sebelumnya, berdasarkan penunjukan itu selama wakil-wakil negri atau masyarakat menerimanya dengan baik dengan cara bermusyawarah.
       Keempat khilafah sesudah sepeninggalan Rasullullah tersebut tidak memutuskan suatu perkara yang beraitan dengan pemerintahan atau perundang-undangan ataupun lain-lainnya kecuali dengan bermusyawarah dengan kaum cendikiawan diantara kaum muslimin[17].
ANALISIS
       Bai'at adalah suatu perjanjian atau ikrar yang bagi penerimanya harus sanggup memikul dan melaksanakan sesuatu yang dibaiatkan. Biasanya baiat itu digunankan pada saat pemilihan pemimpin atau khilafah. Namun untuk cakapan yang lebih luas baiat juga berarti menerima amanah baik itu amanah dari rakyat kalau sebagai seorang pemimpi dan amanah dari seseorang itu juga bisa selama itu masih dalam menegakkan ajaran islam dan menegakkan syariat islam.
        Bai’at menerima amanah baik itu amanah dari rakyat untuk seorang pemimpin itu dinamakan baiat umum yaitu baiat yang lazim digunakan. Sedangkan baiat mendapat amanah dari seseorang atau orang lain itu dinamakan baiat khusus karena baiat ini mencangkup perseorangan. Baiat umum dan baiat khusus ini walaupun sama-sama mendapat amanah akan tetapi amanah yang ditanggung atau yang dipikul sudah berbeda. Yaitu amanah baiat umum ini cakupannya lebih luas dan harus lebih berhati-hati dalam memilih dan mengasih amanat itu.
       Arti dari Baiat adalah sebagaimana disebutkan didepan adalah pemilihan masyarakat rakyat  kepada kepala Negara. Rakyat mamberikan amanahnya kepada kepala Negara atas dasar penilaian mereka terpenuhinya atau tidak syarat-ayarat sebagai seorang kepala Negara pada diri seorang kepala Negara. Syarat-syarat seperti ini sah atau tidak apa-apa asalkan masyarakat juga memiliki syarat-syarat sebagai pemilih kepala Negara mereka sendiri.
       Pemilihan umum kepala Negara secara langsung maupun tidak langsung itu merupakan salah suatu bentuk baiat umum. Walaupun dimana kepala Negara dipilih oleh wakil rakyat, wakil rakyat itupun dipilih oleh rakyat juga. Maka secara tidak langsung Bai’at umum itu terjadi pada masa sekarang dan masih digunakan. Namun jika wakil rakyat itu berhianat pada suara rakyatnya yang diwakilinya dan tidak menjalankan amanah dari rakyatnya, maka Bai’at umum pun belum ada pada hal ini karena Bai’at umum ini adalah milik rakyat karena disebuah Negara yang menjadi kedudukan tertingi adalah rakyat maka seorang kepala Negara atau wakilnya harus memenuhi semua kehendak rakyatnya. Sementara wakil rakyat itu adalah membantu rakyat saja dalam hal salah satunya adalah pemilihan kepala Negara.
       Apabiala kepala Negara ditetapkan berdasarkan garis keturunan seorang raja misalnya atau berdasarkan atas ketetapan kepala Negara sebelumnya. Yang menetapkan sebagai kepala Negara baru adalah rakyat maka dalam hal ini Bai’at umum masih dijalankan karena kalau seorang raja atau seorang kepala Negara menunjuk seseorang itu harus berdasarkan kehendak rakyat juga itu mungkin hanya sebagai calon saja, yang di pilih oleh raja atau kepala Negara. Berarti sudah suatu keharusan seorang kepala Negara baru pemilihanya Berdasarkan Bai’at umum andaiakan rakyat tidak menghendakai kepala Negara baru tersebut maka pemilihan kepala Negara baru tersebut batal atau tidak sah.
        Bai’at dengan berdasarkan pemilihan ini sudah ada dulu sejak Umar bin Khattab r.a telah mencalonkan Abu Bakar as-Shiddiq r.a untuk menduduki jabatan khalifah menggantikan kedudukan Nabi saw. Dan penduduk kota madinah, yang pada hakekatnya merupakan wakil-wkil negri secara keseluruhan, telah menerimanya dengan baik mereka itu telah membai’atkannya secara sukarela atas dasar pemilihan mereka tanpa paksaan atau tekanan. Dan ketika Abu Bakar meninggal dunia, ia mewasiatkan khilafah bagi Umar r.a dengan mengumpulkan penduduk di masjid Nabi kemudian berkata kepada mereka:”Apakah kalian menyetujui orang yang kutunjuk untuk menggantikan kedudukanku sepeninggalku? Sesungguhnya aku, demi Allah, telah bersungguh-sungguh memikirkan hal ini, dan aku tidak mengangkat seorang anak dari sanak dan keluargaku, tapi aku menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantiku. Maka dengarlah dan taatlah kepadanya[18].
       Dari crita diatas kita dapat ambil hikmah yaitu walaupun Abu Bakar menunjuk sudah jelas-jelas menunjuk Umar akan tetapi masih meminta pendapat rakyatnya karena dalam hal ini rakyat juga mendapat bagian yang utama untuk menentukan kepala Negara. Andai saja ada yang tidak setuju mungkin Abu Bakar aken membatalkan pemilihan itu dan akan mencari dan menetapkan calon kembali dan atas pilihan rakyat juga calon itu akan dapat menjadi kepala Negara yang baik dan benar.
Pembai’atan juga dilakukan dengan menunjukkan beberapa calon. Ini terjadi pada masa pembai’atan Ali. Pada waktu itu suatu persoalan adalah kenyataan dan kebenaran, maka ada kalanya yang masyhur adalah kebalikannya. Menurut keterangan yang masyhur, Imam Ali r.a tidak bersedia membai’at Abu Bakar r.a karena ia berpendapat bahwa ia lebih berhak terhadap Imamah. Namun, dari ucapan-ucapan Ali, kita dapatkan keterangan bahwa menurut pendapatnya, Imamah itu tidak boelh berdasarkan penunjukan. Ada riwayat yang menjelaskan pengakuan Ali terhadap keutamaan Abu Bakar dan haknya terhadap Imamah.
Menurut keterangan yang masyhur, Imam Ali tidak membai’at Abu Bakar sampai wafatnya Fatimah r.a. Namun ada riwayat yang menunjukkan bahwa Ali sudah membaiatnya sebelum Fatimah wafat.
Sebelum selesainya masa khalifah pertama yang relative singkat dan diberkati Allah, Abu Bakar dengan memperhatikan pendapat mayoritas sahabat menjadikan Umar sebagai penggantinya. Namun, ada sebagian sahabat yang takut jika Umar menjadi khalifah karena wataknya yang tegas dan keras. Mereka berkata pada Abu Bakar, “sungguh, Anda telah menjadikan orang yang keras sebagai pemimpin kami.”Abu bakar menjawab,” jika Allah bertanya kepada saya pada hari kiamat, maka saya akan mengatakan,” saya telah menjadikan yang terbaik dari mereka sebagai pemimpinnya.”
Ketika Abu Bakar meminta pendapat umat islam dan meminta mereka membaiat orang yang disebutkan dalam buku khalifah pertama, mereka berkata,”kami mendengar dan kami taat.” Ali bin Abi Thalib berkata,”kami tidak rela kecuali jika dia adalah Umar.”
Ketika itu, tidak seorangpun yang terlambat membaiat Umar Ibnu Khattab r.a. kecuali Sa’d bin Ubadah. Lalu, ketika masa pemerintahan khalifah kedua ini hampir usai, khalifah ini ditentukan dengan cara memilih salah seorang dari 6 sahabat. Dan kemudian menyusut menjadi tiga orang. Dua diantaranya adalah Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Kemudian terjadi pembaiatan missal kepada Ustman[19].
Dalam cerita diatas kita dapat ambil adalah pemilihan sebagai khalifah ini dipilih dengan sebenar-benarnya dan bahkan sampai ada calon-calon yang dicalonkan sebagai seorang kepala Negara dan masalahnya kita harus mantap dengan pilihan calon kita dan tahu bahwa calon kita ini memiliki jiwa pemimpin yang bagus jangan salah memilih pemimpin. Karena dalam setiap calon pemimpin itu sebenarnya semuanya bagus aslkan kita memilih dengan hati nurani kita dengan ikhlas insaAllah menjadi pemimpin ang baik dan benar. 
Perubahan aturan pengangkatan khalifah ini. Perubahan yang mendasar pertama kali terjadi ialah dalam pokok undang-undang yang mengatur penetapan pengangkatan seorang pemimpin umum umat dibawah naungan system khilafah rasyidah. Kaidah perundang- undangan yang diikuti dalam sistem ini adalah tidak dibenarkannya daya-upaya seseorang untuk dapat menduduki jabatan khilafah atau meraih kekuasaan dengan usahanya dan rencananya sendiri, tetapi rakyatlah yang meletakkan kendaali pemerintahan, setelah permusyawaratan mereka, dalam tangan seseorang yang mereka anggap paling tepat untuk memimpin umat dan paling patut untuk mengendalikannya.
Oleh sebab itulah maka yang diberikan oleh rakyat kepada seseorang sama sekali tidak merupakan akibat adanya kekuasaan,  tetapi bai’at adalah justru pemberi kekuasaan. Sebabnya ialah bahwa daya-upaya seseorang atau persengkokolanya, sama sekali tidak memiliki suatu pengaruh dalam berlangsungnya bai’at untuk dirinya. Rakyat sungguh-sungguh bebas untuk memberikan bai’at ataupun tidak memberikannya. Dan oleh sebab itu, seseorang tidak akan mencapai kekuasaan apabila tidak berlangsung bai’at baginya dengan cara sukarela atau bebas[20].
Setiap khalifah diantara khulafaur rasyidin telah memperoleh jabatannya sesuai dengan kaidah ini. Tidak seorangpun diantara mereka berusaha meskipun dengan sekecil-kecil usaha untuk mencapai kekuasaan itu, tetapi ia mencapai kekuasaan itu, tetapi ia menccapai kekuasaan ketika kekuasaan itu sendiri dating kepadanya. Dan sejauh yang dapat dikatakan oleh seseorang tentang Sayidina Ali, bahwa ia memang memandang dirinya sebagai yang paling berhak untuk menjadi khalifah, namun tidak ada satu riwayat sejarah yang dapat dipercanya yang menyatakan bahwa ia telah berusaha meskipun hanya sebesar Zarrah untuk memperoleh jabatan khalifah.
Oleh sebab itu, pendirian bahwa dirinya paling berhak untuk menduduki jabatan khilafah sama sekali tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dari kaidah ini. Pada hakikatnya, keempat khulafaur rasyidin sama keadaannya, dalam kenyataan bahwa khilafah mereka itu merupakan khilafah yang diberikan kepada mereka, bukan khilafah yang direbut untuk mereka.
Pada zaman sekarang justru malah terbalik orang yang mencari atau mengajukan dirinya sebagai kepala Negara atau mereka berebut menjadi kepala Negara padahal mereka belum dikatakan pantas untuk menjadi kepala Negara. Dan bahkan mereka mendapatkan kedudukan kepala Negara dengan berusaha dan berpolitik dengan tidak jujur maka apa jadinya Negara ini kalau semua kepala Negara dan perangkatnya berbuat seperti itu.        
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum keberadaan khalifah lebih dari satu dalam satu masa. Sebagian dari mereka melarangnya secara mutlak. Sebagian yang lain melarang keberadaan khalifah dalam satu waktu dan dalam satu wilayah daratan atau dalam wilayah-wilayah yang saling berdekatan, namun mereka memperbolehkan adanya dua khalifah atau lebih dalam satu waktu apabila wilayahnya berjauhan satu sama lain sehingga komunikasi dan koordinasi sulit dilakukan.
Kalau kita cermati berbagai pendapat yang ada, kita akan mendapati bahwa pokok persoalannya adalah dalam sistem komunikasi. Di era informasi-globalisasi ini, dunia yang begitu luas ini telah menjadi sempit, dalam pengertian bahwa interaksi manusia di seluruh penjuru bumi telah menembus batas-batas geografis. Dengan demikian sekarang ini sudah tidak ada lagi alasan yang membolehkan adanya khalifah lebih dari satu. Maksudnya, tidak boleh ada khalifah lebih dari satu dalam kedudukan yang sama tinggi. Adapun jika lebih dari satu itu dalam kedudukan yang berbeda, maka hal itu tidak menjadi soal, karena pada dasarnya khalifah tertinggi masih tetap satu.
Sistem kerajaan telah telah dimulai dengan beruahnya kaidah ini. Adapun “khilafah” mu’awiyah tidak termasuk dalam jenis khilafah rasyidah (khilafah yang adil dan bijaksana), yakni dengan cara kaum musliminlah yang menetapkan khalalifah mereka. Sebab Mu’awiyah sendiri memang sangat menginginkan untuk menjadi khalifah dengan cara apapun, dan untuk itu, ia telah berperang sehingga berhasil menduduki jabatan khalifah.
Dalam masa Mu’awiyah inilah mulai terjadi kekacauan-kekacauan dan pertumpahan darah dalam mendapatkan tugas sebagai kepala Negara atau khalifah itu terjadi pada saat sepeninggalan Ali sebagai khalifah yang terkhir dan menyerahkan jabatan khalifahnya ke mu’awiyah karena dengan keganasannya mu’awiyah mundapatkan jabatan itu.
Hala yang dapat kita ambil dari cerita diatas adalah pada zaman dulu orang tidak mencari kekuasaan pada masa khulafaur Rasyidin akan tetapi pada zama muawiyah parsialmenghalalkan segala cara.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Baiat dibolehkan dalam perkara-perkara parsial (bagian) dari syariat islam yang dilakukan tanpa paksaan dan juga dilakukan dan juga dilakukan dengan syarat tidak ada pengaruh dan konsekuensi terhadap Bai’at kepada Amirul Mukminin. Baik perjanjian itu dengan diri sendiri untuk selalu taat dengan perbuatan tertentu yang syari’atkan, atau berjanji untuk melakukan perbuatan tertentu antara dia dengan orang lain, tanpa ada hal yang terlarang oleh syari’at islam.
       Bai'at itu juga adalah suatu perjanjian atau ikrar yang bagi penerimanya harus sanggup memikul dan melaksanakan sesuatu yang dibaiatkan. Biasanya baiat itu digunankan pada saat pemilihan pemimpin atau khilafah. Namun untuk cakapan yang lebih luas baiat juga berarti menerima amanah baik itu amanah dari rakyat kalau sebagai seorang pemimpi dan amanah dari seseorang itu juga bisa selama itu masih dalam menegakkan ajaran islam dan menegakkan syariat islam.
Biasanya istilah Bai’at digunakan juga dalam penerimaan seorang murid oleh gurunya atau syeikhnya untuk menerima ilmu atau wirid-wirid tertentu dan berpedoman dengan Bai’at atau sebagai suatu amanah. Akan tetapi Bai’at juga digunakan di dalam cakupan yang lebih luas dan lebih jauh lagi dalam menegakkan ajaran islam, yang bukan hanya untuk mengamalkan wirid-wirid kepada gurunya, namun yaitu unuk menegakkan perlaksanaan syariat islam itu sendiri.
Pendapat yang mewajibkan bai’at kepada guru, ulama atau jamaah , adalah pendapat yang tidak memiliki dasar yang jelas dan jauh dari kebenaran. Selain itu tidaklah sama bai’at kepada guru (syaikh) dengan bai’at kepada pemimpin umat islam (Amirul Mukminin). Karena kedua bai’at itu berbeda dalam hal konsekwensinya. Jika saja diantara bai’at itu ada persamaan maka tentunya orang semacam Ibnu Taimiyah, Ibnu Abidin atau As Subki pasti telah menegaskan dan bai’at yang tidak sesuai dengan syariat ini tidak memiliki pengaruh dan tidak bisa diterima oleh akal sehat. Apa lagi orang yang mengetahui dengan baik syariat islam ini[21].
Dalam urian diatas dapat disimpulkan bahwa bai’at kepada guru atau syaikhnya ini masih belum jelas hukumnya dan masih dalam perdebatan sedangkan kalau bai’at seorang pemimpin itu sudah jelas bahkan pada masa Nabi pun sudah menggunakan bai’at pemimpin ini dan bai’at pemimpin ini tidak asal memilih pemimpin begitu saja akan tetapi harus dengan musyawarah kepada rakyat atau wakil rakyat yang telah ditunjuk oleh rakyat.
Pada masa Rasulullah SAW terjadi beberapa kali pembaiatan, antara antara lain Baiat Aqabah Pertama dan Baiat Aqabah Kedua. Baiat Aqabah pertama merupakan kontrak (perjanjian) social dan janji setia untuk berperilaku islami. Di dalamnya juga terdapat rambu-rambu bagi masyarakat islam. Adapun Baiat Aqabah Kedua adalah kontrak politik antara umat islam dan pemimpin. Dua Baiat ini merupakan proto sosial politik untuk hijrah ke Madinah dan dasar dalam pembinaan Negara islam yang pertama di negri itu.Dapat disimpulkan bahwa baiat ini adalah intinya memilih pemimpin dengan cara musyawarah dan bagaimana menjadi pemimpin yang baik. Bagaimana juga mnjadi masyarkat yang baik memilih pemimpin dengan keikhlasan dari dalam hati bukan dengan uang atau dengan harta tetapi dari hati dan keikhlasan.


[1] Tim Prima Pena, Kamus Iilmiah Populer, (Surabaya: Gitamedia Press, 2006), 57.

[2] A Rahman Dahlan, dkk, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Heave, 2006), 179.
[3] A. Rahman Ritonga, Ensiklopedia Hukum Islam, 180
[4] Ibni Taimiyah, Nasihah Zahabiyah ila Al- Jama’aat Al- Islamiyah, (Ahmad Tarmudzi, Risalah Bai’at),   (Jakarta:Pustaka At- Tauhid,2002 ), 42-44.
[5] Hibbah Rauf Izzat, Wanita dan Polotik Pandangan Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997), 99.
[6] Hasby Ash Shiddieqy, Azas azas Hukum Tata Negara menurut  Syari’at Islam, (Yogyakarta: Matahari Masa, 1969), 66
[7] Hasby Ash Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam, (Yogyakarta: Matahari Masa, 1971), 65
[8] Ibnu Qutaibah Adainuri, Al- Imamah wa Al- siyasah, (Mesir: Qahairah, 1967), 16.
[9] Ibid;31.
[10] A. Djazuli, Fiqh Siyasah, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2003), 67.
[11] A. Rahman Ritonga, Ensiklopedia Hukum Islam, 179.
[12] Muhammad Husein Haikal, Al- Hayah Muhammad, (Mesir: Maktabah Haudlah, 1965), 202.
[13] Ibid; 206
[14]A. Rahman Ritonga, Ensiklopedia Hukum Islam, 181.
[15] Ibid., Jilid V No. 859 dengan sanad sahih.
[16] Dr Ali As-Salus, Imamah dan Khilafah, hal 19-20
[17] Abul A’la Al-maududi, Khilafah dan Kerajaan, hal 115
[18] Abul A’la Al-maududi, Khilafah dan Kerajaan, hal 112
[19] Dr Ali As-Salus, Imamah dan Khilafah, hal 28
[20]Abul A’la Al-maududi, Khilafah dan Kerajaan, hal 200
[21]Ibni Taimiyah, Nasihah Zahabiyah ila Al- Jama’aat Al- Islamiyah, (Ahmad Tarmudzi, Risalah Bai’at),   (Jakarta:Pustaka At- Tauhid,2002 ), 22-23.

1 comment: