Thursday, February 21, 2013

EKONOMI ISLAM


1.      Menurut saya tentang riba sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur’an relevansinya dengan bunga bank terfokus pada permasalahan sentral sebagai berikut :
Pertama, Pelarangan riba dipahami berdasarkan legal formal sebagaimana yang dikonsepkan dalam fiqih klasik yang memahami bahwa setiap bunga (tambahan) adalah riba sehingga sedikit maupun banyak hukumnya adalah haram. Pemahaman secara legal formal atau tekstual ini memahami bunga bank secara induktif yang berpijak pada teori qiyas yang bersandar pada illat jali (ilat yang jelas). Dalam hal riba dan bunga bank keduanya disatukan oleh illat “tambahan” atau bunga.
Kedua, larangan riba dipahami dengan menekankan aspek rasional melalui alur pikir deduktif yang mencoba menginterpretasikan riba dengan melihat konteks masing–masing (paradigma kontekstual). Konteks keharaman riba dalam Al-Qur’an adalah memungut tambahan (bunga) yang bermuatan ketidakadilan, sehingga mereka menyimpulkan illat keharaman riba adalah sifat dzulm. Sedangkan bank adalah lembaga niaga (tijarah) yang menjadi mediator antara pihak yang ingin menyimpan atau menanamkan modal (investor) dan pengusaha yang membutuhkan modal. Hutang piutang dalam perbankan bukan dalam konteks tolong menolong antara si kaya dan si miskin, melainkan tijarah (niaga) untuk mencari keuntungan bersama antara pihak pemilik modal, pengguna modal, dan pihak perbankan. Hasil analisis kontekstual ini mengharuskan mereka meninggalkan qiyas dan mengedepankan metode istihsan. Maka tidak setiap bunga (tambahan) adalah riba.
2.      Ada dua pendapat di kalangan Ulama tentang jual beli obat – obatan yang bahannya dari bahan najis. Pendapat yang pertama mengharamkan secara total. Pendapat kedua membolehkan karena darurat.
a.       Pendapat Yang Mengharamkan.
Pendapat ini menyatakan bahwa apa pun dalihnya, pokoknya haram hukumnya bagi seorang muslim memakan hewan yang sudah diharamkan Allah untuk mengkonsumsinya. Mereka juga tidak menerima kalau dikatakan bahwa sebuah penyakit tidak ada obatnya. Sebab ada dalil yang shahih yang menyebutkan bahwa Allah SWT tidak menurunkan penyakit kecuali disertai juga dengan obatnya.
Sesungguhnya Allah SWT menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Hendaklah kalian berobat, dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR Abu Dawud)
Dengan hadits ini maka jual beli obat – obatan yang bahannya dari bahan najis hukumnya haram. Walaupun tujuannya untuk berobat atau mencari kesembuhan. Sebab tidak ada penyakit yang tidak ada obatnya. Dan obat itu sudah diturunkan Allah SWT beserta dengan turunnya penyakit. Tugas kita adalah menemukan obat yang telah Allah SWT turunkan. Bukan menggunakan obat yang diharakamkan. Bahkan ada hadits yang justru menyebutkan bahwa bila sesuatu makanan itu haram, maka pasti bukan obat. Karena Allah SWT tidak pernah menjadikan obat dari sesuatu yang hukumnya haram.
”Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu pada apa-apa yang diharamkankan Allah atasmu.” (HR Bukhari dan Baihaqi)
Maka semakin jelas menurut pendapat ini bahwa jual beli obat – obatan yang bahannya dari bahan najis bukanlah sebuah upaya penyembuhan yang benar. Karena obat itu tidak pernah diturunkan kecuali berupa benda-benda yang halal.
b.      Pendapat Yang Menghalalkan.
Pendapat kedua yang menghalalkan berobat dengan sesuatu yang haram, menggunakan dua dalil utama. Dalam hukum syariat, ada kaidah bahwa sesuatu yang dharurat itu bisa menghalakan sesuatu yang dilarang. Ad-Dharuratu tubihul mahdzurat. Selain itu Allah SWT telah berfirman :
Dan barangsiapa yang terpaksa pada (waktu) kelaparan dengan tidak sengaja untuk berbuat dosa, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih. (QS. Al-Maidah: 3)
Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia telah haramkan atas kamu, kecuali kamu dalam keadaan terpaksa." (QS. Al-An'am: 119)
Namun mereka sepakat dalam menetapkan syarat-syarat yang harus terpenuhi, antara lain:
Ø  Terdapat bahaya yang mengancam kehidupan manusia jika tidak berobat.
Ø  Tidak ada obat lain yang halal sebagai ganti obat yang haram itu.
Ø  Adanya suatu pernyataan dari seorang dokter muslim yang dapat dipercaya, baik pemeriksaannya maupun agamanya (i'tikad baiknya).
Selain itu mereka juga menggunakan kejadian di masa Nabi dimana menurut mereka ada hadits-hadits yang membolehkan berobat dengan benda najis dan haram, sebagai sebuah keringanan atau rukhshah. Misalnya hadits yang menyebutkan bahwa Nabi SAW pernah membolehkan suku ‘Ukl dan ‘Uraynah berobat dengan meminum air kencing unta. Hadits ini membolehkan berobat dengan najis, sebab air kencing unta itu najis menurut kebanyakan ulama. Walau pun madzhab Hanbali mengatakan bahwa air kencing unta tidak najis, karena daging unta halal dimakan.
Selain itu juga hadits dari Anas radhiyallahu 'anhu yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW memberi keringanan (rukhsah) kepada Zubair bin Al-‘Awwam dan Abdurrahman bin Auf untuk memakai kain sutera. Padahal begitu banyak hadits yang mengharamkan laki-laki muslim mengenakan pakaian yang terbuat dari sutera. Namun lantaran kedua shahabat itu menderita penyakit gatal-gatal, maka beliau pun memberikan keringanan untuk memakainya.
Hadits ini shahih karena terdapat di dalam dua kitab tershahih di dunia, yaitu As-Shahih Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim.
3.      Masalah yang dialami oleh Nociera Cell salah satu mitra master dealer Indo Pulsa Jemursari ialah :
Beberapa kali melakukan transaksi penjualan dengan beragam nominal pulsa, Nociera Cell mengalami kerugian yang disebabkan karena tidak adanya tanggungjawab Indo Pulsa terhadap tidak masuknya pulsa yang dipesan oleh mitra ke dalam nomor tujuan konsumen. Setelah melakukan berbagai pengecekan kesalahan dari pihak Nociera Cell dan konsumen yang memungkinkan terjadinya kegagalan masuknya pulsa ke konsumen dan tidak ada yang salah, Nociera Cell segera melakukan komplain keesokan harinya yaitu 1x24 jam setelah transaksi dilakukan.
Indo Pulsa memberikan tanggapan kepada Nociera Cell, bahwasannya dalam setiap transaksi penjualan apabila pihak Indo Pulsa telah menerima Serial Number (SN) maka transaksi penjualan dianggap sukses, dan berarti pulsa yang dipesan sudah masuk, Indo Pulsa meminta Nociera Cell melakukan komplain langsung kepada provider yang bersangkutan karena pihak Indo Pulsa tidak mau memberikan tanggungjawab atau kompensasi apapun terhadap kerugian yang diderita oleh Nociera Cell.
Segera setelah mendengar tanggapan Indo Pulsa, mitra melakukan komplain kepada provider pulsa yang bersangkutan, dalam hal ini Indosat, ada beberapa pertanyaan yang diberikan oleh CS Indosat yang tidak dapat dijawab oleh Nociera Cell yang mana pertanyaan tersebut hanya bisa dijawab oleh Indo Pulsa, sehingga dengan demikian Nociera Cell gagal melakukan komplain terhadap provider Indosat. Nociera Cell kembali melakukan komplain terhadap master dealer dengan mendatangi langsung kantor Indo Pulsa di Jemursari, mitra menjelaskan kejadian di provider Indosat kepada Indo Pulsa, meski demikian pihak Indo Pulsa tetap tidak mau memberikan keterangan ataupun solusi dan tidak mau ikut bertanggungjawab atas kasus yang terjadi.
Mendengar tanggapan dari Indo Pulsa ini mitra Nociera Cell merasa kecewa, karena disamping ia tidak bisa menyelesaikan masalah ini ke pihak provider, Nociera Cell juga harus mengembalikan kerugian yang diderita oleh konsumen yaitu dengan mengembalikan uang konsumen karena konsumen menuntut ganti rugi. Tidak hanya cukup disitu, deposit mitra juga dipotong karena Indo Pulsa menganggap transaksi penjualan yang dilakukan oleh Nociera Cell telah berhasil.
Analisa masalah tersebut :
Dalam kasus master dealer pulsa sebagaimana yang telah terurai di atas, pihak Indo Pulsa tidak memberikan tanggungjawab kepada Nociera Cell atas tidak terkirimnya pulsa yang dipesan kepada konsumen. Ini identik dengan perbuatan melawan hukum yang menyalahi ketentuan pada Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) UUPK. Sehingga sesuai dengan Pasal 23 UUPK Nociera Cell selaku konsumen bisa menggugat pelaku usaha (Indo Pulsa) ke pengadilan, dan apabila Indo Pulsa dinyatakan bersalah maka sesuai Pasal 60 UUPK Indo Pulsa selaku pelaku usaha dapat dikenakan sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi.
Dalam jual beli menurut hukum Islam, karena pihak Indo Pulsa tidak bisa menyerahkan barang yang dipesan oleh mitra dengan spesifikasi yang sudah diperjanjikan di awal pada waktu yang telah ditentukan, maka tentu saja hal ini menjadikan akad jual beli pulsa khususnya pada saat transaksi yang mengalami kegagalan masuknya pulsa ke konsumen menjadi fasakh.

A. Riba
Riba yang berasal dari bahasa Arab artinya tambahan (ziyadah, Arab/addition, Inggris), yang berarti : tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman.
اَلرِّبَـافيِ الشَّرْعِ هُوَ فَصْلٌ خَـالٍ عَنْ عِوَاضٍ شُرِطَ ِلاَحَدِالْـعَاقِدِيْنَ
Kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad / transaksi.
Ada yang membedakan antara riba dan rente/bunga seperti bahwa riba adalah untuk pinjaman yang bersifat konsumtif, sedangkan rente/riba untuk pinjaman yang bersifat produktif.
Adapun dampak akibat praktek riba itu antara lain ialah :
1. Menyebabkan eksploitasi (pemerasan) oleh si kaya terhadap si miskin
2. Uang modal besar yang dikuasai oleh the haves tidak disalurkan ke dalam usaha-usaha yang produktif, misalnya pertanian, perkebunan, industri, dan sebagainya yang dapat menciptakan lapangan kerja banyak, yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dan juga bagi pemilik modal sendiri, tetapi modal besar itu justru disalurkan dalam perkreditan berbunga yang belum produktif.
3. Bisa menyebabkan kebangkrutan usaha dan pada gilirannya bisa mengakibatkan keretakan rumah tangga, jika si peminjam itu tidak mampu mengembalikan pinjaman dan bunganya.
Karena melihat bahaya besar atau dampak negatif dari praktek riba itulah, maka Nabi Muhammad membuat perjanjian dengan kelompok Yahudi, bahwa mereka tidak dibenarkan menjalankan praktek riba dan Islam pun dengan tegas nelarang riba. Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang membicarakan riba secara eksplisit. Pada periode Mekah sebelum hijrah, Allah berfirman dalam surat ar-Rum ayat 39, yang menerangkan bahwa bagi Allah orang itu sebenarnya tidak melipatgandakan hartanya dengan jalan riba, melainkan dengan jalan zakat yang dikeluarkan karena Allah semata-mata.
Di dalam hadits-hadits Nabi, yang menegaskan bahwa riba itu termasuk tujuh dosa besar, yakni syirik, sihir, membunuh anak yatim, melarikan diri waktu pertempuran dan menuduh zina wanita yang baik-baik.
لَعَـنَ الله ُ آكِلَ الرِّبَـا وَهُوَ كِلَّهُ وَشَــاهِـدَيْهِ وَكَاتِبَـهُ (الحديث)
”Allah mengutuk orang yang mengambil riba (orang yang memberi pinjaman), orang yang memberikan riba (orang yang utang), dua orang saksinya, dan orang yang mencatatnya.”
B. Macam-Macam Riba
Ibnu al-Qayyim, sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman Isa menerangkan bahwa riba ada dua macam, yaitu :
a) Riba yang jelas, yang diharamkan karena adanya keadaan sendiri, yaitu riba nasiah (riba yang terjadi karena adanya penundaan pembayaran hutang). Riba nasiah ini hanya di perbolehkan dalam keadaan darurat.
b) Riba yang samar, yang diharamkan karena sebab lain, yaitu riba yang terjadi karena adanya tambahan pada jual beli benda/bahan yang sejenis.
اَلْحَــاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَـةَ الضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْطُوْرَاتِ.
Hajat (keperluan yang mendesak/penting) itu menempati di tempat terpaksa, sedangkan keadaan darurat itu menyebabkan boleh melakukan hal-hal yang dilarang.

Menurut para ulama, riba ada empat macam
a) Riba Fadli, yaitu riba dengan sebab tukar menukar benda, barang sejenis (sama) dengan tidak sama ukuran jumlahnya. Misalnya satu ekor kambing ditukar dengan satu ekor kambing yang berbeda besarnya satu gram emas ditukar dengan seperempat gram emas dengan kadar yang sama. Sabda Rasul SAW
عَنْ آبِى سَعِيْدٍ ن الْجُدْرِيِّ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تَبِيْعُوْاالذَّهَبِ اِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَلاَ تُشِفُّوْا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلاَتَبِعُواالْوَرِقَ بِالْوَرِقِ اِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَلاَ تُشِقُوْابَعْضَهَاعَلَى بَعْضٍ وَلاَتَبِعُوْامِنْهَاغَائِبًابِنَاجِزٍ
 Artinya:
“ Dari Abi Said Al Khudry, sesungguhnya Rasulullah SAW. Telah bersabda, “Janganlah kamu jual emas dengan emas kecuali dalam timbangan yang sama dan janganlah kamu tambah sebagian atas sebagiannya dan janganlah kamu jual uang kertas dengan uang kertas kecuali dalam nilai yang sama, dan jangan kamu tambah sebagian atas sebagiannya, dan janganlah kamu jual barang yang nyata (riil) dengan yang abstrak (ghaib).” (riwayat Bukhari dan muslim)
Riba Fadli atau riba tersembunyi ini dilarang karena dapat membawa kepada riba nasi’ah (riba jail) artinya riba yang nyata
b) Riba Qardhi, yaitu riba yang terjadi karena adanya proses utang piutang atau pinjam meminjam dengan syarat keuntungan (bunga) dari orang yang meminjam atau yang berhutang. Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta) kemudian diharuskan membayarnya Rp. 1.300.000,- (satu juta Tiga ratus ribu rupiah)
Terhadap bentuk transsaksi seperti ini dapat dikategorikan menjadi riba, seperti sabda Rasulullah Saw
“Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.” (Riwayat Baihaqi)
c) Riba Nasi’ah, ialah tambahan yang disyaratkan oleh orang yang mengutangi dari orang yang berutang sebagai imbalan atas penangguhan (penundaan) pembayaran utangnya. Misalnya si A meminjam uang Rp. 1.000.000,- kepada si B dengan perjanjian waktu mengembalikannya satu bulan, setelah jatuh tempo si A belum dapat mengembalikan utangnya. Untuk itu, si A menyanggupi memberi tambahan pembayaran jika si B mau menunda jangka waktunya. Contoh lain, si B menawarkan kepada si A untuk membayar utangnya sekarang atau minta ditunda dengan memberikan tambahan. Mengenai hal ini Rasulullah SAW. Menegaskan bahwa:
Artinya:
Dari Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. Telah melarang jual beli hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.”(Riwayat Imam Lima dan dishahihkan oleh Turmudzi dan Ibnu Jarud)
d) Riba Yad, yaitu riba dengan berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima antara penjual dan pembeli. Misalnya, seseorang membeli satu kuintal beras. Setelah dibayar, sipenjual langsung pergi sedangkan berasnya dalam karung belum ditimbang apakah cukup atau tidak. Jual beli ini belum jelas yang sebenarnya. Sabda Rasulullah SAW.
Artinya:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaknya serupa dan sama banyaknya, tunai dengan tunai, apabila berlainan jenisnya boleh kamu menjual sekehendamu asal tunai”. (Riwayat Muslim)
Bunga Bank
Menurut The American Heritage DICTIONARY of the English Language : Interest is "A charge for a financial loan, usually a precentage of the amount loaned". (lihat H. Karnaen A. Perwataatmadja, S.E., MPA). Bunga adalah sejumlah uang yang dibayar atau untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal.
Kata riba berhubungan dengan pengambilan bunga yang berlebihan yang dilakukan pemberi pinjaman uang terhadap peminjam . Penjelasan ini sama dengan penjelasan kata “usury” dalam bahasa Inggris untuk kata riba.Sementara itu bunga diterjemahkan sebagai interest
Di Eropa, riba dilarang oleh gereja atau hukum Canon. Akan tetapi, pada akhir abad-13, pengaruh gereja ortodoks mulai melemah dan orang mulai kompromi dengan riba. Selanjutnya pelarangan riba di Eropa dihilangkan. Di Inggris, pelarangan itu dicabut pada 1545, saat pemerintahan Raja Henry VIII. Pada zaman itulah, istilah usury (riba) diganti dengan istilah interest (bunga). Lama-kelamaan tercipta citra bahwa riba tidak sama dengan bunga. Riba dilarang, bunga tidak.
Ulama Islam berpandangan bahwa bunga uang me­rupakan bagian dari teori riba.Ibnu Qayyim membedakan antara riba terang-terangan (al-jali) dan riba terselubung (al-khafi). Definisi fiqih yang menjelaskan riba karena perpanjangan waktu (an-nasi'ah) dan riba dalam pertukaran barang sejenis (al-fadl). Bunga bank termasuk dalam riba nasi'ah ini. Jadi, teori pembungaan uang hanya merupakan bagian dari teori riba yang jauh lebih komprehensif. Dan pembungaan uang oleh bank lebih parah dari praktik riba nasi'ah pada zaman Jahiliah dimana riba nasi'ah di zaman Jahiliyah baru dikenakan pada saat peminjam tidak mampu melunasi utangnya dan meminta perpanjangan waktu. Bila si pe­minjam mampu melunasi pada saat jatuh temponya, tidak dikenakan riba, padahal bank konvensional telah mengenakan bunga sehari setelah uang dipinjamkan.
Sabda Rasulullah SAW,”Jika seseorang memberikan pinjaman kepada sesorang lainnya, dia tidak boleh menerima hadiah” (HR. Bukhari). Dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda,”Ketika sesorang memberikan pinjaman kepada orang lain dan peminjam memberikannya makanan atau tumpangan hewan, dia tidak boleh menerimanya kecuali keduanya terbiasa saling memberikan pertolongan” (HR. Baihaqi). Jawaban Rasulullah ini menyamakan riba dengan apa yang lazim dipahami sebagai bunga (bunga bank).
Allah SWT berfirman,
”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (al-Baqarah: 278-279).
Riba menyuburkan sifat rakus dan kesemena-menaan. Juga memudahkan berkembangnya sifat materialisme manusia yang tidak memikirkan hal lain kecuali memperbanyak dan menimbun harta tanpa mempedulikan kebutuhan masyarakat dan lingkungannya.
Beban bunga akan membuat orang membutuhkan banyak keuntungan yang demikian banyak dari sesamanya.
Menurut fatwa MUI tentang bunga adalah sebagai berikut:
  1. Bunga (Interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang di per-hitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut,berdasarkan tempo waktu,diperhitungkan secara pasti di muka,dan pada umumnya berdasarkan persentase.
  2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penagguhan dalam pembayaran yang di perjanjikan sebelumnya, dan inilah yang disebut Riba Nasi’ah.
Hukum Bunga (interest) menurut fatwa MUI adalah:
  1. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya.
  2. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram,baik di lakukan oleh Bank, Asuransi,Pasar Modal, Pegadian, Koperasi, Dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
Mayoritas ulama mengatakan bahwa bunga bank adalah riba dan hukumnya haram. Dan sebagian yang lain mengatakan bahwa bunga bank adalah bukan riba, maka hukumnyapun tidak haram.
Mayoritas ulama berargumentasi bahwa bunga bank tidak berbeda dengan riba hanya dalam bentuk dan tekhnis operasionalnya saja (dalil-dalilnya sama dengan apa yang diungkapkan oleh MUI).
Adapun sebagian ulama yang mengatakan bahwa bunga bank bukan merupakan riba berargumentasi dengan dalil-dalil secara globalnya sebagai berikut: 
a) bahwa bunga bank sifatnya fluktuatif dan ditentukan berdasarkan keuntungan yang diperoleh secara standar dari neraca ekonomi sebuah negara. Jadi bunga bank adalah sama dengan keuntungan dari sebuah perusahaan yang membagikan keuntungan yang diperolehnya.Pendapat tersebut jelas sekali tidak sesuai dengan realitanya, karena bunga bank ditentukan bukan berdasarkan keuntungan standar yang dihasilkan oleh ekonomi negara tapi ditentukan oleh banyak faktor, salah satunya adalah tingkat inflasi, cadangan devisa negara, strategi ekonomi, pertumbuhan ekonomi suatu negara dan lainnya.
b) bahwa bank adalah sebuah lembaga investasi yang mana mereka menginvestasikan dana nasabahnya dalam bentuk-bentuk investasi yang menguntungkan. Jadi fungsi bank dalam hal ini adalah sebagai mudharib (pengelola dana untuk di investasikan) dan bukan sebagai broker atau mediator yang meminjamkan lagi dana nasabahnya kepada pihak ketiga dengan sistem bunga. Bila fungsi bank sebagai mudharib/ patner of share maka hal itu dibolehkan dalam fiqh Islam.
c) Melihat realita, fungsi bank lebih dominan kepada mediator untuk meminjam kembali uang nasabahnya kepada pihak ketiga dengan rate bunganya lebih tinggi dibandingkan yang diberikan kepada nasabahnya.
Adapun ulama lain mengatakan bahwa bunga bank adalah haram tapi karena madharat maka hal itu dibolehkan. Pendapat ini untuk 20 tahun yang lalu mungkin bisa diterima tapi untuk kondisi sekarang, dimana bank-bank syariah sudah menjamur dimana-mana bahkan bank-konvensionalpun sudah mulai membuka cabang syariahnya (dual system).
Dari uraian singkat di atas. Jelaslah bahwa bunga bank dalam berbagai bentuknya baik rekening biasa, rekening berjangka, rekening deposito dan instrument-instrument lainnya yang menggunakan bunga adalah haram.
D. Pengharaman Bunga Bank
Tentang pengharaman bunga bank (karena bunga bank sama denga riba) melalui berbagai fatwa yang dikemukan sebagai berikut :
a) Muktamar II Lembaga Riset Islam Al Azhar, yang dilaksanakan di Kairo (bulan mei 1965) dan dihadiri utusan dari 35 negara Islam telah menyepakati beberapa hal diantaranya : Bunga (interest) dari semua pinjaman, hukumnya riba dan diharamkan
b) Rabithah Al-Alam Al-Islami (Keputusan No.6 Sidang ke 9 ) di Mekkah, 12-19 Rajab 1406 H,menyatakan : bunga bank yang berlaku pada perbankan konvensional adalah riba yang diharamkan
c) Majma Fiqh Islami Organisasi KonferensiIslam/OKI (keputusan No.10, OKI ke dua 22-28 Desember 1985 yang menyatakan : Setiap tambahan (interest) atas hutang yang telah jatuh tempo dan orang yang berutang tidak mampu membayarnya dan sebagai imbalan atas penundaaanya itu, demikian pula tambahan (interest) atas pinjaman yang ditetapkan di awal perjanjian, maka kedua bentuk itu adalah riba yang diharamkan dalam syariat
d) Bahtsul Masail, dalam Munas di Bandar Lampung tahun 1992, merekomendasikan agar Nadhatul Ulama (PBNU) mendirikan bank Islam NU dengan sistem tanpa bunga. Sebenarnya dikalangan NU masih terdapat tiga pendapat tentang bunga bank, ada yang menyatakan bunga bank sama dengan riba, ada yang menyatakan tidak sama dan ada yang menyatakan subhat (meragukan)
e) Lajnah Tarjih (Muhammadiyah) tahun 1968 di Sidoarjo menyarankan kepada Pengurus Pusat (PP Muhammadiyah) untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam
f) Majelis Ulama Indonesia dalam lokakarya Alim Ulama di Cisarua Tahun 1991 bertekad bahwa MUI harus segera mendirikan bank Alternatif
g) Fatwa Majelis Ulama Indonesia Pada Akhir Tahun 2003 yang menyatakan bahwa bunga bank haram
h) Fatma Lajnah Tarjih Muhammadiyah yang menyatakan bunga bank termasuk kategori riba sehingga bunga bank menjadi haram hukumnya
E. Bunga Dalam Perspektif Non-Muslim
Bunga / riba bukan hanya persoalan umat Islam, tetapi berbagai umat yang lainnya juga memandang serius praktek bunga/riba tersebut. Berikut bagaimana pandangan non-muslim dalam memandang bunga/riba, diantaranya :
1. Konsep bunga menurut kalangan Yahudi
Orang-orang Yahudi dilarang mempraktekkan pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian Lama) maupun undang-undang Talmud.
Kitab Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7 menyatakan :
"Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uang-mu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta bunga."
2. Konsep bunga menurut kalangan Yunani dan Romawi
Pada masa Yunani sekitar abad V SM – IV M telah terdapat undang-undang yang membenarkan memngambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan tingkat maksimal yang dibenarkan hukum (maximum legal rate). Nilai suku bunga selalu berubah-rubah sesuai dengan waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga berbunga (double countable).
Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM) kegitan pengambilan bunga tidak diperbolehkan, tapi pada masa Unciaria (88 SM) prektek tersebut dibolehkan lagi seperti semula. Namun demikian praktek pengambilan bunga dicerca oleh ahli filsafat Yunani, diantaranya : Plato (427-347 SM), ia mengecam sistem bunga berdasarkan dua alasan, yaitu : bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat dan bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin.
Aristoteles (384-322 SM) menyatakan uang adalah sebagai alat tukar (medium exchange). Uang bukan alat untuk mengahasilkan lewat bunga. Ia juga menyebutkan bunga sebagai uang yang berasal dari uang yang keberadaannya dari sesuatu yang belum tentu pasti terjadi. Jadi pengambilan bunga merupakan sesuatu yang tidak adil.
Ahli filsafat Romawi, Cato (234-149 SM), ia memberikan dua ilustrasi untuk melukiskan perbedaan antara perniagaan dan memberi pinjaman ; pertama, perniagaan adalah suatu pekerjaan yang mempunyai resiko sedangkan memberi pinjaman dengan bunga adalah sesuatu yang tidak pantas. Kedua, dalam tradisi mereka terdapat perbandingan antara seorang pencuri dengan seorang pemakan bunga. Pencuri akan didenda dua kali lipat sedangkan pemakan bunga akan didenda empat kali lipat. Sedangkan Cicero (106-43 SM) memberi nasehat kepada anaknya agar menjauhi dua pekerjaan; memungut cukai dan memberi pinjaman dengan bunga. Ringkasnya ahli filsafat Yunani dan Romawi menganggap bunga sesuatu yang hina dan keji.
3. Konsep bunga menurut kalangan Kristen
Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas, namun sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan :
“Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.”'
Ketidak tegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktekkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII - XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI - tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga.
Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abad I - XII) pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah pengambilan bunga kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh orang Kristen. St. Basil (329 - 379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak berperi-kemanusiaan. Baginya, mengambil bunga adalah mengambil keuntungan dari orang yang memerlukan. Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air mata dan kesusahan orang miskin.
St. Gregory dari Nyssa (335 - 395) mengutuk praktek bunga karena menurutnya pertolongan melalui pinjaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti membantu tetapi pada saat menagih dan meminta imbalan bunga bertindak sangat kejam.
St. John Chrysostom (344 - 407) berpendapat bahwa larangan yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi juga berlaku bagi penganut Perjanjian Baru. St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir).
St. Augustine berpendapat pemberlakuan bunga pada orang miskin lebih kejam dibandingkan dengan perampok yang merampok orang kaya. Karena dua-duanya sama-sama merampok, satu terhadap orang kaya dan lainnya terhadap orang miskin.
Kesimpulan hasil bahasan para sarjana Kristen periode tersebut sehubungan dengan bunga adalah sebagai berikut : pertama, niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan pinjaman adalah suatu dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan. Kedua, mengambil bunga dari pinjaman diperbolehkan, namun haram atau tidaknya tergantung dari niat si pemberi hutang.
F. Kesimpulan
Riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modalsecara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli.Riba hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan riba jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasi’ah.
  • Riba Qardh
    • Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
  • Riba Jahiliyyah
    • Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
  • Riba Fadhl
    • Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
  • Riba Nasi’ah
    • Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Bunga (Interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang di per-hitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut,berdasarkan tempo waktu,diperhitungkan secara pasti di muka,dan pada umumnya berdasarkan persentase.
Adapun bunga dapat di identikaan dengan riba, karena prinsip bunga adalah menambah/ melebihkan dari yang seharusnya, dalam konsep bunga bank, yang menjadi acuannya presentase dari bunga tersebu tadi dapat di identifikasi, bunga yang terdapat pada bank konfensional labih condong kea rah riba, karena yang menjadi acuan mereka adalah uang bukan apa yang dapat di usahakan dari uang yang beredar tersebut,
Menurut Fatwa MUI adalah Praktek Penggunaan bunga tersebut hukumnya adalah haram,baik di lakukan oleh Bank, Asuransi,Pasar Modal, Pegadian, Koperasi, Dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.











A. Hukum Riba
Hukum Islam meliputi semua aspek kehidupan kaum muslim, seperangkat kewajiban dan praktik ibadah, shalat, tata krama dan moral, perkawinan, pewarisan, pidana, dan transaksi komersial. Dengan kata lain, hukum Islam meliputi banyak aspek yang dalam tradisi lain tak akan dianggap sebagai hukum. Oleh karena itulah, sebagai hukum yang suci, hukum Islam mengandung inti keimanan Islam itu sendiri.[1] Ibnul Qoyyim -rahimahullah- berkata: “Islam adalah mentauhidkan Allah, beribadah kepada Nya saja, dan tidak ada sekutu bagi Nya, iman kepada Allah dan Rasul Nya, dan mengikuti apa yang beliau bawa. Jika seorang hamba tidak melaksanakan hal ini, maka ia bukan Muslim. Bila ia bukan kafir mu’anid (kafir pembangkang) maka dia kafir jahil (kafir karena bodoh). Status minimal thabaqah (tingkatan) ini adalah mereka itu orang-orang kafir jahil yang tidak mu’anid, dan ketidak ‘inad (pembangkangan) mereka tidak mengeluarkan mereka dari status sebagai orang-orang kafir.”[2]
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaithan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Allah telah menghalalkan perniagaan (jual-beli) dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datangnya larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang senantiasa berbuat kekafiran/ingkar, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Rabbnya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”(Q.S. Al-Baqarah: 275-279)[3]
Prof.Dr.Yusuf Al-Qaradhawi dalam pengertian riba mengatakan bahwa sesungguhnya pegangan ahli-ahli fiqh[4] dalam membuat batasan pengertian riba dalah nash (teks) Al-Qur’an itu sendiri. Ayat di atas menunjukkan bahwa sesuatu yang lebih dari modal dasar adalah riba, sedikit atau banyak. Jadi, setiap kelebihan dari modal asli yang ditentukan sebelumnya karena semata-mata imbalan bagi berlalunya waktu adalah riba. Batasan riba yang diharamkan oleh Al-Qur’an itu sebenarnya tidak memerlukan penjelasan yang rumit. Karena tidak mungkin Allah mengharamkan sesuatu bagi manusia, apalagi mengancam pelakunya dengan siksa yang paling pedih, sementara bagi mereka sendiri tidak jelas apa yang dilarang itu. Padahal Allah telah berfirman,
“Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. Al-Baqarah: 275).[5]
Prinsip perbankan Islam adalah menjauhkan riba dan menerapkan sistem bagi hasil dan jual beli. Ditinjau dari bahasa Arab, riba bermakna: tambahan, tumbuh, dan menjadi tinggi.[6] Menurut ensiklopedi Islam Indonesia, Ar-Riba makna asalnya ialah tambah, tumbuh, dan subur. Adapun pengertian tambah dalam konteks riba ialah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak, seperti yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an.[7] Sedangkan dalam bahasa Inggris, riba sering diterjemahkan sebagai “usury” yang artinya dalam The American Heritage Dictonary of the English Language, adalah:
a. the act of lending money at an exorbitant or illegal rate of interest;
b. such of an excessive rate of interest;
c. archaic (tidak dipakai lagi, kuno, kolot, lama). The act or practice of lending money at any rate of interest;
d. aw, obsolete (usang, tidak dipakai, kuno). Interest charged or paid on such a loan.[8]
Dr. Perry Warijo berpendapat bahwa interest dan usury pada hakikatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam persentase. Istilah usury muncul karena belum mapannya pasar keuangan pada zaman itu sehingga penguasa harus menertapkan suatu tingkat bunga yang dianggap “wajar”. Namun setelah mapannya lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah itu menjadi hilang karena hanya ada satu tingkat bunga di pasar sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran.[9]
Diantara dalil dari hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang menunjukkan akan haramnya riba ialah hadits berikut:
Dari Shahabat Jabir Radhiyallahu Ta’ala Anhu’ ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah melaknati pemakan riba, orang yang memberikan/membayar riba, penulisnya, dan juga dua orang saksinya.” Dan beliau juga bersabda, “Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (H.R. Muslim).[10]
“Satu dirham dari hasil riba yang dimakan oleh seseorang dan ia mengetahuinya niscaya dosanya lebih berat daripada dosa 36 (tiga puluh enam) kali berbuat zina.” (H.R. Ahmad, dan sanadnya digolongkan shahih).[11]
“Riba itu mempunyai 73 pintu (dosa), di mana pintunya yang paling ringan setara dengan (dosa) seseorang yang menikahi ibu kandungnya dan pintunya yang paling berat setara dengan (dosa) menodai kehormatan seorang Muslim.” (H.R. al-Hakim dan ia menshahihkannya).[12]
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga telah memerintahkan untuk mengambil yang halal dan jelas, serta meninggalkan yang syubhat, apalagi yang jelas keharamannya.
Dari Nu’man bin Basyir, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas. Antara keduanya ada perkara-perkara syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Maka barangsiapa yang menjaga diri dari perkara-perkara yang syubhat tersebut maka berarti ia telah menjaga dien dan kehormatannya, dan barangsiapa yang terjerumus dalam perkara yang syubhat berarti dia terjerumus kepada yang haram. Seperti seorang penggembala yang menggembala di sekitar daerah larangan, lambat laun akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya setiap raja itu memiliki daerah larangan, sedangkan daerah larangan Allah itu adalah apa-apa yang diharamkan Allah. Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal darah, apabila dia baik, maka baiklah seluruh jasad dan apabila dia buruk maka buruklah seluruh jasad. Dia adalah hati.” (H.R. Bukhari dan Muslim)[13]
Jadi dapat disimpulkan bahwa riba itu haram. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ahli ilmu mengenai hal ini. Perbedaan pendapat muncul saat para ahli ilmu menentukan apakah bunga bank komersial/bank konvensional yang telah menjadi sistem perekonomian dunia adalah sama dengan riba.
A.1. Pendapat Yang Mengatakan Bunga Bank Bukan Riba[14]
Segelintir Ulama di negara-negara Timur Tengah dan beberapa orang pakar ekonomi di negara sekuler, berpendapat bahwa riba tidaklah sama dengan bunga bank. Seperti Mufti Mesir Dr. Sayid Thantawi, yang berfatwa tentang bolehnya sertifikat obligasi yang dikeluarkan Bank Nasional Mesir yang secara total masih menggunakan sistem bunga, dan ahli lain seperti Dr. Ibrahim Abdullah an-Nashir. Doktor Ibrahim dalam buku Sikap Syariah Islam terhadap Perbankan mengatakan, “Perkataan yang benar bahwa tidak mungkin ada kekuatan Islam tanpa ditopang dengan kekuatan perekonomian, dan tidak ada kekuatan perekonomian tanpa ditopang perbankan, sedangkan tidak ada perbankan tanpa riba. Ia juga mengatakan, “Sistem ekonomi perbankan ini memiliki perbedaan yang jelas dengan amal-amal ribawi yang dilarang Al-Qur’an yang Mulia. Karena bunga bank adalah muamalah baru, yang hukumnya tidak tunduk terhadap nash-nash yang pasti yang terdapat dalam Al-Qur’an tentang pengharaman riba.”
Di Indonesia, pendapat yang mengemuka adalah pendapat pakar ekonomi yang juga mantan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia, Syafruddin Prawiranegara. Dalam bukunya Benarkah Bunga Bank Riba (1993) yang diterbitkan penerbit Ramadhan, Syafruddin berkata, “Jika bunga, walaupun dalam bentuk yang masuk akal atau ringan, tidak dibolehkan bagi pedagang muslim, maka larangan ini akan menempatkannya pada suatu posisi yang sangat kaku, janggal, dan tidak menguntungkan apabila dihadapkan kepada lawannya dari Barat dan Timur Tengah. Hal ini akan memaksa dia untuk mengikuti cara-cara yang dibuat-buat dalam melakukan transaksi atau memberikan nama lainnya kepada bunga seperti ongkos administrasi, hanya untuk menghindari kata riba.”
Pada halaman 43 Syafruddin berkata “…riba adalah semua bentuk keuntungan yang berlebih-lebihan yang didapat lewat pekerjaan yang salah. Bunga yang bersifat komersial dan normal diizinkan dalam Islam.” Selanjutnya pada halaman 36, ia berkata, “Mengenai Al-Qur’an dan Sunnah, saya tidak mendapati satu ayat pun dari Al-Qur’an atau hadits Nabi Muhammad yang dapat menyalahkan tafsir saya tentang riba.”
Mohamad Hatta berpendapat, bunga bank untuk kepentingan produktif bukanlah riba, tetapi untuk kepentingan konsumtif riba. Mr. Kasman Singodimedjo berpendapat, sistem perbankan modern diperbolehkan karena tidak mengandung unsur eksploitasi yang dzalim, oleh karenanya tidak perlu didirikan bank tanpa bunga. A.Hasan Bangil, tokoh Persatuan Islam (PERSIS), secara tegas menyatakan bunga bank itu halal karena tidak ada unsur lipat gandanya. Prof.Dr.Nurcholish Madjid berpendapat bahwa riba di mengandung unsur eksploitasi satu pihak kepada pihak lain, sementara dalam perbankan (konvensional) tidaklah seperti itu. Dr.Alwi Shihab dalam wawancaranya dengan Metro TV sekitar tahun 2004 lalu, juga berpendapat bunga bank bukanlah riba.
A.2. Pendapat Yang Mengatakan Bunga Bank Adalah Riba
Umer Chapra mengutip Ibnu Manzur dalam kitabnya Lisan al-Arab, mengatakan bahwa pengertian riba secara harfiah berarti peningkatan, pertambahan, perluasan, atau pertumbuhan. Tetapi tidak semua peningkatan atau pertumbuhan terlarang dalam Islam. Keuntungan juga menyebabkan peningkatan atas jumlah pokok, tetapi hal ini tidaklah dilarang.[15] Maka apa yang sebenarnya diharamkan?
Pribadi yang sangat tepat untuk menjawab pertanyaan itu adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau melarang mengambil hadiah, jasa, atau pertolongan sekecil apapun sebagai syarat atas suatu pinjaman. Dalam hadits riwayat Imam Bukhari, Rasulullah bersabda, “Jika seseorang memberikan pinjaman kepada seseorang lainnya, dia tidak boleh menerima hadiah.” Dalam hadits riwayat Imam Baihaqi, Rasulullah bersabda, “Ketika seseorang memberikan pinjaman kepada orang lain dan peminjam memberikannya makanan atau tumpangan hewan, dia tidak boleh menerimanya kecuali keduanya terbiasa saling memberikan pertolongan.” Jawaban Rasulullah ini menyamakan riba dengan apa yang lazim dipahami sebagai bunga (bunga bank).[16]
Jumhur (mayoritas/kebanyakan) Ulama’ sepakat bahwa bunga bank adalah riba, oleh karena itulah hukumnya haram. Pertemuan 150 Ulama’ terkemuka dalam konferensi Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di Kairo, Mesir menyepakati secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai macam pinjaman semua merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk bunga bank.[17] Berbagai forum ulama internasional yang juga mengeluarkan fatwa pengharaman bunga bank, yaitu:
1. Majma’al Fiqh al-Islamy, Negara-negara OKI yang diselenggarakan di Jeddah pada tanggal 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22 Desember 1985;
2. Majma’ Fiqh Rabithah al’Alam al-Islamy, Keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di Makkah, 12-19 Rajab 1406 H;
3. Keputusan Dar It-Itfa, Kerajaan Saudi Arabia, 1979;
4. Keputusan Supreme Shariah Court, Pakistan, 22 Desember 1999;
5. Majma’ul Buhuts al-Islamyyah, di Al-Azhar, Mesir, 1965.
Walaupun Indonesia termasuk Negara dengan penduduk mayoritas muslim yang terlambat mempromosikan gagasan perbankan Islam,[18] namun Majelis Ulama Indonesia (”MUI”) melalui Keputusan Fatwa Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga (Interest/Fa’idah) berpendapat:
1. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah, yaitu Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya;
2. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram, baik di lakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
Majelis Ulama Indonesia berpendapat demikian dengan berdasarkan pada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta Kesepakatan para Ulama. Berikut petikan Fatwa MUI tentang Bunga (Interest/Fa’idah):
“…MENGINGAT :
1. Firman Allah SWT, antara lain :
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shaleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang-orang berhutang itu) dalam kesukaran, berilah tangguh mereka sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Ali’Imran [3]: 130).
2. Hadis-hadis Nabi s.a.w., antara lain :
Dari Abdullah r.a., ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) dan memberikan riba.” Rawi berkata: saya bertanya:”(apakah Rasulullah melaknat juga) orang yang menuliskan dan dua orang yang menajdi saksinya?” Ia (Abdullah) menjawab : “Kami hanya menceritakan apa yang kami dengar.” (HR.Muslim).
Dari Jabir r.a.,ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikan.” Ia berkata: “mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim).
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Akan datang kepada umat manusia suatu masa di mana mereka (terbiasa) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambilnya)-nya,ia akan terkena debunya.”(HR.al-Nasa’i).
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Riba adalah tujuh puluh dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama dengan) dosa orang yang berzina dengan ibunya.” (HR. Ibn Majah).
Dari Abdullah, dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: “Riba mempunyai tujuh puluh tiga pintu (cara, macam).” (HR. Ibn Majah).
Dari Abdullah bin Mas’ud: “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, dua orang yang menyaksikannya.” (HR. Ibn Majah).
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Sungguh akan datang kepada umat manusia suatu masa di mana tak ada seorang pun di antara mereka kecuali (terbiasa) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambil)-nya,ia akan terkena debunya.”(HR. Ibn Majah).
3. Ijma’ Ulama tentang keharaman riba dan bahwa riba adalah salah satu dosa besar (kaba’ir) (lihat antara lain: al-Nawawi, al-Majmu’Syarch al-Muhadzdzab, [t.t.: Dar al-Fikr, juz 9, th 391].
MEMPERHATIKAN :
1. Pendapat para Ulama ahli fiqh bahwa bunga yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (utang piutang, al-qardh wa al-iqtiradh) telah memenuhi kriteria riba yang diharamkan Allah SWT, seperti dikemukakan, antara lain, oleh :
Al-Nawawi berkata, al-Mawardi berkata: Sahabat-sahabat kami (ulama mazhab Syafi’i) berbeda pendapat tentang pengharaman riba yang ditegaskan oleh al-Qur’an, atas dua pandangan. Pertama, pengharaman tersebut bersifat mujmal (global) yang dijelaskan oleh sunnah. Setiap hukum tentang riba yang dikemukakan oleh sunnah adalah merupakan penjelasan (bayan) terhadap kemujmalan al-Qur’an, baik riba naqad maupun riba nasi’ah.
Kedua, bahwa pengharaman riba dalam al-Qur’an sesungguhnya hanya mencakup riba nasa’ yang dikenal oleh masyarakat Jahiliah dan permintaan tambahan atas harta (piutang) disebabkan penambahan masa (pelunasan). Salah seorang di antara mereka apabila jatuh tempo pembayaran piutangnya dan pihak berhutang tidak membayarnya, ia menambahkan piutangnya dan menambahkan pula masa pembayarannya. Hal seperti itu dilakukan lagi pada saat jatuh tempo berikutnya. Itulah maksud firman Allah :
“…janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda… “, kemudian Sunnah menambahkan riba dalam pertukaran mata uang (naqad) terhadap bentuk riba yang terdapat dalam al-Qur’an.
1. Ibn al-‘Araby dalam Ahkam al-Qur’an;
2. Al-Aini dalam ‘Umdah al-Qary;
3. Al-Sarakhsyi dalam Al-Mabsuth;
4. Ar-Raghib al-Isfani dalam Al-Mufradat Fi Gharib al-Qur’an;
5. Muhammad Ali al-Shabuni dalam Rawa-I’ al-Bayan;
6. Muhammad Abu Zahrah dalam Buhuts fi al-Riba;
7. Yusuf al-Qardhawy dalam fawa’id al-Bunuk;
8. Wahbah al-Zuhaily dalam Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh.
2. Bunga uang atas pinjaman (Qardh) yang berlaku di atas lebih buruk dari riba yang diharamkan Allah SWT dalam Al-Quran, karena dalam riba tambahan hanya dikenakan pada saat jatuh tempo. Sedangkan dalam sistem bunga tambahan sudah langsung dikenakan sejak terjadi transaksi.
3. Ketetapan akan keharaman Bunga Bank oleh berbagai forum Ulama Internasional, antara lain:
1. Majma’ul Buhuts al-Islamy di Al-Azhar Mesir pada Mei 1965;
2. Majma’ al-Fiqh al-Islamy Negara-negara OKI Yang di selenggarakan di Jeddah tgl 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22 28 Desember 1985;
3. Majma’ Fiqh Rabithah al-Alam al-Islamy, keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di makkah tanggal 12-19 Rajab 1406 H;
4. Keputusan Dar Al-Itfa, Kerajaan Saudi Arabia, 1979;
5. Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan 22 Desember 1999.
4. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga bank tidak sesuai dengan syari’ah.
5. Keputusan Sidang Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo yang menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khususnya Lembaga Perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
6. Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar Lampung yang mengamanatkan berdirinya Bank Islam dengan sistem tanpa Bunga.
7. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga (interest/fa’idah), tanggal 22 Syawal 1424/16 Desember 2003.
8. Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 11 Dzulqa’idah 1424/03 Januari 2004, 28 Dzulqa’idah 1424/17 Januari 2004, dan 05 Dzulhijah 1424/24 Januari 2004.
Dengan memohon ridha Allah SWT
MEMUTUSKAN : FATWA TENTANG BUNGA (INTEREST/FA`IDAH):
Pertama : Pengertian Bunga (Interest) dan Riba
1. Bunga (Interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase.
2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya, dan inilah yang disebut Riba Nasi’ah.
Kedua : Hukum Bunga (interest)
3. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya.
4. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram, baik di lakukan oleh Bank, Asuransi,Pasar Modal, Pegadian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
Ketiga : Bermu’amallah dengan lembaga keuangan konvensional
5. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan syari’ah dan mudah di jangkau, tidak diperbolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga.
6. Untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan syari’ah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip dharurat/hajat…”[19]
Pendapat Lembaga atau Ahli lainnya adalah sebagai berikut:[20]
1. Majelis Tarjih Muhammadiyah
Majelis Tarjih Sidoarjo tahun 1968 pada nomor b dan c, mengatakan bahwa bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal -bank yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat (syubhat).
2. Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
Ada dua pendapat dalam bahtsul masail di Lampung tahun 1982. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa bunga Bank adalah riba secara mutlak dan hukumnya haram. Yang kedua berpendapat bunga bank bukan riba sehingga hukumnya boleh. Pendapat yang ketiga, menyatakan bahwa bunga bank hukumnya syubhat.
3. Mufti Negara Mesir
Keputusan Kantor Mufti Mesir konsisten sejak tahun 1900 hingga 1989 menetapkan haramnya bunga bank dan mengkategorikannya sebagai riba yang diharamkan.
4. Konsul Kajian Islam
Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam lembaga ini telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank sebagai riba. Ditetapkan bahwa tidak ada keraguan atas keharaman praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional. Di antara 300 ulama yang tergabung dalam Konsul Kajian Islam ini tercatat nama seperti Syeikh Al-Azhar, Prof. Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa’, Prof. Dr. Yusuf Al-Qardlawi. Konferensi ini juga dihadiri oleh para bankir dan ekonom dari Amerika, Eropa dan dunia Islam.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz mengatakan, “Aku dapati di dalam upaya untuk menghalalkan riba yang diharamkan Allah dengan metode-metode yang kacau, hujjah-hujjah yang lemah, dan syubhat-syubhat yang terbantah. Sesungguhnya perekonomian muslimin telah kukuh berabad-abad yang telah lewat, lebih dari tiga belas abad tanpa memakai sistem perbankan dan tanpa menggunakan manfaat-manfaat ribawi. Sungguh kekayaan mereka berkembang baik, dan muamalah mereka kukuh. Mereka telah meraih keberuntungan yang banyak, harta melimpah melalui saran muamalah-muamalah yang syar’i. Allah telah menolong generasi pertama atas musuh-musuh mereka sehingga mereka menguasai sebagian besar wilayah dunia. Ketika itu mereka menjadikan syariat Allah sebagai hokum, dan tidak ada sistem perbankan di masa mereka dan mereka tidak memakai manfaat-manfaat ribawi.”
Prof.Dr.Yusuf Qaradhawi berkata bahwa perkataan sebagian orang dan Ulama yang melakukan justifikasi atas kehalalan sistem bunga bank konvensional dengan berdalih bahwa riba yang diharamkan Allah dan Rasul Nya, adalah jenis yang dikenal sebagai bunga konsumtif saja, tidak dapat dibenarkan. Sebenarnya tidak ada perbedaan di kalangan ahli syariah pun sepanjang tiga belas abad yang silam. Ini jelas merupakan pembatasan terhadap nash-nash yang umum berdasarkan selera dan asumsi belaka.[21]
Tarek El-Diwany dalam bukunya The Problem With Interest menyamakan bahaya sistem bunga dengan entropi dalam fisika. Entropi adalah sebuah kata yang digunakan untuk menggambarkan tingkat ketidakteraturan dalam suatu sistem fisika. Bahkan beberapa pakar ekonomi mengatakan bahwa riba (bunga bank) merupakan penyakit AIDS dalam kehidupan dunia ekonomi yang bisa merontokkan kekebalan dan mengancamnya dengan kemusnahan serta keruntuhan.[22]
Syaikh Abul A’la al-Maududi mengatakan bahwa memakan bunga bank dapat menyebabkan rakus, tamak, kikir, dan egois bagi orang yang mengambilnya. Dapat mengakibatkan kebencian, kemarahan, permusuhan dan kecemburuan bagi orang yang membayarkannya. Orang yang memakan riba seperti orang gila, ia kehilangan perasaan dan intelektualitasnya. Dan dengan cara yang sama, seorang yang suka meminjamkan uangnya selalu berpikir untuk memperbanyak uangnya sehingga ia sendiri telah kehilangan perasaannya. Sehingga ia jauh dari memikirkan kesulitan orang lain. Demikianlah keadaannya di dunia, dan kelak di kemudian hari ia akan bangkit seperti orang gila pada hari kebangkitan. Karenanya, di akhirat nanti ia akan hidup kembali dalam kondisi yang sama di waktu ia mati.[23]
Dr.Muhammad Syafi’i Antonio, M.Ec, mengatakan bahwa larangan riba (bunga) yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, namun secara gradual (bertahap). Tahap pertama menolak anggapan bahwa pinjaman riba nampaknya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah. Tahap kedua riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah mengancam member balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan saat itu. Tahap terakhir, Allah dengan tegas dan jelas mengharamkan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Karena itulah dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah, Rasulullah menekankan sikap tegas Islam dalam melarang riba (bunga):
“Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan Dia pasti akan menghitung amalmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba, karena itu utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.”[24]
B. Berpegang Kepada Pendapat Jumhur Ulama
Allah berfirman, yang artinya:
“…Tanyalah kepada ahli ilmu –orang yg punya pengetahuan– jika memang kamu tidak mengetahuinya” (Q.S. An-Nahl: 43)[25]
Dalam ayat ini Allah Ta’ala memerintahkan kepada ummat untuk bertanya kepada ahlinya jika kita tidak mengetahui suatu permasalahan. Maka orang yang sakit mendatangi dokter dan bertanya tentang obat penyakitnya, orang yang ingin membangun rumah mendatangi arsitek dan pemborong untuk mendapatkan rumah yang ia idamkan, demikian halnya dalam masalah agama, ummat bertanya kepada para Ulama.
Dengan konsensus mutlak para Ulama tersebut, maka sebenarnya sungguh sempit ruang untuk beragumentasi bahwa bunga bank tidak diharamkan dalam Islam. Karena itulah, beberapa pendapat minoritas yang menyatakan pandangan berbeda tidak melemahkan sedikitpun konsensus tersebut. Nabi telah bersabda bahwa tidak mungkin umat Islam bersepakat di atas kesesatan:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah melindungi umatku untuk bersepakat di atas kesesatan”. (H.R.Ibnu Abi Ashim dari Anas bin Malik dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’)[26]
Syaikh Muhammad Ibn Sholih al-Utsaimin berkata bahwa Nabi telah bersabda:
“Umatku tidak akan bersepakat di atas kesesatan”[27]
Jelaslah solusinya, posisi kita sebagai ummat adalah mengikuti pendapat jumhur atau kesepakatan kebanyakan Ulama, apalagi ternyata pendapat itu adalah pendapat yang kuat dengan dalil dan argumentasi yang kokoh bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang mulia.
C. Hikmah Diharamkannya Riba
Syaikh Muhammad Jabir Al-Jaza’iri menjelaskan diantara hikmah diharamkannya riba oleh Allah dan Rasul Nya adalah sebagai berikut:[28]
1. Menjaga harta seorang muslim supaya tidak dimakan dengan cara-cara yang bathil;
2. Mengarahkan seorang muslim supaya menginvestasikan hartanya di dalam sejumlah usaha yang bersih dan jauh dari kecurangan dan penipuan, serta terhindar dari segala tindakan yang menimbulkan kesengsaraan dan kebencian di antara kaum muslimin. Hal tersebut dilakukan dengan menginvestasikannya dalam bidang pertanian, industry, dan perdagangan yang sehat dan bersih;
3. Menyumbat seluruh jalan yang membawa seorang muslim kepada tindakan memusuhi dan menyusahkan saudaranya sesama muslim yang berakibat pada lahirnya celaan serta kebencian dari saudaranya;
4. Menjauhkan seorang muslim dari perbuatan yang dapat membawanya kepada kebinasaan. Karena memakan harta riba itu merupakan keduharkaan dan kezhaliman, sedangkah akibat dari kedurhakaan dan kezhaliman itu ialah penderitaan. Allah berfirman, yang artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kezhaliman kalian akan menimpa diri kalian sendiri.” (Q.S. Yunus: 23).
Dalam salah satu hadits, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Takutlah kamu akan kezhaliman, karena kezhaliman itu merupakan kegelapan pada hari kiamat dan takutlah kamu akan kikir, karena kikir itu telah membawa umat-umat sebelum kamu kepada pertumpahan darah mereka dan menghalalkan sesuatu yang telah diharamkan kepada mereka.” (H.R. Muslim).
5. Membukakan pintu-pintu kebaikan di hadapan seorang muslim untuk mempersiapkan bekal kelak di akhiratnya dengan meminjami saudaranya sesama muslim tanpa mengambil manfaat (keuntungan), menghutanginya, menangguhkan hutangnya hingga mampu membayarnya, memberinya kemudahan serta menyayanginya dengan tujuan semata-mata mencari keridhaan Allah. Sehingga mengakibatkan tersebarnya kasih sayang dan ruh persaudaraan yang tulus di antara kaum muslimin.
———————————————————
Catatan kaki:
[1]Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algoud, Perbankan Syariah Prinsip, Praktik, dan Prospek (Islamic Banking), diterjemahkan oleh Burhan Subrata, cet. ke-1, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007), hal. 27-28.
[2]Abu Bakar Ba’asyir dan Abu Muhammad Jibriel AR, Tarbiyah Aqidah & Syari’ah, cet. pertama, (Jakarta: Majelis Ilmu Ar-Royyan, 2008), hal. 12-13.
[3]Al-Qur’an, Op.Cit., hal. 47.
[4]Fiqh menurut Ibnu Subki adalah: “Pengetahuan tentang hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan, yang digali dari satu per satu dalilnya. Abdullah bin ‘Umar al-Baidawi ahli Ushul Fiqh dari kalangan mazhab Syafi’i mendefinisikan fiqh sebagai: “Pengetahuan tentang dalil-dalil secara global, cara mengistimbathkan (menarik) hukum dari dalil-dalil itu, dan tentang hal ihwal pelaku istinbath.” Satria Effendi mengatakan bahwa yang dimaksud “dalil-dalil” adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Satria Effendi, Ushul Fiqh, diedit oleh Aminuddin Ya’qub, Nurul Irvan, dan Azharuddin Latif, cet. ke-2, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2008), hal. 2-13.

No comments:

Post a Comment