BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Bai’at
merupakan sisi kegiatan politik paling menonjol yang dilakukan oleh umat.
Bai’at merupakan tiang pancang bagi sistem hukum dan bahkan dalam sejarah Islam
pada zaman Rasulullah SAW, bai’at mendahului pendirian suatu negara. Bai’at
merupakan dasar masyarakat politik Islam dan perangkat untuk menyatakan
kelaziman kepada jalan dan syari’at Islam.
Baiat
juga adalah dikenal dengan suatu perjanjian atau sumpah setia untuk menyakinkan
orang agar orang itu berbuat yang benar dan masuk islam. Baiat itu juga berguna
untuk amanah seseorang yang membaitatkan posisi atau jabatannya sebagai
pemimpin misalnya, akan tetapi baiat ini tidak hanya untuk seorang pemimpin
saja akan tetapi untuk kepercanyaan seseorang atau masyarakat yang dibaiati
oleh pemimpinnya dalam hal untuk memajukan agama.
Pertama
bagi masyarakat yang dibaiati itu harus memiliki sikap yang faham dengan
pemimpinnya dalam hal agama islam kefahaman itu penting karena memahamkan orang
itu sangat sulit itu tugas seorang pemimpin yang harus bisa memahamkan
masyarakatnya.
Kedua
orang yang berbaiat harus ikhlas karena semua itu harus didasari dari
keikhlasan agar segala sesuatunya atau perjanjian dan sumpah misalnya kalau
didasari dengan keikhlasan akan menjadi sesuatu yang baik dan benar bahkan
masyarakatpun akan merasa tenang dan merasa puas dalam hatinya kalau semua itu
didasari oleh keikhlasan.
Ketiga
baiat adalah pengorbanan maksud pengorbanan disini adalah bila pengorbanan
perjanjian dengan memperoleh sesuatu yaitu untuk menuju keislaman yang baik dan
benar dan dengan tujuan untuk memeroleh pahala dari Allah SWT.
Keempat
baiat ini juga dikenal dengan mempercanyai seseorang sebagai pemimpin dan
kepercanyaan itu harus didasari dengan keikhlasan yang adadalam pemimpin untuk
sesuatu pengemban tugas dari masyarakat yang mempercanyainya atau amanah dari
masyarakat.
Bai’at
merupakan janji setia terhadap sistem politik Islam atau kekhalifahan Islam,
serta kesetiaannya kepada jama’ah kaum muslim dan kepatuhan kepada pemimpin. Bai’at
juga merupakan janji setia manusia yang mencakup tiga pihak yaitu khalifah
sendiri, pelaku bai’at (umat), dan sesuatu yang dibai’ati, yaitu syari’at
agama.
Dalam
makalah ini kami akan menjelaskan dan mengkaji secaraebih dalam tentang apa pengertian dari bai’at serta
permasalahan- permasalahn yang ada di dalam bai’at.
Karena
baiat ini sangat penting sekali dalam kita memilih pemimpin yang dapat
dipercanya dan dengan hati yang ikhls para pemimpin juga yang dipilih oleh
masyarakat ini akan menjadi pemimpin yang menggunakan kepemimpinannya dengan
benar dan amanah dari masyarakat untuk pemimpin kita akan tercapai dengan baik
dan benar.
Bagaimana
cara memilih pemimpin yang tepat dan bagaimana cara penentuannya semua itu akan
kita kaji disini dalam masalah bai’at. Dari sejarah bai’at juga kita akan
mengetahui tentang cirri-ciri pemimpin jaman dahulu dan bagaimana cirri-ciri
pemimpin jaman sekarang kita bisa bandingkan dan akan kita kaji lebih dalam
dalam makalah ini.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah pengertian bai’at?
2.
Apa saja permasalahan-
permasalahan dalam bai’at?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN BAI’AT
Al-
bai’ah secara etimologis berasal dari kata by ‘a (menjadi ba’a) yang berarti
menjual. Bai’at adalah kata jadian yang mengandung arti “perjanjian”, “janji
setia” atau “saling berjanji dan setia”, karena dalam pelaksanaannya selalu
melibatkan dua pihak secara sukarela. Bai’at juga berarti “berjabat tangan
untuk bersedia menjawab akad transaksi barang atau hak dan kewajiban, saling
setia dan taat”. Bai’at juga dapat diartikan perjanjian, penyumpahan,
pengukuhan, pengangkatan, penobatan[1].
Secara
terminologis ada beberapa definisi bai’at yang dikemukakan oleh ulama,
diantaranya:
1.
Ibnu Khaldun (w. 808 H/1406 M), sosiolog muslim,
bai’at adalah “perjanjian orang berbai’at untuk taat melakukan sumpah kepada
pemimpinnya bahwa ia akan menyelamatkan pandangan yang diembannya dari
pemimpin, baik berupa perintah yang disenangi atau tidak disenangi”
2.
Dr. Munir al- Ajlani (ahli
sejarah hukum dari Universitas Suriah), bai’at menghendaki seorang manusia
menyatakan kerelaan dan kepatuhannya terhadap khalifah, bukan pemilihan,
penyerahan atau pendelegasian terhadap khalifah.
3.
Ibnu Manzur (630- 711 H; ahli
fikih), bai’at adalah ungkapan perjanjian antara dua pihak yang seakan-akan
salah satu pihak menjual apa yang dimilikinya, menyerahkan dirinya dan
kesetiaannya kepada piihak kedua secara ikhlas dalam urusannya.
4.
Imam Muhammad Abu Zahrah (ahli
fikih dari Mesir), bai’at merupakan syarat yang disepakati oleh mayoritas umat
islam Suni dalam pemilihan kepala negara yang dilakukan oleh ahl al- hall wa
al- ‘aqd sebagai wakil umat.
Secara
umum bai’at merupakan transaksi perjanjian antara pemimpin dan umat islam dalam
mendirikan daulah islamiyah sesuai dengan Al- Qur’an dan sunnah
Rasulullah SAW. Dengan kata lain bai’at merupakan perjanjian atas kepemimpinan
berdasarkan sistem politik islam modern, bai’at merupakan pernyataan kecintaan
khalayak ramai terhadap sistem politik islam yang sedang berkuasa secara
optimis.[2]
Bai’at
dalam kerangka umum mempunyai tiga unsur pokok:
a.
Pihak yang mengambil bai’at
b.
Pihak yang memberikan bai’at
kepada orang yang menjadi pemimpin, seperti ahl al- hall wa al- ‘aqd
secara khusus dan mayoritas umat islam secara umum.
c.
Topik bai’at, yaitu mendirikan khilafah
islamiyah sesuai dengan Al- Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Adapun
ayat- ayat Al- Qur’an dan hadits- hadits yang menerangkan dan membicarakan
tentang bai’at, baik yang berisi aturan untuk berbai’at maupun ancaman bagi
yang meninggalkannya. Tetapi bai’at yang disepakati ialah bahwa bai’at yang
terdapat di dalam hadits- hadits adalah bai’at kolektif dan tidak diberikan
kecuali kepada pemimpin muslim yang tinggal di bumi dan menegakkan khilafah
(pemerintah) islam sesuai dengan manhaj kenabian yang penuh dengan berkah.
Ayat- ayat dan hadits- hadits tentang bai’at secara ringkas:
QS.
Al- Fath: 10
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ
اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى
نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْراً
عَظِيما
“
Sesungguhnya orang- orang yang berjanji setia kepadamu, mereka berjanji setia
kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang
melanggar janijinya, niscaya akibat melanggar janji itu akan menimpa dirinya
sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberi
pahala yang besar”.
QS.
Al- Fath: 18
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ
الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي
قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحاً قَرِيباً
“
Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang- orang mukmin ketika mereka
berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di
dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan
kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)”.
Di
dalam as- sunnah:
“
Barangsiapa mati dan dilehernya tidak
ada bai’at, maka sungguh dia telah melepas ikatan islam dari lehernya”
(dikeluarkan oleh Muslim dari Ibnu Umar).
Bai’at
dikelompokkan dalam dua bentuk:
1.
Bai’at khusus yaitu suatu bai’at
yang dilakukan oleh ahl al- hall wa al- ‘aqd. Ia merupakan suatu
pengangkatan imam dengan teknik pemilihan atas mereka. Bai’at ini dilakukan
dengan cara memaklumatkan persetujuan mereka terhadap imam. Bai’at ini
merupakan pendahuluan atas bai’at umum, baik dari sudut waktu maupun
pengertiannya, akan tetapi bai’at khusus ini tidak dianggap sah oleh syara’
kecuali melalui jalan pemilihan bebas, tanpa paksaan.
2.
Bai’at umum yaitu suatu bai’at
yang berlangsung setelah bai’at khusus, berlaku untuk masyarakat umum. Disini
pemimpin atau khalifah telah siap untuk mengambil bai’at dari rakyat atau
wakil- wakilnya. Bai’at ini merupakan suatu pernyataan atau ikrar kesetiaan,
ketaatan dalam pengakuan dalam pemerintah yang berkuasa serta tidak keluar dari
jama’ah.[3]
Jama’ah
sendiri adalah organisasi atau gerakan dakwah yang tersebar di banyak penjuru
dunia islam saat ini. Sedangkan “jama’atul muslimin” yang bersatu membai’at
seorang pemimpin muslim, menurut nash- nash yang ada mempunyai maksud yang
lain. Karena pemaknaan jama’ah dalam nash sebagai organisasi memberi pengaruh
pada tindakan, sikap dan emosional sebagian besar orang yang terlibat dalam
gerakan dakwah islam saat ini. Pemahaman seperti ini akan tampak ketika
seseorang atau individu meninggalkan sebuah jama’ah tertentu. Akan muncul
trauma kejiwaan dan sikap yang merusak.
Organisasi,
gerakan dan jama’ah- jama’ah yang ada adalah dari kaum muslimin bukan jama’atul mislimin yang mengumpulkan
seluruk kaum muslimin yang ada. Secara otomatis seseorang yang tergabung dalam
gerakan islam atau jama’ah bukan berarti keluar dari jama’ah atau mati dalam
keadaan jahiliyah. Disisi lain bahwa ukhuwah islamiyah didasari oleh keimanan.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ
إِخْوَةٌ
“Sesungguhnya
orang- orang yang beriman itu berrsaudara”. (QS. Al- Hujurat: 10)
Persaudaran
itu bukan karena keterkaitan dan ketergabungan mereka dengan salah satu jama’ah
atau gerakan dakwah tertentu. Maka setiap orang yang dinggap muslim oleh nash-
nash Al- Qur’an dan hadits, baik di dalam struktur maupun diluar struktur
jama’ah, harus disikapi dengan mu’amalah layaknya seorang mukmin.[4]
Ada
perbedaan pendapat yang muncul berkaitan dengan pembagian bai’at kepada bai’at
yang khusus dan bai’at yang umum. Sebagian kelompok mengatakan bahwa
sesungguhnya bai’at yang khusus adalah bai’at tokoh masyarakat yang mempunyai
pengaruh (ahl al- hall wa al- ‘aqd) dalam umat Islam. Dengan kata lain,
memilih salah seorang diantara mereka untuk menjadi pemimpin. Dan bai’at yang
umum adalah bai’at yang terjadi setelah bai’at khusus, yang dilakukan oleh
mereka kepada pemimpin, atau orang yang mewakilinya, yaitu janji setia untuk
melakukan ketaatan.
Adapun
kelompok lainnya yang mengatakan bahwa bai’at yang khusus adalah bai’at untuk
melakukan ketaatan pada perkara yang bersifat khusus, yang tidak berkaitan
dengan kekuasaan. Yang dibagi menjadi bai’at untuk perkara khusus seperti
bai’at Ridhwan, dan bai’at untuk kelompok manusia tertentu, seperti bai’at kaum
wanita dan bai’at tokoh masyarakat. Adapun bai’at yang sifatnya umum adalah
bai’at dan janji setia kaum muslim terhadap pemimpin mereka, setelah terjadinya
baiat para tokoh masyarakat.[5]
B.
PERMASALAHAN BAI’AT
Bai’at
(Mubaya’ah), pengakuan mematuhi dan menaati imam yang dilakukan oleh ahl al-
hall wa al- ‘aqd dan dilaksanakan sesudah permusyawaratan,[6]
Diaud- din Rasi mengutip pendapat Ibnu Khaldun tentang bai’at ini, dan
menjelaskan:
Adalah
mereka apabila membai’atkan seseorang amir dan mengikatkan perjanjian, mereka
meletakkan tangan-tangan mereka di tangannya untuk menguatkan perjanjian. Hal
itu serupa dengan perbuatan si penjual dan si pembeli. Karena itu dinamakan
bai’at.[7]
Informasi
yang berkaitan dengan bai’at ini :
QS.
At- Taubah: 111
وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ
اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ
“Barangsiapa
yang menyempurnakan janjinya dengan Allah hendaknya kamu beri kabar suka dengan
janji setia yang kamu telah berjanji setia dengannya”.
QS.
Al- Muntahamah: 12
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ
يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئاً وَلا يَسْرِقْنَ وَلا
يَزْنِينَ وَلا يَقْتُلْنَ أَوْلادَهُنَّ وَلا يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ
يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرُجُلِهِنَّ وَلا يَعْصِينَكَ فِي
مَعْرُوفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ
رَحِيمٌ
“Wahai
Nabi apabila datang kepadamu perempuan- perempuan yang beriman untuk mengadakan
janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah,
tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak- anaknya,
tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan (pengakuan palsu mengenai
hubungan antara laki-laki dan perempuan, seperti tuduhan zina) antara tangan
dan kaki mereka. Dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka
terimalah janji setia mereka. Dan mohonkanlah ampunan kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Pengasih”.
Bai’at
pertama terhadap khalifah terjadi Tsaqie- fah Bani Sa’idah yang diceritakan
oleh Ibnu Qutaibah Adainuri sebagai berikut:
Kemudian
Abu Bakar menghadap kepada orang- orang ansor memuji Allah dan mengajak mereka
untuk bersatu serta melarang berpecah belah selanjutnya Abu Bakar berkata,”saya
nasihatkan kepadamu untuk membai’at salah seorang diantara dua orang ini, yaitu
abi Ubaidah bin Jaroh atau Umar, kemudian Umar berkata,”Demi Allah, akan
terjadikah itu? Padahal, tuan (Abu Bakar), ada di antara kita, tuanlah yang
paling berhak memegang persoalan ini, tuan adalah lebih dahulu jadi sahabat
Rasulullah daripada kami, tuanlah Muhajirin yang paling utama, tuanlah yang
menggantikan Rasulullah mengimani shalat, dan shalat adalah rukun Islam yang
paling utama. Maka siapakah yang lebih pantas mengurusi persoalan ini daripada
tuan? Ulurkanlah tangan tuan, saya membai’at tuan.[8]
Pada
waktu Usman bin Affan diangkat menjadi khalifah, yang mula- mula membai’at
adalah Abdurrahman bin Auf yang kemudian diikuti oleh manusia yang ada di
masjid.[9]
Dari
uraian di atas tampak bahwa yang membai’at itu adalah ahl al- hall wa al- ‘aqd
dan kemudian dapat diikuti oleh rakyat pada umumnya seperti pada kasus
pembai’atan Usman. Akan tetapi pada umunya pembai’atan itu dianggap sah apabila
dilakukan oleh anggota- anggota ahl al-hall wa al-‘aqd sebagai wakil rakyat,
sebagaimana pada kasus Abu Bakar.
Kata-
kata bai’at pun ternyata tidak selamanya sama. Oleh karena itu, lafal bai’at
dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan dan sesuai lingkungannya asal tidak
bertentangan dengan semangat dan prinsip- prinsip al- Qur’an dan Sunnah
Rasulullah.[10]
Pada
masa Rasulullah SAW terjadi beberapa kali pembaiatan, antara antara lain Baiat
Aqabah Pertama dan Baiat Aqabah Kedua. Baiat Aqabah pertama merupakan kontrak
(perjanjian) social dan janji setia untuk berperilaku islami. Di dalamnya juga
terdapat rambu-rambu bagi masyarakat islam. Adapun Baiat Aqabah Kedua adalah
kontrak politik antara umat islam dan pemimpin. Dua Baiat ini merupakan proto
sosial politik untuk hijrah ke Madinah dan dasar dalam pembinaan Negara islam
yang pertama di negri itu[11].
Pada
masa Rasulullah SAW terjadi beberapa kali bai’at, antara lain Bai’at Aqabah
Pertama dan Bai’at Aqabah Kedua. Bai’at Aqabah yang pertama terjadi pada tahun
kedua belas kenabiannya tahun 621 M di suatu bukit yang bernama Aqabah. Bai’at
Aqabah pertama ini antara Nabi dengan 12 orang dari Kabilah Khajraj dan Aus
dari Yastrib (Madinah) yang isinya: “Mereka berjanji setia (membai’at) kepada
Nabi untuk tidak menserikatkan Allah, tidak akan mencuri, berzina, membunuh
anak-anak, menuduh dengan tuduhan palsu, tidak akan mendurhakai Nabi di dalam
kebaikan”.[12]
Adapun
Bai’at Aqabah kedua terjadi pada tahun ketiga belas kenabiannya tahun 622 M
antara Nabi dengan 75 orang Yastrib, 73 orang laki- laki dan 2 orang wanita,
Bai’at Aqabah kedua ini disebut pula dengan bai’at kubra. Di dalam bai’at ini
terjadi dialog antara Rasulullah dengan orang- orang Yastrib. Dan pada akhirnya
orang- orang Yastrib membai’at Rasul dengan kata- kata:
Kami
berbai’at (janji setia) untuk taat dan selalu mengikuti baik pada waktu
kesulitan maupun pada waktudalam kemudahan, pada waktu senang dan pada waktu
susah dan tetap berbicara benar dimanapun kami berada, tidak takut celaan orang
di dalam membela kalimah Allah.[13]
Sudah
tentu pembai’atan ini dilakukan setelah terjadi permusyawaratan penentuan
seorang imam.
Ada
kemungkinan tidak seluruh anggota ahl al- hall wa al-‘aqd membai’at
imam, keadaan demikian harus dihindari sedapat mungkin yaitu dengan jalan
musyawarah mencapai kesepakatan. Akan tetapi, apabila cara musyawarah tidak
menghasilkan kesepakatan, maka imam dapat dibai’at oleh mayoritas ahl al-
hall wa al-‘aqd. Apabila telah dibai’at oleh mayoritas ahl al- hall wa
al-‘aqd, maka golongan minoritas ahl al-hall wa al-’aqd pun harus
tetap menaati dan membantu si imam, dan tidak boleh berkuasa menjatuhkan si
imam, kecuali kalau si imam melakukan kekafiran yang nyata.
Bai’at
merupakan suatu prinsip Islam. Dalam tradisi kenabian umat Islam senantiasa
memberikan bai’at kepada Rasulullah SAW semasa hidupnya. Setelah Nabi SAW wafat
bai’at tetap berlaku, yang diberikan kepada al- Khulafa ar-Rasyidun atau orang-
orang tertentu yang memimpin umat Islam selama beberapa abad, sampai jatuhnya
sistem pemerintahan Islam, kekhalifahan Turki Usmani.
Pengambilan
dan pemberian bai’at berdasarkan syara’, yaitu Al- Qur’an, sunnah Rasulullah
SAW, dan ijma’. Banyak ayat Al-Qur’an yang mengungkapkan keharusan bai’at.
Antara lain dalam surah al- Fath (48) ayat 18 Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya
Allah telah ridha terhadap orang- orang mukmin ketika mereka berjanji setia
kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka
lalu menurunkan kemenangan yang dekat (waktunya)”. Ayat ini turun
mengisahkan tentang bai’at ar- Ridwan di Hudaibiyah, suatu bai’at yang
menampilkan komitmen jihad. Ketika itu Rasulullah SAW membai’at para sahabat
supaya meneguhkan pendirian mereka setelah tersebarnya berita terbunuhnya Usman
bin affan. Dalam surah al- Fath (48) ayat 10 dijelaskan bahwa: “ Bahwasannya
orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia
kepada Allah”. Ayat ini menjelaskan bai’at yang diberikan oleh para sahabat
kepada Nabi SAW. Substansi bai’at kepada Nabi SAW berisikan bai’at kepada Allah
SWT.
Di
samping ayat Al- Qur;an, hadits Nabi SAW juga banyak yang membicarakan bai’at.
Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al- Bukhari dari Ubadah
bin Samit: “ Nabi memanggil kami untuk berbai’at kepadanya dengan mendengar
dan menaatinya dalam keadaan suka maupun duka. Beliau telah menyerahkan kami
kepada suatu yang terbaik, bukan sebaliknya, dan melarang kami mendebat
penguasa kecuali apabila mereka terlihat jelas- jelas kufur kepada Allah”. Hadits
ini menunjukkan bahwa tuntutan untuk saling berbai’at diantar para sahabat
merupakan suatu sunnah dan pelanggarannya secara sengaja adalah maksiat. Dalam
riwayat lain Rasulullah SAW bersabda: “ Siapa yang membai’at seorang imam
sambil memberikan jabat tangannya, maka hendaklah ia menaati semampunya. Jika
datang pihak yang menyerang, hendaklah ia memukul tengkuk yang memukul itu”.
(HR Muslim).
Selain
berdasarkan ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW bai’at juga didasarkan pada
kesepakatan atau ijma’ kaum muslimin. Sejak zaman sahabat hingga sekarang,
orang Islam telah sepakat akan pentingnya bai’at. Dalil- dalil Al- Qur’an dan
sunah dan kesepakatan kaum muslimin di atas menjelaskan bahwa bai’at dalam
Islam merupakan suatu kemestian (wajib) antara imam (pemimpin) dengan kaum
muslimin.
Ulama
berbada pendapat tentang siapa yang menetapkan dan membai’at imam (kepala
negara). Sebagian ulama berpendapat bahwa yang berwenang menetapkan dan
membai’at imam adalah ahl al- hall wa al- ‘aqd. Penetapan dan
pembai’atan mereka adalah final, karena mereka adalah wakil- wakil rakyat yang
telah diberi kepercayaan. Pendapat ini antara lain di dukung oleh Imam al- Mawardi. Ulama kontemporer yang
mendukung pendapat ini adalah Dr. Ahmad Syalabi, ahli sejarah dan kebudayaan
dari Mesir. Menurutnya, pemilihan imam berlangsung melelui perantara ahl al-
hall wa al- ‘aqd yang merupakan manifestasi dari umat dalam memilih
pemimpin. Ia menyatakan bahwa masyarakat umum tidak memiliki wewenang untuk
memilih pemimpin, karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk memilih calon
yang ideal untuk pejabat tinggi ini.
Pendapat
lain mengatakan bahwa ahl al- hall wa al- ‘aqd hanya berwenang
mengemukakan calon imam, sedangkan yang menetapkan dan membai’atnya adalah umat
atau rakyat. Dengan demikian suatu kepemimpinan tidak bisa ditetapkan kecuali
setelah selesai bai’at umat dan kerelaan mereka. Pendapat ini antara lain
didukung oleh Ibnu Taimiyah dari Mazhab Hanbali. Ia mangatakan Usman bin Affan
tidak menjadi imam melalui pemilihan, melainkan melalui pembai’atan semua umat
Islam kepadanya. Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Usman bin Affan dibai’at melalui ijma”.[14]
Baiat
ini juga dilakukan oleh seorang pemimpin
atau khalifah dengan cara musyawarah sesama kaum muslim. Pada saat khalifah
memikirkan sesudah Rasulullah saw., siapa yang akan menjadi pemimpin mereka,
terutama sakit Rasulullah semakin parah?
Ada
beberapa riwayat yang shahih sanadnya yang menjelaskan adanya pemikiran seperti
ini diantaranya adalah riwayat dari Ibnu Abbas, ia berkata:”Ali bin Abi Thalib keluardari sisi Rasulullah saw. ketika sakit beliau
parah. Maka orang-orang (sahabat) bertanya,’ wahai Abu Hasan, bagaimanakah
kondisi Rasulullah saw.?’ Ali menjawab, Alhamdulillah, beliau telah membaik.’Ibnu
Abbas berkata, Maka Abbas bib Abdul Muthalib memegang tangan Ali dan
berkata,’Bagaimana pendapatmu?Demi Allah, saya melihat wajah bani Abdul
Muthalib lavu apabiala beliau meninggal. Maka pergilah bersama kami kepada Rasulullah
untuk menanyakan tentang siapakah yang akan diserahi kepemimpinan setelahnya?
Jika hal itu dalam tangan kita, maka akan kita terima. Dan jika di tangan
selain kita, maka kita akan menyampaikan kepada beliau untuk mewasiatkan kepada
kita,’Ali berkata,’Demi Allah, jiaka kami minta kepada Rasulullah lalu beliau
menolaknya, maka orang-orang tidak akan memberikanya kepaada kita. Demi Allah, kami
tidak akan meminta hal itu kepadanya.
Dan riwayat dari Alir.a ia
berkata:“Rasulullah ditanya, ‘ya,
Rasulullah siapakah yang akan menjadi pemimpin setelahmu?’Nabi saw.
Menjawab,’jika kamu menjadikan Abu Bakar sebagai pemimpin, maka kamu akan
mendapatkan dia orang yang terpercay, zuhud dalam urusan dunia dan senang
kehidupan akhirat. Jika kamu menjadikan Umar sebagai pemimpin, maka kamu akan
mendapatkan dia sebagai oaranga ayang kuat, terpercaya, dan tidak takut kecaman
siapapun dalam menjalankan kaum Allah. Dan jika kamu menjadikan Ali sebagai
pemimpin, dan saya melihat kamu tidak akan melakukannya, maka kamu akan
mendapatkan dia orang yang member petunjuk dan mendapatkan petunjuk, yang akan
membimbingmu kejalan yang luru[15]s.’”
Berdasarkan keterangan ini mereka
mengetahui bahwa pemikiran tentang Imamah telah muncul pada masa hidup
Rasulullah saw. Namun, perselisihan tentang khilafah itu baru terjadi setelah
beliau wafat, dengan diadakannya pertemuan di saqifah yang diikuti pembaiatan
Abu Bakar r.a karena yang dipilih Rasulullah pada saat itu adalah Abu Bakar r.a
dan Abu Bakar juga dicalonkan oleh Umar. Maka janganlah ada orang yang
terpedanya hingga ia mengatakan bahwa pembaiatan Abu Bakar itu tergesa-gesa dan
telah selesai. Ketahuilah bahwa pembaiatan itu memang demikian, dan Allah telah
mencegah terjadinya keburukan. Dan siapa yang membaiatkan seseorang tanpa
musyawarah umat islam maka pembaiatan itu tidak benar, dan orang yang membaiat
maupun yang dibaiat dapat dibunuh[16].
Dari
uraian di atas bahwa pemilihan khilafah berdasarkan pemilihan dan berdasarkan
penunjukan dari khilafah sebelumnya, berdasarkan penunjukan itu selama
wakil-wakil negri atau masyarakat menerimanya dengan baik dengan cara
bermusyawarah.
Keempat
khilafah sesudah sepeninggalan Rasullullah tersebut tidak memutuskan suatu
perkara yang beraitan dengan pemerintahan atau perundang-undangan ataupun
lain-lainnya kecuali dengan bermusyawarah dengan kaum cendikiawan diantara kaum
muslimin[17].
ANALISIS
Bai'at adalah suatu perjanjian
atau ikrar yang bagi penerimanya harus sanggup memikul dan melaksanakan sesuatu
yang dibaiatkan. Biasanya baiat itu digunankan pada saat pemilihan pemimpin
atau khilafah. Namun untuk cakapan yang lebih luas baiat juga berarti menerima
amanah baik itu amanah dari rakyat kalau sebagai seorang pemimpi dan amanah
dari seseorang itu juga bisa selama itu masih dalam menegakkan ajaran islam dan
menegakkan syariat islam.
Bai’at menerima amanah baik itu amanah dari rakyat
untuk seorang pemimpin itu dinamakan baiat umum yaitu baiat yang lazim digunakan.
Sedangkan baiat mendapat amanah dari seseorang atau orang lain itu dinamakan
baiat khusus karena baiat ini mencangkup perseorangan. Baiat umum dan baiat
khusus ini walaupun sama-sama mendapat amanah akan tetapi amanah yang
ditanggung atau yang dipikul sudah berbeda. Yaitu amanah baiat umum ini
cakupannya lebih luas dan harus lebih berhati-hati dalam memilih dan mengasih
amanat itu.
Arti
dari Baiat adalah sebagaimana disebutkan didepan adalah pemilihan masyarakat
rakyat kepada kepala Negara. Rakyat mamberikan
amanahnya kepada kepala Negara atas dasar penilaian mereka terpenuhinya atau
tidak syarat-ayarat sebagai seorang kepala Negara pada diri seorang kepala
Negara. Syarat-syarat seperti ini sah atau tidak apa-apa asalkan masyarakat
juga memiliki syarat-syarat sebagai pemilih kepala Negara mereka sendiri.
Pemilihan
umum kepala Negara secara langsung maupun tidak langsung itu merupakan salah
suatu bentuk baiat umum. Walaupun dimana kepala Negara dipilih oleh wakil
rakyat, wakil rakyat itupun dipilih oleh rakyat juga. Maka secara tidak
langsung Bai’at umum itu terjadi pada masa sekarang dan masih digunakan. Namun
jika wakil rakyat itu berhianat pada suara rakyatnya yang diwakilinya dan tidak
menjalankan amanah dari rakyatnya, maka Bai’at umum pun belum ada pada hal ini
karena Bai’at umum ini adalah milik rakyat karena disebuah Negara yang menjadi kedudukan
tertingi adalah rakyat maka seorang kepala Negara atau wakilnya harus memenuhi
semua kehendak rakyatnya. Sementara wakil rakyat itu adalah membantu rakyat
saja dalam hal salah satunya adalah pemilihan kepala Negara.
Apabiala
kepala Negara ditetapkan berdasarkan garis keturunan seorang raja misalnya atau
berdasarkan atas ketetapan kepala Negara sebelumnya. Yang menetapkan sebagai
kepala Negara baru adalah rakyat maka dalam hal ini Bai’at umum masih
dijalankan karena kalau seorang raja atau seorang kepala Negara menunjuk
seseorang itu harus berdasarkan kehendak rakyat juga itu mungkin hanya sebagai
calon saja, yang di pilih oleh raja atau kepala Negara. Berarti sudah suatu
keharusan seorang kepala Negara baru pemilihanya Berdasarkan Bai’at umum
andaiakan rakyat tidak menghendakai kepala Negara baru tersebut maka pemilihan
kepala Negara baru tersebut batal atau tidak sah.
Bai’at dengan berdasarkan pemilihan ini sudah
ada dulu sejak Umar bin Khattab r.a telah mencalonkan Abu Bakar as-Shiddiq r.a
untuk menduduki jabatan khalifah menggantikan kedudukan Nabi saw. Dan penduduk
kota madinah, yang pada hakekatnya merupakan wakil-wkil negri secara
keseluruhan, telah menerimanya dengan baik mereka itu telah membai’atkannya
secara sukarela atas dasar pemilihan mereka tanpa paksaan atau tekanan. Dan
ketika Abu Bakar meninggal dunia, ia mewasiatkan khilafah bagi Umar r.a dengan
mengumpulkan penduduk di masjid Nabi kemudian berkata kepada mereka:”Apakah
kalian menyetujui orang yang kutunjuk untuk menggantikan kedudukanku
sepeninggalku? Sesungguhnya aku, demi Allah, telah bersungguh-sungguh
memikirkan hal ini, dan aku tidak mengangkat seorang anak dari sanak dan
keluargaku, tapi aku menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantiku. Maka
dengarlah dan taatlah kepadanya[18].
Dari
crita diatas kita dapat ambil hikmah yaitu walaupun Abu Bakar menunjuk sudah
jelas-jelas menunjuk Umar akan tetapi masih meminta pendapat rakyatnya karena
dalam hal ini rakyat juga mendapat bagian yang utama untuk menentukan kepala
Negara. Andai saja ada yang tidak setuju mungkin Abu Bakar aken membatalkan
pemilihan itu dan akan mencari dan menetapkan calon kembali dan atas pilihan
rakyat juga calon itu akan dapat menjadi kepala Negara yang baik dan benar.
Pembai’atan
juga dilakukan dengan menunjukkan beberapa calon. Ini terjadi pada masa
pembai’atan Ali. Pada waktu itu suatu persoalan adalah kenyataan dan kebenaran,
maka ada kalanya yang masyhur adalah kebalikannya. Menurut keterangan yang
masyhur, Imam Ali r.a tidak bersedia membai’at Abu Bakar r.a karena ia
berpendapat bahwa ia lebih berhak terhadap Imamah. Namun, dari ucapan-ucapan
Ali, kita dapatkan keterangan bahwa menurut pendapatnya, Imamah itu tidak boelh
berdasarkan penunjukan. Ada riwayat yang menjelaskan pengakuan Ali terhadap
keutamaan Abu Bakar dan haknya terhadap Imamah.
Menurut
keterangan yang masyhur, Imam Ali tidak membai’at Abu Bakar sampai wafatnya
Fatimah r.a. Namun ada riwayat yang menunjukkan bahwa Ali sudah membaiatnya
sebelum Fatimah wafat.
Sebelum
selesainya masa khalifah pertama yang relative singkat dan diberkati Allah, Abu
Bakar dengan memperhatikan pendapat mayoritas sahabat menjadikan Umar sebagai
penggantinya. Namun, ada sebagian sahabat yang takut jika Umar menjadi khalifah
karena wataknya yang tegas dan keras. Mereka berkata pada Abu Bakar, “sungguh,
Anda telah menjadikan orang yang keras sebagai pemimpin kami.”Abu bakar
menjawab,” jika Allah bertanya kepada saya pada hari kiamat, maka saya akan
mengatakan,” saya telah menjadikan yang terbaik dari mereka sebagai
pemimpinnya.”
Ketika
Abu Bakar meminta pendapat umat islam dan meminta mereka membaiat orang yang
disebutkan dalam buku khalifah pertama, mereka berkata,”kami mendengar dan kami
taat.” Ali bin Abi Thalib berkata,”kami tidak rela kecuali jika dia adalah
Umar.”
Ketika
itu, tidak seorangpun yang terlambat membaiat Umar Ibnu Khattab r.a. kecuali
Sa’d bin Ubadah. Lalu, ketika masa pemerintahan khalifah kedua ini hampir usai,
khalifah ini ditentukan dengan cara memilih salah seorang dari 6 sahabat. Dan
kemudian menyusut menjadi tiga orang. Dua diantaranya adalah Ustman bin Affan
dan Ali bin Abi Thalib. Kemudian terjadi pembaiatan missal kepada Ustman[19].
Dalam
cerita diatas kita dapat ambil adalah pemilihan sebagai khalifah ini dipilih
dengan sebenar-benarnya dan bahkan sampai ada calon-calon yang dicalonkan
sebagai seorang kepala Negara dan masalahnya kita harus mantap dengan pilihan
calon kita dan tahu bahwa calon kita ini memiliki jiwa pemimpin yang bagus
jangan salah memilih pemimpin. Karena dalam setiap calon pemimpin itu
sebenarnya semuanya bagus aslkan kita memilih dengan hati nurani kita dengan
ikhlas insaAllah menjadi pemimpin ang baik dan benar.
Perubahan
aturan pengangkatan khalifah ini. Perubahan yang mendasar pertama kali terjadi
ialah dalam pokok undang-undang yang mengatur penetapan pengangkatan seorang
pemimpin umum umat dibawah naungan system khilafah rasyidah. Kaidah perundang-
undangan yang diikuti dalam sistem ini adalah tidak dibenarkannya daya-upaya
seseorang untuk dapat menduduki jabatan khilafah atau meraih kekuasaan dengan
usahanya dan rencananya sendiri, tetapi rakyatlah yang meletakkan kendaali
pemerintahan, setelah permusyawaratan mereka, dalam tangan seseorang yang
mereka anggap paling tepat untuk memimpin umat dan paling patut untuk
mengendalikannya.
Oleh
sebab itulah maka yang diberikan oleh rakyat kepada seseorang sama sekali tidak
merupakan akibat adanya kekuasaan, tetapi bai’at adalah justru pemberi kekuasaan.
Sebabnya ialah bahwa daya-upaya seseorang atau persengkokolanya, sama sekali
tidak memiliki suatu pengaruh dalam berlangsungnya bai’at untuk dirinya. Rakyat
sungguh-sungguh bebas untuk memberikan bai’at ataupun tidak memberikannya. Dan
oleh sebab itu, seseorang tidak akan mencapai kekuasaan apabila tidak
berlangsung bai’at baginya dengan cara sukarela atau bebas[20].
Setiap
khalifah diantara khulafaur rasyidin telah memperoleh jabatannya sesuai dengan
kaidah ini. Tidak seorangpun diantara mereka berusaha meskipun dengan sekecil-kecil
usaha untuk mencapai kekuasaan itu, tetapi ia mencapai kekuasaan itu, tetapi ia
menccapai kekuasaan ketika kekuasaan itu sendiri dating kepadanya. Dan sejauh
yang dapat dikatakan oleh seseorang tentang Sayidina Ali, bahwa ia memang
memandang dirinya sebagai yang paling berhak untuk menjadi khalifah, namun
tidak ada satu riwayat sejarah yang dapat dipercanya yang menyatakan bahwa ia
telah berusaha meskipun hanya sebesar Zarrah untuk memperoleh jabatan khalifah.
Oleh
sebab itu, pendirian bahwa dirinya paling berhak untuk menduduki jabatan
khilafah sama sekali tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dari
kaidah ini. Pada hakikatnya, keempat khulafaur rasyidin sama keadaannya, dalam
kenyataan bahwa khilafah mereka itu merupakan khilafah yang diberikan kepada
mereka, bukan khilafah yang direbut untuk mereka.
Pada
zaman sekarang justru malah terbalik orang yang mencari atau mengajukan dirinya
sebagai kepala Negara atau mereka berebut menjadi kepala Negara padahal mereka
belum dikatakan pantas untuk menjadi kepala Negara. Dan bahkan mereka
mendapatkan kedudukan kepala Negara dengan berusaha dan berpolitik dengan tidak
jujur maka apa jadinya Negara ini kalau semua kepala Negara dan perangkatnya
berbuat seperti itu.
Para
ulama berbeda pendapat mengenai hukum keberadaan khalifah lebih dari satu dalam
satu masa. Sebagian dari mereka melarangnya secara mutlak. Sebagian yang lain
melarang keberadaan khalifah dalam satu waktu dan dalam satu wilayah daratan
atau dalam wilayah-wilayah yang saling berdekatan, namun mereka memperbolehkan
adanya dua khalifah atau lebih dalam satu waktu apabila wilayahnya berjauhan
satu sama lain sehingga komunikasi dan koordinasi sulit dilakukan.
Kalau
kita cermati berbagai pendapat yang ada, kita akan mendapati bahwa pokok
persoalannya adalah dalam sistem komunikasi. Di era informasi-globalisasi ini,
dunia yang begitu luas ini telah menjadi sempit, dalam pengertian bahwa
interaksi manusia di seluruh penjuru bumi telah menembus batas-batas geografis.
Dengan demikian sekarang ini sudah tidak ada lagi alasan yang membolehkan
adanya khalifah lebih dari satu. Maksudnya, tidak boleh ada khalifah lebih dari
satu dalam kedudukan yang sama tinggi. Adapun jika lebih dari satu itu dalam
kedudukan yang berbeda, maka hal itu tidak menjadi soal, karena pada dasarnya
khalifah tertinggi masih tetap satu.
Sistem
kerajaan telah telah dimulai dengan beruahnya kaidah ini. Adapun “khilafah”
mu’awiyah tidak termasuk dalam jenis khilafah rasyidah (khilafah yang adil dan
bijaksana), yakni dengan cara kaum musliminlah yang menetapkan khalalifah
mereka. Sebab Mu’awiyah sendiri memang sangat menginginkan untuk menjadi
khalifah dengan cara apapun, dan untuk itu, ia telah berperang sehingga
berhasil menduduki jabatan khalifah.
Dalam
masa Mu’awiyah inilah mulai terjadi kekacauan-kekacauan dan pertumpahan darah
dalam mendapatkan tugas sebagai kepala Negara atau khalifah itu terjadi pada
saat sepeninggalan Ali sebagai khalifah yang terkhir dan menyerahkan jabatan
khalifahnya ke mu’awiyah karena dengan keganasannya mu’awiyah mundapatkan
jabatan itu.
Hala yang
dapat kita ambil dari cerita diatas adalah pada zaman dulu orang tidak mencari
kekuasaan pada masa khulafaur Rasyidin akan tetapi pada zama muawiyah parsialmenghalalkan
segala cara.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Baiat dibolehkan dalam perkara-perkara parsial
(bagian) dari syariat islam yang dilakukan tanpa paksaan dan juga dilakukan dan
juga dilakukan dengan syarat tidak ada pengaruh dan konsekuensi terhadap Bai’at
kepada Amirul Mukminin. Baik perjanjian itu dengan diri sendiri untuk selalu
taat dengan perbuatan tertentu yang syari’atkan, atau berjanji untuk melakukan
perbuatan tertentu antara dia dengan orang lain, tanpa ada hal yang terlarang
oleh syari’at islam.
Bai'at itu juga adalah suatu
perjanjian atau ikrar yang bagi penerimanya harus sanggup memikul dan
melaksanakan sesuatu yang dibaiatkan. Biasanya baiat itu digunankan pada saat
pemilihan pemimpin atau khilafah. Namun untuk cakapan yang lebih luas baiat
juga berarti menerima amanah baik itu amanah dari rakyat kalau sebagai seorang
pemimpi dan amanah dari seseorang itu juga bisa selama itu masih dalam
menegakkan ajaran islam dan menegakkan syariat islam.
Biasanya istilah Bai’at digunakan juga dalam
penerimaan seorang murid oleh gurunya atau syeikhnya untuk menerima ilmu atau
wirid-wirid tertentu dan berpedoman dengan Bai’at atau sebagai suatu amanah.
Akan tetapi Bai’at juga digunakan di dalam cakupan yang lebih luas dan lebih
jauh lagi dalam menegakkan ajaran islam, yang bukan hanya untuk mengamalkan
wirid-wirid kepada gurunya, namun yaitu unuk menegakkan perlaksanaan syariat
islam itu sendiri.
Pendapat yang mewajibkan bai’at kepada guru, ulama
atau jamaah , adalah pendapat yang tidak memiliki dasar yang jelas dan jauh dari
kebenaran. Selain itu tidaklah sama bai’at kepada guru (syaikh) dengan bai’at
kepada pemimpin umat islam (Amirul Mukminin). Karena kedua bai’at itu berbeda
dalam hal konsekwensinya. Jika saja diantara bai’at itu ada persamaan maka
tentunya orang semacam Ibnu Taimiyah, Ibnu Abidin atau As Subki pasti telah
menegaskan dan bai’at yang tidak sesuai dengan syariat ini tidak memiliki
pengaruh dan tidak bisa diterima oleh akal sehat. Apa lagi orang yang
mengetahui dengan baik syariat islam ini[21].
Dalam urian diatas dapat disimpulkan bahwa bai’at
kepada guru atau syaikhnya ini masih belum jelas hukumnya dan masih dalam
perdebatan sedangkan kalau bai’at seorang pemimpin itu sudah jelas bahkan pada
masa Nabi pun sudah menggunakan bai’at pemimpin ini dan bai’at pemimpin ini
tidak asal memilih pemimpin begitu saja akan tetapi harus dengan musyawarah
kepada rakyat atau wakil rakyat yang telah ditunjuk oleh rakyat.
Pada
masa Rasulullah SAW terjadi beberapa kali pembaiatan, antara antara lain Baiat
Aqabah Pertama dan Baiat Aqabah Kedua. Baiat Aqabah pertama merupakan kontrak
(perjanjian) social dan janji setia untuk berperilaku islami. Di dalamnya juga
terdapat rambu-rambu bagi masyarakat islam. Adapun Baiat Aqabah Kedua adalah
kontrak politik antara umat islam dan pemimpin. Dua Baiat ini merupakan proto
sosial politik untuk hijrah ke Madinah dan dasar dalam pembinaan Negara islam
yang pertama di negri itu.Dapat disimpulkan bahwa baiat ini adalah intinya
memilih pemimpin dengan cara musyawarah dan bagaimana menjadi pemimpin yang
baik. Bagaimana juga mnjadi masyarkat yang baik memilih pemimpin dengan
keikhlasan dari dalam hati bukan dengan uang atau dengan harta tetapi dari hati
dan keikhlasan.
[2] A
Rahman Dahlan, dkk, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT Ikhtiar Baru
Van Heave, 2006), 179.
[4] Ibni Taimiyah, Nasihah
Zahabiyah ila Al- Jama’aat Al- Islamiyah, (Ahmad Tarmudzi, Risalah
Bai’at), (Jakarta:Pustaka At-
Tauhid,2002 ), 42-44.
[5] Hibbah
Rauf Izzat, Wanita dan Polotik Pandangan Islam, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1997), 99.
[6] Hasby
Ash Shiddieqy, Azas azas Hukum Tata Negara menurut Syari’at Islam, (Yogyakarta: Matahari Masa,
1969), 66
[12] Muhammad Husein
Haikal, Al- Hayah Muhammad, (Mesir: Maktabah Haudlah, 1965), 202.
[14]A. Rahman Ritonga, Ensiklopedia
Hukum Islam, 181.
[16] Dr Ali As-Salus, Imamah dan Khilafah, hal 19-20
[17] Abul A’la Al-maududi,
Khilafah dan Kerajaan, hal 115
[20]Abul A’la Al-maududi, Khilafah dan Kerajaan, hal 200
[21]Ibni Taimiyah, Nasihah
Zahabiyah ila Al- Jama’aat Al- Islamiyah, (Ahmad Tarmudzi, Risalah
Bai’at), (Jakarta:Pustaka At-
Tauhid,2002 ), 22-23.
LDII is the BEST
ReplyDelete