A. Istilah, Pengertian Asuransi
Konvensional dan Asuransi Syariah
1. Istilah dan Pengertian Asuransi
Konvensional
Asuransi adalah suatu keinginan untuk
menetapkan kerugian kecil atau sedikit yang sudah pasti sebagai pengganti
kerugian besar yang belum pasti. Dengan demikian, orang bersedia membayar
kerugian yang sedikit untuk masa sekarang, agar bisa menghadapi kerugian besar
yang mungkin terjadi pada masa depan. Jadi, segala kerugian yang mungkin
terjadi pada masa yang akan datang, kita pindahkan kepada perusahaan asuransi.
Istilah asuransi, adalah “angsuran
bersama untuk meringankan beban individu, kalau-kalau beban tersebut menimpanya.”
Konsep asuransi yang paling sederhana dan umum adalah suatu persediaan yang
disiapkan oleh sekelompok orang yang bisa tertimpa kerugian, guna menghadapi
kejadian yang tidak dapat diduga, sehingga bila kerugian tersebut menimpa salah
seorang di antara mereka, maka beban kerugian tersebut akan disebarkan ke
seluruh kelompok. Maka tujuan dari asuransi adalah untuk menyiapkan bekal guna menghadapi
bahaya yang menimpa kehidupan dan urusan manusia di masa yang akan datang.
Pengertian asuransi sebagai legal
term dapat dijumpai dalam KUHD dan Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang
Perasuransian. Dalam KUHD Pasal 246: “Pertanggungan adalah suatu perjanjian,
dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang
tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian
kepadanya karena: suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan
yang di harapkan, yang mungkin akan diderita karena sesuatu yang tak tertentu.”
Sedangkan pasal 1 ayat 1 No. 2 Tahun
1992 tentang Usaha Perasurasian menyebutkan: “Asuransi atau pertanggungan
adalah perjanjian antara 2 pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung
mengikatkan diri kepada tetanggung dengan menerima premi asuransi untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian , kerusakan dan
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin akan di derita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa
yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan akan
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.”
2. Istilah dan Pengertian Asuransi Syariah
Dikenal tiga istilah lain selain
asuransi syariah yang mempunyai pengertian yang sama, yaitu ta’min, takaful
dan tadhamun. Penjabarannya adalah sebagai berikut:
1.
Ta’min
At-ta’min berasal dari kata amanah, yang
mempunyai makna memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa
takut.
Ta’min adalah
saling memberikan jaminan dalam hal-hal yang positif antara sesama anggota masyarakat.
Seseorang yang menta’minkan sesuatu berarti orang itu membayar atau menyerahkan
sesuatu berarti orang itu membayar atau menyerahkan sejumlah uang secara meng-angsur
dengan maksud, ia tau ahli warisnya akan mendapat sejumlah uang sebagaimana
perjanjian yang telah di sepakati dan orang itu mendapat ganti rugi atas
hartanya yang hilang. Singkat kata seseorang mempertanggungkan (men-ta’min-kan)
hidup, rumah atau kendaraan yang di milikinya.
Tujuan pelaksanaan pelaksanaan ta’min
yang dimaksud adalah menghilangkan rasa takut atau was-was dari suatu kejadian
yang tidak di kehendaki yang akan menimpanya, sehingga dari adanya jaminan yang
di maksud, maka rasa takutnya hilang dan merasa terlindungi.
2.
Takaful
Takaful artinya
menolong, mengasuh, memelihara dan mengambil alih perkara seseorang. Pengertian
diatas, di khususkan kepada persepakatan tolong menolong secara teratur
sedemikian rupa, keteraturan dan rinciannya antara sejumlah orang, bila
semuanya akan tertimpa bahaya dan kesukaran, sehingga apabila bahaya itu
menimpa seseorang di kalangan mereka, semuanya ikut membantu atau
meringankannya dengan cara memberikan bagian yang tidak menyulitkan
masing-masing guna menghilangkan bencana. Takaful adalah upaya saling
mencukupi antara sesame anggota pada saat ada pihak-pihak yang kekurangan
karena terkena musibah. Yang dimakdud saling mencukupi atau saling pikul resiko
dimaksud yaitu di lakukan atas dasar tolong menolong dalam kebaikan dengan
cara, setiap orang mengeluarkan dana kebajikan (tabarru’) yang ditujukan
untuk menanggung resiko tersebut.
3.
Tadhamun
At-tadhamun berarti
saling menanggung yaitu bertujuan saling menutupi kerugian atas suatu peristiwa
dan musibah yang di alami oleh seseorang. Hal ini dilakukan oleh seseorang yang
menangung untuk memberikan sesuatu kepada orang yang di tanggung berupa
pengganti (sejumlah uang atau barang) karena adanya musibah yang menimpa
tertanggung. Sedangkan pengertian Tadhamun sendiri adalah sikap keadilan
dan solidaritas antara sesama anggota dalam menghadapi kesulitan. Asuransi
syariah, takaful, tadhamun, dan ta’min pada dasarnya merupakan
dua pihak yang melakukan interaksi sosial, yaitu pihak penolong dan pihak yang
ditolong. Interaksi dimaksud penting untuk dilakukan karena setiap individu
berada dalam lindungan atau jaminan masyarakat itu. Fungsi dari pemerintah
adalah penjamin warga negaranya serta membantu dalam kebajikan. Dalam konteks
kehidupan warga masyarakat yang saling memberikan pertolongan dan perlindungan
maka akan terwujud kehidupan masyarakat yang stabil dan damai sebagai realisasi
dari dorongan setiap warga masyarakat untuk berbuat kebajikan yang didasari
oleh nilai keimanan pada tuhannya.
B. Dasar Hukum Asuransi Konvensional dan
Asuransi Syariah
1. Dasar Hukum Asuransi Konvensional
Dasar hukum dari asuransi di Indonesia
ada tiga, yaitu:
1. KUHPer
Karena asuransi merupakan sebuah
perikatan, maka sebagai dasar hukum pertama adalah KUH Perdata, terutama pasal
1320. Juga pasal 1774 KUH Perdata, yang berbunyi “Suatu perbuatan
yang hasilnya mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi
sementara pihak, tergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu, demikian
juga persetujuan pertanggungan yang diatur dalam kitab undang-undang hukum
dagang.”
Dari
perumusan tersebut, dapat dimengerti bahwa orang bersedia membayar kerugian
yang sedikit untuk masa sekarang agar bisa menghadapi kerugian-kerugian besar
yang mungkin terjadi pada waktu mendatang. Kerugian-kerugian ini akan
dipindahkan kepada perusahaan asuransi.
2. Kitab
Undang-undang Hukum Dagang
Dalam KUHD ada 2 cara pengaturan
asuransi, yaitu pengaturan yang bersifat umum dan bersifat khusus.
Pengaturan yang bersifat umum terdapat
dalam buku I Bab 9 Pasal 146-286 KUHD yang berlaku bagi semua jenis asuransi, baik
yang sudah diatur dalam KUHD maupun yang diatur di luar KUHD, kecuali jika
secara khusus ditentukan lain. Pengaturan yang bersifat khusus terdapat dalam
Buku I Bab 10 pasal 287-308 KUHD dan Buku II Bab IX dan Bab X pasal 592-695
KUHD dengan rincian sebagai berikut:
a.
Bab IX. Asuransi atau pertanggungan pada umumnya, pengaturannya mulai dari
pasal 246-286
b.
Bab X. Asuransi atau pertanggungan terhadap bahayabahaya kebakaran, terhadap
bahaya-bahaya yang mengancam hasil pertanian yang belum dipaneni, dan tentang pertanggungan
jiwa.
-
Bagian 1. Pertanggungan Terhadap Bahaya Kebakaran Pengaturannya Mulai Pasal
287-298 KUHD
-
Bagian 2. Pertanggungan Terhadap Bahaya yang Mengancam Hasil Pertanian yang
Belum Dipaneni. Pengaturannya Mulai Pasal 299-301 KUHD
-
Bagian 3. Pertanggungan Jiwa. pengaturannya mulai pasal 302-308 KUHD
-
Asuransi pengangkutan laut dan perbudakan pasal 592-685 KUHD
-
Asuransi pengangkutan darat, sungai dan perairan pedalaman pasal 686-695 KUHD Pengaturan
asuransi dalam KUHD mengutamakan segi keperdataan yang didasarkan kepada
perjanjian antara tertanggung dan penanggung. Perjanjian tersebut menimbulkan kewajiban
dan hak tertanggung dan penanggung secara timbale balik. Sebagai perjanjian khusus,
asuransi dibuat secara tertuis dalam bentuk akta yang disebut polis asuransi.
Pegaturan asuransi dalam KUHD meliputi substansi berikut:
a.
Asas-asas asuransi
b.
Perjanjian asuransi
c.
Unsur-unsur asuransi
d.
Syarat-syarat asuransi
e.
Jenis-jenis asuransi
3.
Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang
Usaha Perasuransian
Jika KUHD mengutamakan pengaturan
asuransi dari segi keperdataan, maka Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian lebih mengutamakan pengaturan asuransi dari segi bisnis dan
publik administratif. Pengaturan dari segi bisnis artinya menjalankan usaha perasuransian
harus sesuai dengan aturan hokum perasuransian dan perusahaan yang berlaku.
Dari segi administratif artinya kepentingan masyarakat dan Negara tidak boleh
dirugikan. Jika hal dilanggar, maka pelanggaran tersebut diancam dengan saksi pidana
dan saksi administratif. Pelaksana dari undang-undang tersebut adalah PP No. 73
Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
2.
Dasar Hukum Asuransi Syariah
Ada dua pendapat yang berlainan dalam
menentukan dasar hukum asuransi syariah, tetapi hampir sama yang dimaksudkan. Yaitu
sebagai berikut:
a.
Pendapat pertama
Asuransi
dalam syariat Islam dikatagorikan dalam masalah ijtihad, sebab tidak
diketemukan penjelasan secara resmi di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits dan juga
para imam madzhab tidak memberikan pendapat tentang ini, sebab pada saat itu asuransi
belum dikenal atau belum ada.
b.
Pendapat kedua
Kebanyakan
ulama memaknai metodologi kenvensional dalam mencari landasan syariah (al-asas
al-syar’iyyah) dalam suatu pokok masalah (subjek matter). Subjek
matternya adalah lembaga asuransi. Landasan yang digunakan dalam hal memberi
nilai legalisasi dalam praktek bisnis
asuransi yaitu Al-Qur'an, Sunnah Nabi, dan Ijtihad.
Landasan
hukum asuransi syariah menurut ijtihad ini meliputi:
1)
Fatwa sahabat
Praktik sahabat berkenaan dengan
pembayaran hukuman (ganti rugi) pernah dilaksanakan oleh khalifah kedua, yaitu
Umar bin Khattab. Beliau berkata “orang-orang yang namanya tercantum dalam diwan
tersebut berhak menerima bantuan dari satu sama lain dan harus menyumbang untuk
pembayaran hukuman (ganti rugi) atas pembunuhan (tidak sengaja) yang dilakukan
oleh salah seorang anggota masyarakat mereka. “Umarlah yang pertama kali
mengeluarkan perintah untuk menyiapkan daftar secara profesional perwilayah,
dan orang-orang yang terdaftar diwajibkan saling menangung beban.
2)
Ijma’
Para sahabat telah melakukan ittifaq
(kesepakatan) dalam hal aqilah yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khattab.
Adanya ijma’ atau kesepakatan ini tampak dengan tidak adanya sahabat lain yang
menentang pelaksanaan aqilah ini. Al-Aqilah yaitu saling memikul atau
bertanggung jawab untuk keluarganya. Jika salah seorang dari anggota suatu suku
terbunuh oleh anggota satu suku yang lain, maka pewaris korban akan dibayar
dengan uang darah (diyat) sebagai konpensasi oleh saudara terdekat dari
pembunuh. Saudara terdekat dari pembunuh disebut aqilah. Lalu mereka
mengumpulkan dana (al-kanzu) yang diperuntukkan membantu keluarga yang terlibat
dalam pembunuhan tidak disengaja. Dengan tidak adanya sahabat yang menentang
khalifah Umar bin Khattab dapat disimpulkan, bahwa telah terdapat ijma’
dikalangan sahabat Nabi SAW mengenai persoalan ini.
C. Perjanjian Asuransi Konvensional dan
Perjanjian Asuransi Syariah
1. Perjanjian Asuransi Konvensional
Asuransi dalam terminologi hukum
merupakan suatu perjanjian, oleh karena itu perjanjian itu sendiri perlu dikaji
sebagai acuan menuju pada pengertian perjanjian asuransi. Di samping itu karena
acuan pokok perjanjian asuransi tetap pada pengertian dasar dari perjanjian.
Secara
umum pengertian perjanjian dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.
Suatu perbuatan yang mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap 1 (satu) orang atau lebih.
2.
Suatu hubungan hukum antara pihak, atas dasar yang satu (yang
berpiutang/kreditur) berhak untuk suatu prestasi dari yang lain (yang
berhubungan/debitur) yang juga berkewajiban melaksanakan dan bertanggungjawab
atas suatu prestasi. Mengingat arti pentingnya perjanjian asuransi sesuai
dengan tujuannya, yaitu sebagai suatu
perjanjian yang memberikan proteksi, maka sebenarnya perjanjian ini menawarkan
suatu kepastian dari suatu ketidakpastian mengenai kerugian-kerugian ekonomis
yang mengukir diderita karena suatu peristiwa yang belum pasti. Jadi perjanjian
asuransi diadakan dengan maksud untuk memperoleh suatu kepastian atas
kembalinya keadaan (ekonomi) sesuai dengan semula sebelum terjadi peristiwa.
Pengertiannya secara singkat:
Terjadinya
Perjanjian Asuransi
·
Teori
tawar menawar dan teori penerimaan
o Teori tawar menawar
Terjadi jika penawaran dihadapkan dengan
penerimaan
o Teori penerimaan
Terjadi
pada saat penawaran sungguh-sungguh diterima
·
Asuransi
bersifat tertulis
Kesepakatan sesuai nota persetujuan (pasal 271
(1) KUHD)
Tiga
sifat pokok dari perjanjian asuransi atau pertanggungan sebagai berikut:
1. Asuransi pada dasarnya merupakan kontrak atau
perjanjian ganti kerugian atau kontrak idemnitas pihak yang satu (penanggung)
mengikat dirinya terhadap pihak yang lain (pengambil asuransi atau tertanggung)
untuk mengganti kerugian yang mungkin diderita olehnya.
2.
Asuransi merupakan perjanjian bersyarat dalam arti bahwa penanggung mengganti
kerugian pihak tertanggung dengan ditentukan atau tertanggung pada peristiwa
yang tidak dapat dipastikan lebih dulu.
3. Asuransi merupakan perjanjian timbal balik dan
penanggung terdapat ikatan bersyarat terhadap tertanggung untuk membayar ganti
rugi, tetapi sebaliknya dari sisi tertanggung terdapat ikatan tidak bersyarat
untuk membayar premi.
Berakhirnya
perjanjian asuransi:
Jangka waktu berlaku sudah habis
perjalanan berakhir
terjadi evenemen diikuti klaim
asuransi berhenti atau dibatalkan
asuransi gugur
Polis adalah asuransi yang dibuat
secara tertulis dalam suatu akta.
Isi Polis adalah sebagai berikut :
1)
hari dan tanggal pembuatan
2)
nama yang mengadakan (pihak I dan pihak II)
3)
benda asuransi
4)
jumlah yang diasuransikan
5)
bahaya-bahaya yang dipertanggungkan
6)
saat bahaya berjalan dan berakhir
7)
premi
8)
keadaan yang perlu diketahui
2. Perjanjian Asuransi Syariah
Asuransi syariah didasarkan atas prinsip
tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa serta menghindari adanya unsure
gharar,maisir dan riba dalam pelaksanaannya. Antara peserta yang satu dengan
yang lain saling menanggung resiko, artinya yang menanggung dalam asuransi
syariah adalah peserta sendiri.dalam hal pengelolaan dananya, asuransi syariah
memisahkan antara rekening tabaru’dan rekening dana peserta.
Tujuan berdirinya asuransi syariah pada
dasarnya adalah memberikan alternatif pilihan proteksi bagi pemeluk agama Islam
yang menginginkan produk asuransi yang sesuai dengan hukum Islam. Sedangkan
secara operasional dan kelembagaan, tujuan asuransi syariah sama dengan
asuransi konvensional yaitu pengelolaan atau penanggulangan resiko.
a.
Asuransi syariah termasuk akad tabarru yang bermaksud murni takaful (menanggung)
dan ta’awun (saling tolong menolong) dalam menutup kerugian yang timbul
dari bahaya dan musibah, sehingga premi dari anggotanya bersifat hibah (tabarru’).
Berbeda dengan asuransi konvensional yang bermaksud mencari keuntungan
berdasarkan akad al-mu’awwadhah al-ihtimaliyah (bisnis oriented yang
berspekulasi, dalam bahasa Prancis contrats aleatoirs).
b.
Penggantian ganti rugi atas resiko bahaya dalam asuransi syariah diambil dari
jumlah premi yang ada di shunduq (simpanan) asuransi. Apabila tidak
mencukupi maka adakalanya minta tambahan dari anggota atau mencukupkan dengan
menutupi sebagian kerugian saja. Sehingga tidak ada keharusan menutupi seluruh
kerugian yang ada bila anggota tidak sepakat menutupi seluruhnya. Berbeda
dengan asuransi konvensional yang mengikat diri untuk menutupi seluruh kerugian
yang ada (sesuai kesepakatan) sebagai ganti premi asuransi yang dibayar tertanggung.
c. Asuransi syariah tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan dari selisih
premi yang dibayar dari ganti rugi yang dikeluarkan. Bahkan bila ada selisih
(sisa) dari pembayaran klaim (ganti rugi) maka dikembalikan kepada anggota
(tertanggung). Sedangkan sisa dalam perusahaan asuransi konvensional dimiliki perusahaan.
d.
Penanggung dalam asuransi syariah adalah tertanggung sendiri. Sedangkan dalam
asuransi konvensional, penanggung adalah pihak luar. Premi yang dibayarkan
tertanggung dalam asuransi syariah digunakan untuk kebaikan mereka seluruhnya.
Karena tujuannya tidak untuk berbisnis dengan usaha tersebut, namun dimaksudkan
untuk menutupi ganti kerugian dan biaya operasinal perusahaan saja Sedangkan
dalam system konvensional premi tersebut digunakan untuk kemaslahatan perusahaan
dan keuntungannya semata Karena tujuannya `adalah berbisnis dengan usaha
asuransi tersebut untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari
pembayaran premi para nasabahnya.
e.
Asuransi syariah bebas dari riba, spekulasi dan perjudian serta gharar yang
terlarang. Sedangkan asuransi konvensional tidak lepas dari hal-hal tersebut.
D.
Investasi Asuransi Syariah
Demi
menghindari keharaman, Investasi perusahaan asuransi dan re-asuransi syariah
hanya dalam :
1)
deposito dan sertifikat deposito syariah
2)
sertifikat wadiah Bank Indonesia
3)
saham, obligasi, surat berharga, reksadana
bersifat
syariah
4)
penyertaan langsung syariah (musyarokah)
5)
bangunan atau tanah
6)
pembiayaan murobahah
7)
pembiayaan modal kerja (mudhorobah)
8)
pinjaman polis
E.
Produk
Asuransi Syariah
Produk asuransi syariah pada dasarnya
terbagi menjadi dua :
1)
Dengan unsur Tabungan (saving)
Yaitu: dana milik peserta, lembaga hanya
pengelola saja.
v Dibagi=> tabungan: diberikan=>
perjanjian berakhir:
·
Meninggal
·
Mengundurkan
v tabarru’ => sebagai derma:
·
diberikan
jika surplus
2)
Dengan unsur Non-tabungan (saving):
v kumpulan dana dikurangi biaya
pengelolaan
·
rekening
khusus
·
diinvestasikan
·
surplus
dibagikan dengan sistem bagi hasil
F. Syarat-syarat Asuransi
Asuransi merupakan salah satu jenis
perjanjian khusus yang diatur dalam KUHD. Sebagai perjanjian, maka ketentuan
syaratsyarat sah suatu perjanjian dalam KUH perdata berlaku juga bagi perjanjian
asuransi, dan karena perjanjian asuransi bersifat khusus maka berlaku pula
ketentuan dalam kitab undang-undang hukum dagang.
Syarat-syarat
sah suatu perjanjian diatur dalam pasal 1320
KUH
perdata, yang disebutkan ada 4, yaitu:
a. Kesepakatan (consencus)
Tertanggung dan penanggung sepakat
mengadakan perjanjian asuransi. Kesepakatan tersebut pada pokoknya meliputi:
1.
Benda yang menjadi objek asuransi
2.
Penglihan resiko dan pembayaran premi.
3.
Evenemen dan anti kerugian
4.
Syarat-syarat khusus asuransi
5.
Dibuat secara tertulis yang disebut polis.
b.
Kewenangan (authority)
Kedua belah pihak tertanggung dan
penanggung berwenang melakukan perbuatan hukum yang diakui oleh undang-undang. Kewenangan
tersebut ada yang bersifat subyektif dan ada yang bersifat obyektif. Kewenangan
subyektif artinya kedua pihak sudah dewasa, sehat ingatan, tidak berada dibawah
perwalian (trusteeship) atau pemegang kuasa yang sah. Kewenangan obyektif
artinya tertanggung mempunyai hubungan yang sah dengan benda obyek asuransi
karena benda tersebut adalah kekayaan miliknya sendiri.
c.
Obyek tertentu (fixed object)
Obyek tertentu dalam perjanian asuransi
adalah obyek yang diasuransikan, dapat berupa harta kekayaan dan kepentingan yang
melekat pada harta kekayaan, dapat pula berupa jiwa atau raga manusia. Obyek
tertentu berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan
terdapat pada perjanjian asuransi kerugian. Obyek tertentu berupa jiwa/raga menusia
terdapat pada perjanjian asuransi jiwa. Pengertian obyek tertentu adalah bahwa
identitas obyek asuransi tersebut harus jelas dan pasti. Apabila berupa harta kekayaan,
harta kekayaan berupa apa, berapa jumlah dan ukurannnya, dimana letaknya, apa
mereknya, buatan mana, berapa nilainya dan sebagainya. Apabila berupa jiwa atau
raga, atas nama siapa, berapa umurnya, apa hubungan keluarganya, dimana
alamatnya dan sebagainya. Bentuk asuransi pertama ada dua macam, yaitu: (1)
syarat kematian dan (2) syarat kehidupan.
d.
Kausa yang halal (legal cause)
Kausa yang halal maksudnya adalah isi
perjanjian asuransi itu tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan
ketertiban umum dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Berdasarkan kuasa
yang halal itu, tujuan yang hendak dicapai oleh tertanggung dan penanggung
adalah beralihnya resiko atas obyek asuransi yang diimbangi dengan pembayaran
premi, jadi penanggung menerima peralihan resiko atas obyek asuransi.
G.
Pengertian Koperasi Konvensional dan Koperasi
Syariah
1.
Pengertian Koperasi Konvensional
Koperasi adalah lembaga usaha yang
dinilai cocok untuk memberdayakan rakyat kecil.
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 25
Tahun 1992 tentang Perkoperasian: “Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan
orang-orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya
berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang
berdasarkan asas kekeluargaan.”
yang
dapat menjadi anggota koperasi yaitu:
a.
Perorangan, yaitu orang yang secara sukarela menjadi anggota koperasi.
b.
Badan hukum koperasi, yaitu suatu koperasi yang menjadi anggota koperasi yang
memiliki lingkup lebih luas.
Sedangkan pada Pernyataan Standard
Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 27 (Revisi 1998) disebutkan bahwa “karateristik
utama koperasi yang membedakan dengan badan usaha lain, yaitu anggota koperasi
memiliki identitas ganda.” Identitas ganda maksudnya anggota koperasi merupakan
pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi.
2.
Pengertian Koperasi Syariah
Koperasi diatur melalui Undang-undang
No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Namun saat ini ada wacana agar masalah
koperasi syariah di atur secara khusus melalui peraturan perundang-undangan
tersendiri. Dalam amandemen Undang- Undang no 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian, terdapat usulan dari Departemen Koperasi dan Usaha Kecil
Menengah (Dekopin UKM) agar masalah koperasi syariah diatur dan dimasukkan
dalam undang-undang Koperasi yang terbaru. Hal ini karena, karekteristik koperasi
syariah tidak cocok jika hanya diatur melalui peraturan meneteri (PM) saja.
Koperasi syariah berdiri untuk
meningkatkan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya
serta turut membangun tatanan perekonomian yang berkeadilan sesuai dengan
prinsip-prinsip islam. Sehingga, dalam membentuk koperasi diperlukan keberanian
dan kesamaan visi dan misi di dalam intern pendiri. Salah satu hal yang perlu
diperahtikan adalah sisi permodalan koperasi syariah. Pada dasarnya, permodalan
koperasi syariah tidak jauh berbeda dengan koperasi konvensional. Perbedaan
hanya terdapat dalam salah satu jenis koperasi, yakni koperasi simpan pinjam di
mana sistem keuangannya tidak memakai riba. Meski demikian, secara umum,
koperasi syariah dalam operasionalnya menghindari sistem ekonomi konvensional
yang mengandung riba, maysir dan ghoror. Modal dalam koperasi pada umumnya
terdiri dari: modal dasar, baik yang berasal dari
(1) modal sendiri, ataupun
(2) modal pinjaman yang dapat dibenarkan
secara hukum dan syar’i. modal sendiri, dalam bentuk
(1) simpanan pokok,
(2) simpanan wajib,
(3) dana cadangan, dan
(4)
hibah modal penyertaan, yaitu modal dari selain anggota koperasi syariah di
mana pemilik modal tersebut tidak mempunyai hak suara sama sekali dalam
penentuan rapat anggota.
Berkenaan dengan koperasi syariah, modal
awalnya bisa bersumber dari dan diusahakan oleh koperasi syariah, misalkan dari
modal sendiri, modal penyertaan dan dana amanah. Modal sendiri didapat dari
simpanan pokok, simpanan wajib, cadangan, hibah, dan donasi. Sedangkan modal
penyertaan didapat dari anggota, koperasi lain, bank, penerbitan obligasi dan
surat utang serta sumber lainnya yang sah. Adapun dana amanah dapat berupa simpanan
sukarela anggota, dana amanah perorangan atau lembaga. Satu hal yang harus
disepakati bersama, misi utama koperasi Adalah
H. Prinsip dan Produk Koperasi
Syariah
Sebagai kegiatan usaha yang berbasis syariah, koperasi syariah perlu menegakan prinsip-prinsip ekonomi islam
sebagai berikut:
1. Kekayaan adalah amanah
Allah swt yang tidak dapat dimiliki oleh siapapun secara mutlak.
2. Manusia diberi
kebebasan bermu’amalah selama bersama dengan ketentuan syariah.
3. Manusia merupakan
khalifah Allah dan pemakmur dimuka bumi.
4. Menjunjung tinggi
keadian serta menolak setiap bentuk ribawi dan pemusatan sumber dana ekonomi
pada segelintir orang atau sekelompok orang saja.
Sedangkan dari sisi jenis
produk, pada dasarnya semua produk koperasi yang ada dapat dilakukan oleh
koperasi syariah. Akan tetapi, dalam penerapannya, koperasi syariah perlu
memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Usaha koperasi syariah meliputi semua kegiatan usaha yang halal,
baik dan bermanfaat (thayyib) serta menguntungkan dengan sistem bagi
hasil dan tanpa riba, judi atau pun ketidakjelasan (ghoro).
2. Untuk menjalankan fungsi perannya, koperasi syariah menjalankan
usaha sebagaimana tersebut dalam sertifikasi usaha koperasi.
3. Usaha-usaha yang diselenggarakan
koperasi syariah harus sesuai dengan fatwa dan ketentuan Dewan Syariah Nasional
dan Majelis Ulama Indonesia
4. Usaha-usaha yang diselenggarakan koperasi syariah harus tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan berdasarkan
prinsip-prinsip tersebut, Koperasi syariah dalam kegiatan usahanya dapat
menyediakan beberapa produk, di antaranya:
·
Investasi/kerjasama
Kerjasama dapat dilakukan dalam bentuk Mudharabah dan musyarakah.
Dalam penyaluran dana dalam bentuk mudharabah dan musyarakah, koperasi syariah
bertindak selaku pemilik dana (shahibul maal) sedangkan pengguna dana
adalah pengusaha (mudharib). Kerjasama dapat dilakukan untuk mendanai
sebuah usaha yang dinyatakan layak untuk didanai, semisal pendirian
klinik, kantin, toserba dan usaha lainnya.
·
Jual beli (al-Bai’)
Jual beli bisa dalam berbagai jenis, antara lain (1) jual beli secara
tunai atau diangsur, atau jual beli secara pararel yang dilakukan oleh 3 pihak.
·
Jasa al-ijaroh (sewa)
Yaitu, akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui
pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang
itu sendiri, semisal penyewaan tenda, sound system dan lain-lain.
·
Jasa hawalah (anjak piutang)
Jasa ini timbul karena adanya peralihan kewajiban dari seseorang
anggota terhadap pihak lain dan dialihkan kewajibannya
tersebut kepada koperasi syariah. Hawalah adalah
pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya.
·
Jasa
rahn (gadai)
Jasa
Rahn timubul karena adanya kebutuhan keuangan yang mendesak dari para
anggotanya dan koperasi dapat memenuhinya dengan cara barang milik anggota
dikuasai oleh koperasi dengan kesepakatan bersama. Pengertian Rahn sendiri adalah
menahan salah satu harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimanya.
·
Jasa
wadi’ah (titipan)
Jasa
wadi’ah dapat dilakukan pula dalam bentuk barang, seperti jasa penitipan barang
dalam locker karyawan/mahasiswa atau penitipan sepeda motor, mobil dan
lain-lainnya.
I. Koperasi ditinjau dari hukum Islam
Sebagian ulama mengkategorikan koperasi
ke dalam akad mudharabah, yakni suatu perjanjian kerjasama dua orang atau lebih
yang mana satu pihak menyediakan modal dan pihak lain melakukan usaha atas
dasar profit sharing berdasarkan perjanjian. Lain halnya dengan Syeikh
Mahmud Syaltut (Guru Besar Universitas al-Azhar), yang tidak sependapat jika
koperasi
dimasukkan
ke dalam akad mudharabah karena tidak mengandung unsur mudharabah yang
dirumuskan oleh para ulama. Karena dalam koperasi, modal usahanya diperoleh
dari seluruh anggota koperasi (sebagai pemegang saham) dan mereka juga ikut
mengelola koperasi. Kalau pemegang saham turut menjalankan operasional koperasi
maka mereka berhak mendapatkan upah sesuai standar yang berlaku. Menurut Mahmud
Syaltut, koperasi merupakan syirkah baru yang tidak bisa dimasukkan ke dalam
jenis-jenis syirkah sebagaimana yang ada dalam khazanah fikih. Akan tetapi
koperasi mengandung banyak manfaat, antara lain memberi keuntungan kepada para
anggota koperasi, membuka
J. Hukum Koperasi Syariah
lapangan pekerjaan bagi para
karyawannya, memberikan dampak sosial yang positif kepada masyarakat luas dan
sebagainya. Oleh karena tidak ada unsur kezaliman dan pemerasan di dalam koperasi,
maka koperasi dapat dibenarkan dalam Islam. Sedangkan Khalid Abdurrahman Ahmad,
seorang enulis Timur Tengah, berpendapat bahwa haram bagi umat Islam berkoperasi.
Sebagai konsekuensinya, maka haram harta yg diperoleh dari koperasi.
Argumentasinya antara lain: 1. Prinsip-prinsip keorganisasian koperasi tidak memenuhi
syaratsyarat yg ditetapkan syariah, karena persyaratan anggota yang hanya dari
satu jenis golongan saja di mana bisa membentuk
kelompok-kelompok
eksklusif.
2.
Ketentuan-ketentuan pembagian keuntungan, di mana dalam Koperasi dikenal
pembagian keuntungan dari segi pembelian atau penjualan anggota di koperasinya.
Padahal Islam dalam kerja sama hanya mengenal pembagian keuntungan atas dasar modal,
jerih payah atau keduanya.
3.
Tujuan utama pembentukan koperasi, berupa adanya
persyaratan
anggota dan golongan ekonomi lemah, hanya bermaksud untuk menenteramkan dan
membatasi keinginan mereka, di samping hanya mempermainkan mereka dengan ucapan-ucapan
atau teori-teori yang utopis. Namun, di sisi lain hukum Islam mengizinkan
kepentingan masyarakat dan kesejahteraan bersama melalui prinsip ishtishlah atau
al-maslahah. Dengan melihat fungsi koperasi, di antaranya sebagai alat
perjuangan ekonomi untuk mempertinggi kesejahteraan rakyat dan alat
pendemokrasian ekonomi nasional, maka prinsip ishtishlah telah dipenuhi
oleh koperasi. Demikian halnya jika dilihat dari prinsip istihsan. Menyoroti koperasi
menurut metode ini paling tidak dapat dilihat pada tingkat makro maupun mikro.
Tingkat makro berarti mempertimbangkan koperasi sebagai sistem ekonomi yang
lebih dekat dengan Islam dibanding kapitalisme dan sosialisme. Pada tingkat
mikro berarti dengan melihat terpenuhi prinsip hubungan sosial secara saling menyukai
yang dicerminkan pada prinsip keanggotaan terbuka dan sukarela, prinsip
mementingkan pelayanan anggota, dan prinsip
solidaritas.
K. Pembatasan Koperasi Syariah
Pada dasarnya pembatasan koperasi
syariah adalah koperasi yang sudah ada disesuaikan dengan fikih (hukum Islam),
untuk membedakan mana-mana perbuatan koperasi yang tidak sesuai dengan syariah
dan mana-mana yang sesuai dengan syariah. Ini dikarenakan, jika melihat dari
prinsip-prinsip yang ada dalam koperasi, maka tidak ada hal yang bertentangan
dengan syariah Islam.
Oleh karenanya, meski koperasi bukan
berasal dari Islam secara murni, tetapi lembaga ini sesuai dengan nilai-nilai
Islam. Hanya saja perlu ada penajaman-penajaman atau penyempurnaan dari sistem
koperasi. Penyesuaian itu, misalnya, berupa landasan koperasi syariah yang
harus sesuai al-Qur’an dan Hadis dengan dijiwai semangat saling tolong-menolong
(ta’aawun) dan saling menguatkan (takaaful).
Oleh karena itu, koperasi syariah secara
garis besar tidak memiliki perbedaan yang mencolok dengan koperasi
konvensional. Hanya saja ada satu jenis koperasi, yakni koperasi simpan pinjam yang
perlu disesuaikan dengan sistem syariah. Penyesuaian itu menyangkut dengan
sistem keuangannya, yakni menjauhi system ribawi dan diganti dengan akad-akad
yang syar’iy, semisal mudlarabah, ijarah dan murabahah.
Pada dasarnya, ada tujuh hal yang harus dihindari dalam kegiatan bisnis, yang
bisa disebut pantangan moral bisnis (moral hazard). Yaitu:
1.
Maysir, yaitu segala bentuk spekulasi judi (gambling) yang mematikan
sektor riil dan tidak produktif.
2.
Asusila, yaitu praktik usaha yang melanggar kesusilaan dan norma sosial.
3.
Ghoror, yaitu segala transaksi yang tidak transparan dan tidak jelas,
sehingga berpotensi merugikan salah satu pihak.
4.
Haram, yaitu objek transaksi dan proyek usaha yang diharamkan syariah.
5.
Riba, yaitu segala bentuk distorsi mata uang menjadi komoditas dengan
mengenakan tambahan (bunga) pada transaksi kredit atau pinjaman dan
pertukaran/barter lebih antar barang ribawi sejenis.
6.
Ihtikar, yaitu penimbunan dan monopoli barang dan jasa untuk tujuan
permainan harga.
7.
Berbahaya, yaitu segala bentuk transaksi dan usaha yang membahayakan individu
maupun masyarakat serta bertentangan dengan mashlahah dalam al-maqashid
al-syari’ah.
L.
Permodalan Koperasi Syariah
Koperasi syariah berdiri
untuk meningkatkan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya serta turut membangun tatanan perekonomian yang berkeadilan sesuai dengan
prinsip-prinsip islam. Sehingga, dalam membentuk koperasi diperlukan keberanian
dan kesamaan visi dan misi di dalam intern pendiri. Salah satu hal yang perlu
diperahtikan adalah sisi permodalan koperasi syariah. Pada dasarnya, permodalan
koperasi syariah tidak jauh berbeda dengan koperasi konvensional. Perbedaan
hanya terdapat dalam salah satu jenis koperasi, yakni koperasi simpan pinjam di
mana sistem keuangannya tidak memakai riba. Meski demikian, secara umum,
koperasi syariah dalam operasionalnya menghindari sistem ekonomi konvensional
yang mengandung riba, maysir dan ghoror. Modal dalam koperasi pada umumnya
terdiri dari: modal dasar, baik yang berasal dari (1) modal sendiri, ataupun
(2) modal pinjaman yang dapat dibenarkan secara hukum dan syar’i. modal
sendiri, dalam bentuk (1) simpanan pokok, (2) simpanan wajib, (3) dana
cadangan, dan (4) hibah
No comments:
Post a Comment