Wednesday, February 20, 2013

ASURANSI DAN KOPRASI


A.    Istilah, Pengertian Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah

1.      Istilah dan Pengertian Asuransi Konvensional
Asuransi adalah suatu keinginan untuk menetapkan kerugian kecil atau sedikit yang sudah pasti sebagai pengganti kerugian besar yang belum pasti. Dengan demikian, orang bersedia membayar kerugian yang sedikit untuk masa sekarang, agar bisa menghadapi kerugian besar yang mungkin terjadi pada masa depan. Jadi, segala kerugian yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang, kita pindahkan kepada perusahaan asuransi.
Istilah asuransi, adalah “angsuran bersama untuk meringankan beban individu, kalau-kalau beban tersebut menimpanya.” Konsep asuransi yang paling sederhana dan umum adalah suatu persediaan yang disiapkan oleh sekelompok orang yang bisa tertimpa kerugian, guna menghadapi kejadian yang tidak dapat diduga, sehingga bila kerugian tersebut menimpa salah seorang di antara mereka, maka beban kerugian tersebut akan disebarkan ke seluruh kelompok. Maka tujuan dari asuransi adalah untuk menyiapkan bekal guna menghadapi bahaya yang menimpa kehidupan dan urusan manusia di masa yang akan datang.
Pengertian asuransi sebagai legal term dapat dijumpai dalam KUHD dan Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian. Dalam KUHD Pasal 246: “Pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena: suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang di harapkan, yang mungkin akan diderita karena sesuatu yang tak tertentu.”
Sedangkan pasal 1 ayat 1 No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasurasian menyebutkan: “Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tetanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian , kerusakan dan kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan di derita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan akan meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.”


2.      Istilah dan Pengertian Asuransi Syariah
Dikenal tiga istilah lain selain asuransi syariah yang mempunyai pengertian yang sama, yaitu ta’min, takaful dan tadhamun. Penjabarannya adalah sebagai berikut:
1. Ta’min
At-ta’min berasal dari kata amanah, yang mempunyai makna memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut.
Ta’min adalah saling memberikan jaminan dalam hal-hal yang positif antara sesama anggota masyarakat. Seseorang yang menta’minkan sesuatu berarti orang itu membayar atau menyerahkan sesuatu berarti orang itu membayar atau menyerahkan sejumlah uang secara meng-angsur dengan maksud, ia tau ahli warisnya akan mendapat sejumlah uang sebagaimana perjanjian yang telah di sepakati dan orang itu mendapat ganti rugi atas hartanya yang hilang. Singkat kata seseorang mempertanggungkan (men-ta’min-kan) hidup, rumah atau kendaraan yang di milikinya.
Tujuan pelaksanaan pelaksanaan ta’min yang dimaksud adalah menghilangkan rasa takut atau was-was dari suatu kejadian yang tidak di kehendaki yang akan menimpanya, sehingga dari adanya jaminan yang di maksud, maka rasa takutnya hilang dan merasa terlindungi.
2. Takaful
Takaful artinya menolong, mengasuh, memelihara dan mengambil alih perkara seseorang. Pengertian diatas, di khususkan kepada persepakatan tolong menolong secara teratur sedemikian rupa, keteraturan dan rinciannya antara sejumlah orang, bila semuanya akan tertimpa bahaya dan kesukaran, sehingga apabila bahaya itu menimpa seseorang di kalangan mereka, semuanya ikut membantu atau meringankannya dengan cara memberikan bagian yang tidak menyulitkan masing-masing guna menghilangkan bencana. Takaful adalah upaya saling mencukupi antara sesame anggota pada saat ada pihak-pihak yang kekurangan karena terkena musibah. Yang dimakdud saling mencukupi atau saling pikul resiko dimaksud yaitu di lakukan atas dasar tolong menolong dalam kebaikan dengan cara, setiap orang mengeluarkan dana kebajikan (tabarru’) yang ditujukan untuk menanggung resiko tersebut.
3. Tadhamun
At-tadhamun berarti saling menanggung yaitu bertujuan saling menutupi kerugian atas suatu peristiwa dan musibah yang di alami oleh seseorang. Hal ini dilakukan oleh seseorang yang menangung untuk memberikan sesuatu kepada orang yang di tanggung berupa pengganti (sejumlah uang atau barang) karena adanya musibah yang menimpa tertanggung. Sedangkan pengertian Tadhamun sendiri adalah sikap keadilan dan solidaritas antara sesama anggota dalam menghadapi kesulitan. Asuransi syariah, takaful, tadhamun, dan ta’min pada dasarnya merupakan dua pihak yang melakukan interaksi sosial, yaitu pihak penolong dan pihak yang ditolong. Interaksi dimaksud penting untuk dilakukan karena setiap individu berada dalam lindungan atau jaminan masyarakat itu. Fungsi dari pemerintah adalah penjamin warga negaranya serta membantu dalam kebajikan. Dalam konteks kehidupan warga masyarakat yang saling memberikan pertolongan dan perlindungan maka akan terwujud kehidupan masyarakat yang stabil dan damai sebagai realisasi dari dorongan setiap warga masyarakat untuk berbuat kebajikan yang didasari oleh nilai keimanan pada tuhannya.

B.     Dasar Hukum Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah

1.      Dasar Hukum Asuransi Konvensional
Dasar hukum dari asuransi di Indonesia ada tiga, yaitu:
1.      KUHPer
Karena asuransi merupakan sebuah perikatan, maka sebagai dasar hukum pertama adalah KUH Perdata, terutama pasal 1320. Juga pasal 1774 KUH Perdata, yang berbunyi “Suatu perbuatan yang hasilnya mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, tergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu, demikian juga persetujuan pertanggungan yang diatur dalam kitab undang-undang hukum dagang.”
Dari perumusan tersebut, dapat dimengerti bahwa orang bersedia membayar kerugian yang sedikit untuk masa sekarang agar bisa menghadapi kerugian-kerugian besar yang mungkin terjadi pada waktu mendatang. Kerugian-kerugian ini akan dipindahkan kepada perusahaan asuransi.
2.   Kitab Undang-undang Hukum Dagang
Dalam KUHD ada 2 cara pengaturan asuransi, yaitu pengaturan yang bersifat umum dan bersifat khusus.
Pengaturan yang bersifat umum terdapat dalam buku I Bab 9 Pasal 146-286 KUHD yang berlaku bagi semua jenis asuransi, baik yang sudah diatur dalam KUHD maupun yang diatur di luar KUHD, kecuali jika secara khusus ditentukan lain. Pengaturan yang bersifat khusus terdapat dalam Buku I Bab 10 pasal 287-308 KUHD dan Buku II Bab IX dan Bab X pasal 592-695 KUHD dengan rincian sebagai berikut:
a. Bab IX. Asuransi atau pertanggungan pada umumnya, pengaturannya mulai dari pasal 246-286
b. Bab X. Asuransi atau pertanggungan terhadap bahayabahaya kebakaran, terhadap bahaya-bahaya yang mengancam hasil pertanian yang belum dipaneni, dan tentang pertanggungan jiwa.
- Bagian 1. Pertanggungan Terhadap Bahaya Kebakaran Pengaturannya Mulai Pasal 287-298 KUHD
- Bagian 2. Pertanggungan Terhadap Bahaya yang Mengancam Hasil Pertanian yang Belum Dipaneni. Pengaturannya Mulai Pasal 299-301 KUHD
- Bagian 3. Pertanggungan Jiwa. pengaturannya mulai pasal 302-308 KUHD
- Asuransi pengangkutan laut dan perbudakan pasal 592-685 KUHD
- Asuransi pengangkutan darat, sungai dan perairan pedalaman pasal 686-695 KUHD Pengaturan asuransi dalam KUHD mengutamakan segi keperdataan yang didasarkan kepada perjanjian antara tertanggung dan penanggung. Perjanjian tersebut menimbulkan kewajiban dan hak tertanggung dan penanggung secara timbale balik. Sebagai perjanjian khusus, asuransi dibuat secara tertuis dalam bentuk akta yang disebut polis asuransi. Pegaturan asuransi dalam KUHD meliputi substansi berikut:
a. Asas-asas asuransi
b. Perjanjian asuransi
c. Unsur-unsur asuransi
d. Syarat-syarat asuransi
e. Jenis-jenis asuransi
3.   Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
Jika KUHD mengutamakan pengaturan asuransi dari segi keperdataan, maka Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian lebih mengutamakan pengaturan asuransi dari segi bisnis dan publik administratif. Pengaturan dari segi bisnis artinya menjalankan usaha perasuransian harus sesuai dengan aturan hokum perasuransian dan perusahaan yang berlaku. Dari segi administratif artinya kepentingan masyarakat dan Negara tidak boleh dirugikan. Jika hal dilanggar, maka pelanggaran tersebut diancam dengan saksi pidana dan saksi administratif. Pelaksana dari undang-undang tersebut adalah PP No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
2.      Dasar Hukum Asuransi Syariah
Ada dua pendapat yang berlainan dalam menentukan dasar hukum asuransi syariah, tetapi hampir sama yang dimaksudkan. Yaitu sebagai berikut:
a. Pendapat pertama
Asuransi dalam syariat Islam dikatagorikan dalam masalah ijtihad, sebab tidak diketemukan penjelasan secara resmi di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits dan juga para imam madzhab tidak memberikan pendapat tentang ini, sebab pada saat itu asuransi belum dikenal atau belum ada.
b. Pendapat kedua
Kebanyakan ulama memaknai metodologi kenvensional dalam mencari landasan syariah (al-asas al-syar’iyyah) dalam suatu pokok masalah (subjek matter). Subjek matternya adalah lembaga asuransi. Landasan yang digunakan dalam hal memberi nilai  legalisasi dalam praktek bisnis asuransi yaitu Al-Qur'an, Sunnah Nabi, dan Ijtihad.
Landasan hukum asuransi syariah menurut ijtihad ini meliputi:
1) Fatwa sahabat
Praktik sahabat berkenaan dengan pembayaran hukuman (ganti rugi) pernah dilaksanakan oleh khalifah kedua, yaitu Umar bin Khattab. Beliau berkata “orang-orang yang namanya tercantum dalam diwan tersebut berhak menerima bantuan dari satu sama lain dan harus menyumbang untuk pembayaran hukuman (ganti rugi) atas pembunuhan (tidak sengaja) yang dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakat mereka. “Umarlah yang pertama kali mengeluarkan perintah untuk menyiapkan daftar secara profesional perwilayah, dan orang-orang yang terdaftar diwajibkan saling menangung beban.
2) Ijma’
Para sahabat telah melakukan ittifaq (kesepakatan) dalam hal aqilah yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khattab. Adanya ijma’ atau kesepakatan ini tampak dengan tidak adanya sahabat lain yang menentang pelaksanaan aqilah ini. Al-Aqilah yaitu saling memikul atau bertanggung jawab untuk keluarganya. Jika salah seorang dari anggota suatu suku terbunuh oleh anggota satu suku yang lain, maka pewaris korban akan dibayar dengan uang darah (diyat) sebagai konpensasi oleh saudara terdekat dari pembunuh. Saudara terdekat dari pembunuh disebut aqilah. Lalu mereka mengumpulkan dana (al-kanzu) yang diperuntukkan membantu keluarga yang terlibat dalam pembunuhan tidak disengaja. Dengan tidak adanya sahabat yang menentang khalifah Umar bin Khattab dapat disimpulkan, bahwa telah terdapat ijma’ dikalangan sahabat Nabi SAW mengenai persoalan ini.

C.    Perjanjian Asuransi Konvensional dan Perjanjian Asuransi Syariah

1.      Perjanjian Asuransi Konvensional
Asuransi dalam terminologi hukum merupakan suatu perjanjian, oleh karena itu perjanjian itu sendiri perlu dikaji sebagai acuan menuju pada pengertian perjanjian asuransi. Di samping itu karena acuan pokok perjanjian asuransi tetap pada pengertian dasar dari perjanjian.
Secara umum pengertian perjanjian dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Suatu perbuatan yang mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang atau lebih.
2. Suatu hubungan hukum antara pihak, atas dasar yang satu (yang berpiutang/kreditur) berhak untuk suatu prestasi dari yang lain (yang berhubungan/debitur) yang juga berkewajiban melaksanakan dan bertanggungjawab atas suatu prestasi. Mengingat arti pentingnya perjanjian asuransi sesuai dengan  tujuannya, yaitu sebagai suatu perjanjian yang memberikan proteksi, maka sebenarnya perjanjian ini menawarkan suatu kepastian dari suatu ketidakpastian mengenai kerugian-kerugian ekonomis yang mengukir diderita karena suatu peristiwa yang belum pasti. Jadi perjanjian asuransi diadakan dengan maksud untuk memperoleh suatu kepastian atas kembalinya keadaan (ekonomi) sesuai dengan semula sebelum terjadi peristiwa.
     Pengertiannya secara singkat:
Terjadinya Perjanjian Asuransi
·         Teori tawar menawar dan teori penerimaan
o   Teori tawar menawar
 Terjadi jika penawaran dihadapkan dengan penerimaan
o   Teori penerimaan
Terjadi pada saat penawaran sungguh-sungguh diterima
·         Asuransi bersifat tertulis
 Kesepakatan sesuai nota persetujuan (pasal 271 (1) KUHD)
Tiga  sifat pokok dari perjanjian asuransi atau pertanggungan sebagai berikut:
1.   Asuransi pada dasarnya merupakan kontrak atau perjanjian ganti kerugian atau kontrak idemnitas pihak yang satu (penanggung) mengikat dirinya terhadap pihak yang lain (pengambil asuransi atau tertanggung) untuk mengganti kerugian yang mungkin diderita olehnya.
2. Asuransi merupakan perjanjian bersyarat dalam arti bahwa penanggung mengganti kerugian pihak tertanggung dengan ditentukan atau tertanggung pada peristiwa yang tidak dapat dipastikan lebih dulu.
3.  Asuransi merupakan perjanjian timbal balik dan penanggung terdapat ikatan bersyarat terhadap tertanggung untuk membayar ganti rugi, tetapi sebaliknya dari sisi tertanggung terdapat ikatan tidak bersyarat untuk membayar premi.
Berakhirnya perjanjian asuransi:
 Jangka waktu berlaku sudah habis
 perjalanan berakhir
 terjadi evenemen diikuti klaim
 asuransi berhenti atau dibatalkan
 asuransi gugur
            Polis adalah asuransi yang dibuat secara tertulis dalam suatu akta.

Isi Polis adalah sebagai berikut :
1) hari dan tanggal pembuatan
2) nama yang mengadakan (pihak I dan pihak II)
3) benda asuransi
4) jumlah yang diasuransikan
5) bahaya-bahaya yang dipertanggungkan
6) saat bahaya berjalan dan berakhir
7) premi
8) keadaan yang perlu diketahui


2.      Perjanjian Asuransi Syariah
Asuransi syariah didasarkan atas prinsip tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa serta menghindari adanya unsure gharar,maisir dan riba dalam pelaksanaannya. Antara peserta yang satu dengan yang lain saling menanggung resiko, artinya yang menanggung dalam asuransi syariah adalah peserta sendiri.dalam hal pengelolaan dananya, asuransi syariah memisahkan antara rekening tabaru’dan rekening dana peserta.
Tujuan berdirinya asuransi syariah pada dasarnya adalah memberikan alternatif pilihan proteksi bagi pemeluk agama Islam yang menginginkan produk asuransi yang sesuai dengan hukum Islam. Sedangkan secara operasional dan kelembagaan, tujuan asuransi syariah sama dengan asuransi konvensional yaitu pengelolaan atau penanggulangan resiko.
a. Asuransi syariah termasuk akad tabarru yang bermaksud murni takaful (menanggung) dan ta’awun (saling tolong menolong) dalam menutup kerugian yang timbul dari bahaya dan musibah, sehingga premi dari anggotanya bersifat hibah (tabarru’). Berbeda dengan asuransi konvensional yang bermaksud mencari keuntungan berdasarkan akad al-mu’awwadhah al-ihtimaliyah (bisnis oriented yang berspekulasi, dalam bahasa Prancis contrats aleatoirs).
b. Penggantian ganti rugi atas resiko bahaya dalam asuransi syariah diambil dari jumlah premi yang ada di shunduq (simpanan) asuransi. Apabila tidak mencukupi maka adakalanya minta tambahan dari anggota atau mencukupkan dengan menutupi sebagian kerugian saja. Sehingga tidak ada keharusan menutupi seluruh kerugian yang ada bila anggota tidak sepakat menutupi seluruhnya. Berbeda dengan asuransi konvensional yang mengikat diri untuk menutupi seluruh kerugian yang ada (sesuai kesepakatan) sebagai ganti premi asuransi yang dibayar tertanggung. c. Asuransi syariah tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan dari selisih premi yang dibayar dari ganti rugi yang dikeluarkan. Bahkan bila ada selisih (sisa) dari pembayaran klaim (ganti rugi) maka dikembalikan kepada anggota (tertanggung). Sedangkan sisa dalam perusahaan asuransi konvensional dimiliki perusahaan.
d. Penanggung dalam asuransi syariah adalah tertanggung sendiri. Sedangkan dalam asuransi konvensional, penanggung adalah pihak luar. Premi yang dibayarkan tertanggung dalam asuransi syariah digunakan untuk kebaikan mereka seluruhnya. Karena tujuannya tidak untuk berbisnis dengan usaha tersebut, namun dimaksudkan untuk menutupi ganti kerugian dan biaya operasinal perusahaan saja Sedangkan dalam system konvensional premi tersebut digunakan untuk kemaslahatan perusahaan dan keuntungannya semata Karena tujuannya `adalah berbisnis dengan usaha asuransi tersebut untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari pembayaran premi para nasabahnya.
e. Asuransi syariah bebas dari riba, spekulasi dan perjudian serta gharar yang terlarang. Sedangkan asuransi konvensional tidak lepas dari hal-hal tersebut.

D.    Investasi Asuransi Syariah
Demi menghindari keharaman, Investasi perusahaan asuransi dan re-asuransi syariah hanya dalam :
1) deposito dan sertifikat deposito syariah
2) sertifikat wadiah Bank Indonesia
3) saham, obligasi, surat berharga, reksadana
bersifat syariah
4) penyertaan langsung syariah (musyarokah)
5) bangunan atau tanah
6) pembiayaan murobahah
7) pembiayaan modal kerja (mudhorobah)
8) pinjaman polis

E.              Produk Asuransi Syariah
Produk asuransi syariah pada dasarnya terbagi menjadi dua :
1) Dengan unsur Tabungan (saving)
    Yaitu: dana milik peserta, lembaga hanya pengelola saja.
v  Dibagi=> tabungan: diberikan=> perjanjian berakhir:
·         Meninggal
·         Mengundurkan
v  tabarru’ => sebagai derma:
·      diberikan jika surplus
2) Dengan unsur Non-tabungan (saving):
v  kumpulan dana dikurangi biaya pengelolaan
·      rekening khusus
·      diinvestasikan
·      surplus dibagikan dengan sistem bagi hasil

F.     Syarat-syarat Asuransi

Asuransi merupakan salah satu jenis perjanjian khusus yang diatur dalam KUHD. Sebagai perjanjian, maka ketentuan syaratsyarat sah suatu perjanjian dalam KUH perdata berlaku juga bagi perjanjian asuransi, dan karena perjanjian asuransi bersifat khusus maka berlaku pula ketentuan dalam kitab undang-undang hukum dagang.
Syarat-syarat sah suatu perjanjian diatur dalam pasal 1320
KUH perdata, yang disebutkan ada 4, yaitu:
a.       Kesepakatan (consencus)
Tertanggung dan penanggung sepakat mengadakan perjanjian asuransi. Kesepakatan tersebut pada pokoknya meliputi:
1. Benda yang menjadi objek asuransi
2. Penglihan resiko dan pembayaran premi.
3. Evenemen dan anti kerugian
4. Syarat-syarat khusus asuransi
5. Dibuat secara tertulis yang disebut polis.
b. Kewenangan (authority)
Kedua belah pihak tertanggung dan penanggung berwenang melakukan perbuatan hukum yang diakui oleh undang-undang. Kewenangan tersebut ada yang bersifat subyektif dan ada yang bersifat obyektif. Kewenangan subyektif artinya kedua pihak sudah dewasa, sehat ingatan, tidak berada dibawah perwalian (trusteeship) atau pemegang kuasa yang sah. Kewenangan obyektif artinya tertanggung mempunyai hubungan yang sah dengan benda obyek asuransi karena benda tersebut adalah kekayaan miliknya sendiri.
c. Obyek tertentu (fixed object)
Obyek tertentu dalam perjanian asuransi adalah obyek yang diasuransikan, dapat berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan, dapat pula berupa jiwa atau raga manusia. Obyek tertentu berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan terdapat pada perjanjian asuransi kerugian. Obyek tertentu berupa jiwa/raga menusia terdapat pada perjanjian asuransi jiwa. Pengertian obyek tertentu adalah bahwa identitas obyek asuransi tersebut harus jelas dan pasti. Apabila berupa harta kekayaan, harta kekayaan berupa apa, berapa jumlah dan ukurannnya, dimana letaknya, apa mereknya, buatan mana, berapa nilainya dan sebagainya. Apabila berupa jiwa atau raga, atas nama siapa, berapa umurnya, apa hubungan keluarganya, dimana alamatnya dan sebagainya. Bentuk asuransi pertama ada dua macam, yaitu: (1) syarat kematian dan (2) syarat kehidupan.
d. Kausa yang halal (legal cause)
Kausa yang halal maksudnya adalah isi perjanjian asuransi itu tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Berdasarkan kuasa yang halal itu, tujuan yang hendak dicapai oleh tertanggung dan penanggung adalah beralihnya resiko atas obyek asuransi yang diimbangi dengan pembayaran premi, jadi penanggung menerima peralihan resiko atas obyek asuransi.
G.    Pengertian Koperasi Konvensional dan Koperasi Syariah

1.      Pengertian Koperasi Konvensional
Koperasi adalah lembaga usaha yang dinilai cocok untuk memberdayakan rakyat kecil.
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian: “Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan.”
yang dapat menjadi anggota koperasi yaitu:
a. Perorangan, yaitu orang yang secara sukarela menjadi anggota koperasi.
b. Badan hukum koperasi, yaitu suatu koperasi yang menjadi anggota koperasi yang memiliki lingkup lebih luas.
Sedangkan pada Pernyataan Standard Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 27 (Revisi 1998) disebutkan bahwa “karateristik utama koperasi yang membedakan dengan badan usaha lain, yaitu anggota koperasi memiliki identitas ganda.” Identitas ganda maksudnya anggota koperasi merupakan pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi.



2.      Pengertian Koperasi Syariah
Koperasi diatur melalui Undang-undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Namun saat ini ada wacana agar masalah koperasi syariah di atur secara khusus melalui peraturan perundang-undangan tersendiri. Dalam amandemen Undang- Undang no 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, terdapat usulan dari Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Dekopin UKM) agar masalah koperasi syariah diatur dan dimasukkan dalam undang-undang Koperasi yang terbaru. Hal ini karena, karekteristik koperasi syariah tidak cocok jika hanya diatur melalui peraturan meneteri (PM) saja.
Koperasi syariah berdiri untuk meningkatkan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta turut membangun tatanan perekonomian yang berkeadilan sesuai dengan prinsip-prinsip islam. Sehingga, dalam membentuk koperasi diperlukan keberanian dan kesamaan visi dan misi di dalam intern pendiri. Salah satu hal yang perlu diperahtikan adalah sisi permodalan koperasi syariah. Pada dasarnya, permodalan koperasi syariah tidak jauh berbeda dengan koperasi konvensional. Perbedaan hanya terdapat dalam salah satu jenis koperasi, yakni koperasi simpan pinjam di mana sistem keuangannya tidak memakai riba. Meski demikian, secara umum, koperasi syariah dalam operasionalnya menghindari sistem ekonomi konvensional yang mengandung riba, maysir dan ghoror. Modal dalam koperasi pada umumnya terdiri dari: modal dasar, baik yang berasal dari
(1) modal sendiri, ataupun
(2) modal pinjaman yang dapat dibenarkan secara hukum dan syar’i. modal sendiri, dalam bentuk
(1) simpanan pokok,
(2) simpanan wajib,
(3) dana cadangan, dan
(4) hibah modal penyertaan, yaitu modal dari selain anggota koperasi syariah di mana pemilik modal tersebut tidak mempunyai hak suara sama sekali dalam penentuan rapat anggota.
Berkenaan dengan koperasi syariah, modal awalnya bisa bersumber dari dan diusahakan oleh koperasi syariah, misalkan dari modal sendiri, modal penyertaan dan dana amanah. Modal sendiri didapat dari simpanan pokok, simpanan wajib, cadangan, hibah, dan donasi. Sedangkan modal penyertaan didapat dari anggota, koperasi lain, bank, penerbitan obligasi dan surat utang serta sumber lainnya yang sah. Adapun dana amanah dapat berupa simpanan sukarela anggota, dana amanah perorangan atau lembaga. Satu hal yang harus disepakati bersama, misi utama koperasi Adalah

H.    Prinsip dan Produk Koperasi Syariah
Sebagai kegiatan usaha yang berbasis syariah, koperasi syariah perlu menegakan prinsip-prinsip ekonomi islam sebagai berikut:
1. Kekayaan adalah amanah Allah swt yang tidak dapat dimiliki oleh siapapun secara mutlak.
2. Manusia diberi kebebasan bermu’amalah selama bersama dengan ketentuan syariah.
3. Manusia merupakan khalifah Allah dan pemakmur dimuka bumi.
4. Menjunjung tinggi keadian serta menolak setiap bentuk ribawi dan pemusatan sumber dana ekonomi pada segelintir orang atau sekelompok orang saja.
Sedangkan dari sisi jenis produk, pada dasarnya semua produk koperasi yang ada dapat dilakukan oleh koperasi syariah. Akan tetapi, dalam penerapannya, koperasi syariah perlu
memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Usaha koperasi syariah meliputi semua kegiatan usaha yang halal, baik dan bermanfaat (thayyib) serta menguntungkan dengan sistem bagi hasil dan tanpa riba, judi atau pun ketidakjelasan (ghoro).
2. Untuk menjalankan fungsi perannya, koperasi syariah menjalankan usaha sebagaimana tersebut dalam sertifikasi usaha koperasi.
3.   Usaha-usaha yang diselenggarakan koperasi syariah harus sesuai dengan fatwa dan ketentuan Dewan Syariah Nasional dan Majelis Ulama Indonesia
4. Usaha-usaha yang diselenggarakan koperasi syariah harus tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, Koperasi syariah dalam kegiatan usahanya dapat menyediakan beberapa produk, di antaranya:
·         Investasi/kerjasama
Kerjasama dapat dilakukan dalam bentuk Mudharabah dan musyarakah. Dalam penyaluran dana dalam bentuk mudharabah dan musyarakah, koperasi syariah bertindak selaku pemilik dana (shahibul maal) sedangkan pengguna dana adalah pengusaha (mudharib). Kerjasama dapat dilakukan untuk mendanai sebuah usaha yang dinyatakan layak untuk didanai, semisal pendirian
klinik, kantin, toserba dan usaha lainnya.
·         Jual beli (al-Bai’)
Jual beli bisa dalam berbagai jenis, antara lain (1) jual beli secara tunai atau diangsur, atau jual beli secara pararel yang dilakukan oleh 3 pihak.
·         Jasa al-ijaroh (sewa)
Yaitu, akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri, semisal penyewaan tenda, sound system dan lain-lain.
·         Jasa hawalah (anjak piutang)
Jasa ini timbul karena adanya peralihan kewajiban dari seseorang anggota terhadap pihak lain dan dialihkan kewajibannya tersebut kepada koperasi syariah. Hawalah adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya.
·         Jasa rahn (gadai)
Jasa Rahn timubul karena adanya kebutuhan keuangan yang mendesak dari para anggotanya dan koperasi dapat memenuhinya dengan cara barang milik anggota dikuasai oleh koperasi dengan kesepakatan bersama. Pengertian Rahn sendiri adalah menahan salah satu harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.

·         Jasa wadi’ah (titipan)
Jasa wadi’ah dapat dilakukan pula dalam bentuk barang, seperti jasa penitipan barang dalam locker karyawan/mahasiswa atau penitipan sepeda motor, mobil dan lain-lainnya.

I.       Koperasi ditinjau dari hukum Islam
Sebagian ulama mengkategorikan koperasi ke dalam akad mudharabah, yakni suatu perjanjian kerjasama dua orang atau lebih yang mana satu pihak menyediakan modal dan pihak lain melakukan usaha atas dasar profit sharing berdasarkan perjanjian. Lain halnya dengan Syeikh Mahmud Syaltut (Guru Besar Universitas al-Azhar), yang tidak sependapat jika koperasi
dimasukkan ke dalam akad mudharabah karena tidak mengandung unsur mudharabah yang dirumuskan oleh para ulama. Karena dalam koperasi, modal usahanya diperoleh dari seluruh anggota koperasi (sebagai pemegang saham) dan mereka juga ikut mengelola koperasi. Kalau pemegang saham turut menjalankan operasional koperasi maka mereka berhak mendapatkan upah sesuai standar yang berlaku. Menurut Mahmud Syaltut, koperasi merupakan syirkah baru yang tidak bisa dimasukkan ke dalam jenis-jenis syirkah sebagaimana yang ada dalam khazanah fikih. Akan tetapi koperasi mengandung banyak manfaat, antara lain memberi keuntungan kepada para anggota koperasi, membuka
J.      Hukum Koperasi Syariah
lapangan pekerjaan bagi para karyawannya, memberikan dampak sosial yang positif kepada masyarakat luas dan sebagainya. Oleh karena tidak ada unsur kezaliman dan pemerasan di dalam koperasi, maka koperasi dapat dibenarkan dalam Islam. Sedangkan Khalid Abdurrahman Ahmad, seorang enulis Timur Tengah, berpendapat bahwa haram bagi umat Islam berkoperasi. Sebagai konsekuensinya, maka haram harta yg diperoleh dari koperasi. Argumentasinya antara lain: 1. Prinsip-prinsip keorganisasian koperasi tidak memenuhi syaratsyarat yg ditetapkan syariah, karena persyaratan anggota yang hanya dari satu jenis golongan saja di mana bisa membentuk
kelompok-kelompok eksklusif.
2. Ketentuan-ketentuan pembagian keuntungan, di mana dalam Koperasi dikenal pembagian keuntungan dari segi pembelian atau penjualan anggota di koperasinya. Padahal Islam dalam kerja sama hanya mengenal pembagian keuntungan atas dasar modal, jerih payah atau keduanya.
3. Tujuan utama pembentukan koperasi, berupa adanya
persyaratan anggota dan golongan ekonomi lemah, hanya bermaksud untuk menenteramkan dan membatasi keinginan mereka, di samping hanya mempermainkan mereka dengan ucapan-ucapan atau teori-teori yang utopis. Namun, di sisi lain hukum Islam mengizinkan kepentingan masyarakat dan kesejahteraan bersama melalui prinsip ishtishlah atau al-maslahah. Dengan melihat fungsi koperasi, di antaranya sebagai alat perjuangan ekonomi untuk mempertinggi kesejahteraan rakyat dan alat pendemokrasian ekonomi nasional, maka prinsip ishtishlah telah dipenuhi oleh koperasi. Demikian halnya jika dilihat dari prinsip istihsan. Menyoroti koperasi menurut metode ini paling tidak dapat dilihat pada tingkat makro maupun mikro. Tingkat makro berarti mempertimbangkan koperasi sebagai sistem ekonomi yang lebih dekat dengan Islam dibanding kapitalisme dan sosialisme. Pada tingkat mikro berarti dengan melihat terpenuhi prinsip hubungan sosial secara saling menyukai yang dicerminkan pada prinsip keanggotaan terbuka dan sukarela, prinsip mementingkan pelayanan anggota, dan prinsip
solidaritas.
K.    Pembatasan Koperasi Syariah
Pada dasarnya pembatasan koperasi syariah adalah koperasi yang sudah ada disesuaikan dengan fikih (hukum Islam), untuk membedakan mana-mana perbuatan koperasi yang tidak sesuai dengan syariah dan mana-mana yang sesuai dengan syariah. Ini dikarenakan, jika melihat dari prinsip-prinsip yang ada dalam koperasi, maka tidak ada hal yang bertentangan dengan syariah Islam.
Oleh karenanya, meski koperasi bukan berasal dari Islam secara murni, tetapi lembaga ini sesuai dengan nilai-nilai Islam. Hanya saja perlu ada penajaman-penajaman atau penyempurnaan dari sistem koperasi. Penyesuaian itu, misalnya, berupa landasan koperasi syariah yang harus sesuai al-Qur’an dan Hadis dengan dijiwai semangat saling tolong-menolong (ta’aawun) dan saling menguatkan (takaaful).
Oleh karena itu, koperasi syariah secara garis besar tidak memiliki perbedaan yang mencolok dengan koperasi konvensional. Hanya saja ada satu jenis koperasi, yakni koperasi simpan pinjam yang perlu disesuaikan dengan sistem syariah. Penyesuaian itu menyangkut dengan sistem keuangannya, yakni menjauhi system ribawi dan diganti dengan akad-akad yang syar’iy, semisal mudlarabah, ijarah dan murabahah. Pada dasarnya, ada tujuh hal yang harus dihindari dalam kegiatan bisnis, yang bisa disebut pantangan moral bisnis (moral hazard). Yaitu:
1. Maysir, yaitu segala bentuk spekulasi judi (gambling) yang mematikan sektor riil dan tidak produktif.
2. Asusila, yaitu praktik usaha yang melanggar kesusilaan dan norma sosial.
3. Ghoror, yaitu segala transaksi yang tidak transparan dan tidak jelas, sehingga berpotensi merugikan salah satu pihak.
4. Haram, yaitu objek transaksi dan proyek usaha yang diharamkan syariah.
5. Riba, yaitu segala bentuk distorsi mata uang menjadi komoditas dengan mengenakan tambahan (bunga) pada transaksi kredit atau pinjaman dan pertukaran/barter lebih antar barang ribawi sejenis.
6. Ihtikar, yaitu penimbunan dan monopoli barang dan jasa untuk tujuan permainan harga.
7. Berbahaya, yaitu segala bentuk transaksi dan usaha yang membahayakan individu maupun masyarakat serta bertentangan dengan mashlahah dalam al-maqashid al-syari’ah.


L.     Permodalan Koperasi Syariah
Koperasi syariah berdiri untuk meningkatkan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta turut membangun tatanan perekonomian yang berkeadilan sesuai dengan prinsip-prinsip islam. Sehingga, dalam membentuk koperasi diperlukan keberanian dan kesamaan visi dan misi di dalam intern pendiri. Salah satu hal yang perlu diperahtikan adalah sisi permodalan koperasi syariah. Pada dasarnya, permodalan koperasi syariah tidak jauh berbeda dengan koperasi konvensional. Perbedaan hanya terdapat dalam salah satu jenis koperasi, yakni koperasi simpan pinjam di mana sistem keuangannya tidak memakai riba. Meski demikian, secara umum, koperasi syariah dalam operasionalnya menghindari sistem ekonomi konvensional yang mengandung riba, maysir dan ghoror. Modal dalam koperasi pada umumnya terdiri dari: modal dasar, baik yang berasal dari (1) modal sendiri, ataupun (2) modal pinjaman yang dapat dibenarkan secara hukum dan syar’i. modal sendiri, dalam bentuk (1) simpanan pokok, (2) simpanan wajib, (3) dana cadangan, dan (4) hibah

No comments:

Post a Comment