1.
Menurut
saya tentang riba sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur’an relevansinya
dengan bunga bank terfokus pada permasalahan sentral sebagai berikut :
Pertama, Pelarangan riba dipahami
berdasarkan legal formal sebagaimana
yang dikonsepkan dalam fiqih klasik yang memahami bahwa setiap bunga (tambahan)
adalah riba sehingga sedikit maupun banyak hukumnya adalah haram. Pemahaman
secara legal formal atau tekstual ini
memahami bunga bank secara induktif yang berpijak pada teori qiyas yang bersandar pada illat jali (ilat yang jelas). Dalam hal
riba dan bunga bank keduanya disatukan oleh illat
“tambahan” atau bunga.
Kedua, larangan riba dipahami dengan
menekankan aspek rasional melalui alur pikir deduktif yang mencoba
menginterpretasikan riba dengan melihat konteks masing–masing (paradigma
kontekstual). Konteks keharaman riba dalam Al-Qur’an adalah memungut tambahan
(bunga) yang bermuatan ketidakadilan, sehingga mereka menyimpulkan illat keharaman riba adalah sifat dzulm. Sedangkan bank adalah lembaga
niaga (tijarah) yang menjadi mediator
antara pihak yang ingin menyimpan atau menanamkan modal (investor) dan
pengusaha yang membutuhkan modal. Hutang piutang dalam perbankan bukan dalam
konteks tolong menolong antara si kaya dan si miskin, melainkan tijarah (niaga) untuk mencari keuntungan
bersama antara pihak pemilik modal, pengguna modal, dan pihak perbankan. Hasil
analisis kontekstual ini mengharuskan mereka meninggalkan qiyas dan mengedepankan metode istihsan.
Maka tidak setiap bunga (tambahan) adalah riba.
2.
Ada dua pendapat di kalangan Ulama tentang jual beli obat – obatan yang bahannya
dari bahan najis. Pendapat yang pertama mengharamkan secara total. Pendapat kedua membolehkan karena
darurat.
a. Pendapat Yang Mengharamkan.
Pendapat ini menyatakan bahwa apa pun dalihnya,
pokoknya haram hukumnya bagi seorang muslim memakan hewan yang sudah diharamkan
Allah untuk mengkonsumsinya. Mereka juga tidak menerima kalau dikatakan bahwa
sebuah penyakit tidak ada obatnya. Sebab ada dalil yang shahih yang menyebutkan bahwa Allah SWT tidak
menurunkan penyakit kecuali disertai juga dengan obatnya.
“Sesungguhnya Allah SWT menurunkan
penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Hendaklah kalian
berobat, dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR Abu
Dawud)
Dengan hadits ini maka jual
beli obat – obatan yang bahannya dari bahan najis hukumnya haram. Walaupun tujuannya untuk berobat atau
mencari kesembuhan. Sebab tidak ada penyakit yang tidak ada obatnya. Dan obat
itu sudah diturunkan Allah SWT beserta dengan turunnya penyakit. Tugas kita
adalah menemukan obat yang telah Allah SWT turunkan. Bukan menggunakan obat
yang diharakamkan. Bahkan ada hadits yang justru menyebutkan bahwa bila sesuatu makanan itu
haram, maka pasti bukan obat. Karena Allah SWT tidak pernah menjadikan obat
dari sesuatu yang hukumnya haram.
”Sesungguhnya Allah tidak menjadikan
obat bagimu pada apa-apa yang diharamkankan Allah atasmu.” (HR Bukhari dan Baihaqi)
Maka semakin jelas menurut pendapat ini bahwa jual beli obat –
obatan yang bahannya dari bahan najis bukanlah sebuah upaya penyembuhan yang benar. Karena obat itu tidak pernah diturunkan
kecuali berupa benda-benda yang halal.
b. Pendapat Yang Menghalalkan.
Pendapat kedua yang menghalalkan berobat dengan
sesuatu yang haram, menggunakan dua dalil utama. Dalam hukum syariat,
ada kaidah bahwa sesuatu yang dharurat itu bisa menghalakan sesuatu yang
dilarang. Ad-Dharuratu tubihul mahdzurat. Selain itu Allah SWT telah
berfirman :
“Dan barangsiapa yang terpaksa pada
(waktu) kelaparan dengan tidak sengaja untuk berbuat dosa, maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih”. (QS. Al-Maidah: 3)
“Allah telah menerangkan kepadamu
apa-apa yang Ia telah haramkan atas kamu, kecuali kamu dalam keadaan
terpaksa." (QS. Al-An'am: 119)
Namun mereka sepakat dalam menetapkan syarat-syarat yang harus terpenuhi, antara
lain:
Ø
Terdapat bahaya yang mengancam kehidupan manusia jika
tidak berobat.
Ø
Tidak ada obat lain yang halal sebagai ganti obat yang
haram itu.
Ø
Adanya suatu pernyataan dari seorang dokter muslim
yang dapat dipercaya, baik pemeriksaannya maupun agamanya (i'tikad baiknya).
Selain itu mereka juga menggunakan kejadian di masa
Nabi dimana menurut mereka ada hadits-hadits yang membolehkan berobat dengan
benda najis dan haram, sebagai sebuah keringanan atau rukhshah. Misalnya hadits yang menyebutkan
bahwa Nabi SAW pernah membolehkan suku ‘Ukl dan ‘Uraynah berobat dengan meminum
air kencing unta. Hadits ini membolehkan berobat dengan najis, sebab air
kencing unta itu najis menurut kebanyakan ulama. Walau pun madzhab Hanbali mengatakan bahwa air
kencing unta tidak najis, karena daging unta halal dimakan.
Selain itu juga hadits dari Anas radhiyallahu 'anhu
yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW memberi keringanan (rukhsah)
kepada Zubair bin Al-‘Awwam dan Abdurrahman bin Auf untuk memakai kain sutera.
Padahal begitu banyak hadits yang mengharamkan laki-laki muslim mengenakan pakaian yang terbuat
dari sutera. Namun lantaran kedua shahabat itu menderita penyakit gatal-gatal, maka beliau pun memberikan
keringanan untuk memakainya.
Hadits ini shahih karena terdapat di dalam dua kitab
tershahih di dunia, yaitu As-Shahih Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim.
3. Masalah yang dialami oleh Nociera Cell salah satu
mitra master dealer Indo Pulsa Jemursari ialah :
Beberapa
kali melakukan transaksi penjualan dengan beragam nominal pulsa, Nociera Cell mengalami kerugian yang disebabkan karena tidak adanya
tanggungjawab Indo Pulsa terhadap tidak
masuknya pulsa yang dipesan oleh mitra ke dalam
nomor tujuan konsumen. Setelah melakukan berbagai pengecekan kesalahan dari
pihak Nociera Cell dan konsumen yang memungkinkan terjadinya kegagalan masuknya
pulsa ke konsumen dan tidak ada yang salah, Nociera Cell segera melakukan
komplain keesokan harinya yaitu 1x24 jam setelah transaksi dilakukan.
Indo Pulsa memberikan tanggapan kepada Nociera Cell, bahwasannya
dalam setiap transaksi penjualan apabila pihak Indo Pulsa telah
menerima Serial Number (SN) maka
transaksi penjualan dianggap sukses, dan berarti pulsa
yang dipesan sudah masuk, Indo Pulsa meminta Nociera Cell melakukan komplain langsung kepada provider yang bersangkutan karena pihak Indo Pulsa tidak mau memberikan tanggungjawab atau
kompensasi apapun terhadap kerugian yang diderita oleh Nociera Cell.
Segera setelah
mendengar tanggapan Indo Pulsa, mitra melakukan
komplain kepada provider pulsa yang
bersangkutan, dalam hal ini Indosat, ada beberapa
pertanyaan yang diberikan oleh CS Indosat yang tidak dapat dijawab
oleh Nociera Cell yang mana pertanyaan tersebut hanya bisa
dijawab oleh Indo Pulsa, sehingga dengan
demikian Nociera Cell gagal melakukan komplain terhadap provider Indosat. Nociera Cell kembali melakukan komplain terhadap master dealer dengan mendatangi langsung kantor
Indo Pulsa di Jemursari, mitra menjelaskan kejadian
di provider Indosat kepada Indo Pulsa, meski demikian pihak
Indo Pulsa tetap tidak mau memberikan
keterangan ataupun solusi dan tidak mau ikut bertanggungjawab atas
kasus yang terjadi.
Mendengar tanggapan dari Indo Pulsa ini mitra Nociera Cell merasa kecewa, karena
disamping ia tidak bisa menyelesaikan masalah ini ke pihak provider, Nociera Cell juga harus mengembalikan
kerugian yang diderita oleh konsumen yaitu dengan mengembalikan uang konsumen karena konsumen
menuntut ganti rugi. Tidak hanya cukup disitu, deposit mitra juga dipotong
karena Indo Pulsa menganggap transaksi penjualan yang dilakukan oleh Nociera Cell
telah berhasil.
Analisa masalah tersebut :
Dalam kasus master dealer pulsa sebagaimana yang telah
terurai di atas, pihak Indo Pulsa tidak memberikan
tanggungjawab kepada Nociera Cell atas tidak
terkirimnya pulsa yang dipesan kepada konsumen. Ini identik dengan perbuatan
melawan hukum yang menyalahi ketentuan pada Pasal 19 ayat (2) dan ayat
(3) UUPK. Sehingga sesuai dengan Pasal 23 UUPK Nociera Cell selaku konsumen
bisa menggugat pelaku usaha (Indo Pulsa) ke pengadilan, dan
apabila Indo Pulsa dinyatakan bersalah maka sesuai Pasal 60 UUPK Indo Pulsa selaku pelaku usaha dapat dikenakan
sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi.
Dalam jual beli menurut hukum Islam, karena pihak Indo Pulsa tidak bisa menyerahkan barang yang dipesan oleh mitra dengan
spesifikasi yang sudah diperjanjikan di awal pada waktu yang telah
ditentukan, maka tentu saja hal ini menjadikan akad jual beli pulsa khususnya
pada saat transaksi yang mengalami kegagalan masuknya pulsa ke konsumen
menjadi fasakh.
A. Riba
Riba yang
berasal dari bahasa Arab artinya tambahan (ziyadah, Arab/addition,
Inggris), yang berarti : tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman.
اَلرِّبَـافيِ الشَّرْعِ هُوَ فَصْلٌ خَـالٍ عَنْ
عِوَاضٍ شُرِطَ ِلاَحَدِالْـعَاقِدِيْنَ
Kelebihan/tambahan
pembayaran tanpa ada ganti/imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua
orang yang membuat akad / transaksi.
Ada yang
membedakan antara riba dan rente/bunga seperti bahwa riba adalah
untuk pinjaman yang bersifat konsumtif, sedangkan rente/riba untuk
pinjaman yang bersifat produktif.
Adapun dampak
akibat praktek riba itu antara lain ialah :
1. Menyebabkan eksploitasi (pemerasan) oleh si kaya
terhadap si miskin
2. Uang modal besar yang dikuasai oleh the haves tidak
disalurkan ke dalam usaha-usaha yang produktif, misalnya pertanian, perkebunan,
industri, dan sebagainya yang dapat menciptakan lapangan kerja banyak, yang
sangat bermanfaat bagi masyarakat dan juga bagi pemilik modal sendiri, tetapi
modal besar itu justru disalurkan dalam perkreditan berbunga yang belum
produktif.
3. Bisa menyebabkan kebangkrutan usaha dan pada
gilirannya bisa mengakibatkan keretakan rumah tangga, jika si peminjam itu
tidak mampu mengembalikan pinjaman dan bunganya.
Karena
melihat bahaya besar atau dampak negatif dari praktek riba itulah, maka Nabi
Muhammad membuat perjanjian dengan kelompok Yahudi, bahwa mereka tidak
dibenarkan menjalankan praktek riba dan Islam pun dengan tegas nelarang riba.
Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang membicarakan riba secara
eksplisit. Pada periode Mekah sebelum hijrah, Allah berfirman dalam surat
ar-Rum ayat 39, yang menerangkan bahwa bagi Allah orang itu sebenarnya tidak
melipatgandakan hartanya dengan jalan riba, melainkan dengan jalan zakat yang dikeluarkan
karena Allah semata-mata.
Di dalam
hadits-hadits Nabi, yang menegaskan bahwa riba itu termasuk tujuh dosa besar,
yakni syirik, sihir, membunuh anak yatim, melarikan diri waktu pertempuran dan
menuduh zina wanita yang baik-baik.
لَعَـنَ الله ُ آكِلَ الرِّبَـا وَهُوَ كِلَّهُ
وَشَــاهِـدَيْهِ وَكَاتِبَـهُ (الحديث)
”Allah
mengutuk orang yang mengambil riba (orang yang memberi pinjaman), orang yang
memberikan riba (orang yang utang), dua orang saksinya, dan orang yang
mencatatnya.”
B.
Macam-Macam Riba
Ibnu
al-Qayyim, sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman Isa menerangkan bahwa riba ada
dua macam, yaitu :
a) Riba yang jelas, yang diharamkan karena adanya
keadaan sendiri, yaitu riba nasiah (riba yang terjadi karena adanya penundaan
pembayaran hutang). Riba nasiah ini hanya di perbolehkan dalam keadaan darurat.
b) Riba yang samar, yang diharamkan karena sebab lain,
yaitu riba yang terjadi karena adanya tambahan pada jual beli benda/bahan yang
sejenis.
اَلْحَــاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَـةَ الضَّرُوْرَةُ
تُبِيْحُ الْمَحْطُوْرَاتِ.
Hajat
(keperluan yang mendesak/penting) itu menempati di tempat terpaksa, sedangkan
keadaan darurat itu menyebabkan boleh melakukan hal-hal yang dilarang.
Menurut para ulama, riba ada empat macam
a) Riba Fadli, yaitu riba dengan sebab tukar menukar
benda, barang sejenis (sama) dengan tidak sama ukuran jumlahnya. Misalnya satu
ekor kambing ditukar dengan satu ekor kambing yang berbeda besarnya satu gram
emas ditukar dengan seperempat gram emas dengan kadar yang sama. Sabda Rasul
SAW
عَنْ آبِى سَعِيْدٍ ن الْجُدْرِيِّ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تَبِيْعُوْاالذَّهَبِ اِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَلاَ تُشِفُّوْا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلاَتَبِعُواالْوَرِقَ بِالْوَرِقِ اِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَلاَ تُشِقُوْابَعْضَهَاعَلَى بَعْضٍ وَلاَتَبِعُوْامِنْهَاغَائِبًابِنَاجِزٍ Artinya:
“ Dari Abi Said Al Khudry, sesungguhnya Rasulullah SAW. Telah bersabda, “Janganlah kamu jual emas dengan emas kecuali dalam timbangan yang sama dan janganlah kamu tambah sebagian atas sebagiannya dan janganlah kamu jual uang kertas dengan uang kertas kecuali dalam nilai yang sama, dan jangan kamu tambah sebagian atas sebagiannya, dan janganlah kamu jual barang yang nyata (riil) dengan yang abstrak (ghaib).” (riwayat Bukhari dan muslim)
عَنْ آبِى سَعِيْدٍ ن الْجُدْرِيِّ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تَبِيْعُوْاالذَّهَبِ اِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَلاَ تُشِفُّوْا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلاَتَبِعُواالْوَرِقَ بِالْوَرِقِ اِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَلاَ تُشِقُوْابَعْضَهَاعَلَى بَعْضٍ وَلاَتَبِعُوْامِنْهَاغَائِبًابِنَاجِزٍ Artinya:
“ Dari Abi Said Al Khudry, sesungguhnya Rasulullah SAW. Telah bersabda, “Janganlah kamu jual emas dengan emas kecuali dalam timbangan yang sama dan janganlah kamu tambah sebagian atas sebagiannya dan janganlah kamu jual uang kertas dengan uang kertas kecuali dalam nilai yang sama, dan jangan kamu tambah sebagian atas sebagiannya, dan janganlah kamu jual barang yang nyata (riil) dengan yang abstrak (ghaib).” (riwayat Bukhari dan muslim)
Riba Fadli
atau riba tersembunyi ini dilarang karena dapat membawa kepada riba nasi’ah
(riba jail) artinya riba yang nyata
b) Riba Qardhi, yaitu riba yang terjadi karena adanya
proses utang piutang atau pinjam meminjam dengan syarat keuntungan (bunga) dari
orang yang meminjam atau yang berhutang. Misalnya, seseorang meminjam uang
sebesar sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta) kemudian diharuskan membayarnya Rp.
1.300.000,- (satu juta Tiga ratus ribu rupiah)
Terhadap
bentuk transsaksi seperti ini dapat dikategorikan menjadi riba, seperti sabda
Rasulullah Saw
“Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.” (Riwayat
Baihaqi)
c) Riba Nasi’ah, ialah tambahan yang disyaratkan oleh
orang yang mengutangi dari orang yang berutang sebagai imbalan atas penangguhan
(penundaan) pembayaran utangnya. Misalnya si A meminjam uang Rp. 1.000.000,-
kepada si B dengan perjanjian waktu mengembalikannya satu bulan, setelah jatuh
tempo si A belum dapat mengembalikan utangnya. Untuk itu, si A menyanggupi
memberi tambahan pembayaran jika si B mau menunda jangka waktunya. Contoh lain,
si B menawarkan kepada si A untuk membayar utangnya sekarang atau minta ditunda
dengan memberikan tambahan. Mengenai hal ini Rasulullah SAW. Menegaskan
bahwa:
Artinya:
”Dari Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. Telah melarang jual beli hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.”(Riwayat Imam Lima dan dishahihkan oleh Turmudzi dan Ibnu Jarud)
Artinya:
”Dari Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. Telah melarang jual beli hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.”(Riwayat Imam Lima dan dishahihkan oleh Turmudzi dan Ibnu Jarud)
d) Riba Yad, yaitu riba dengan berpisah dari tempat
akad jual beli sebelum serah terima antara penjual dan pembeli. Misalnya,
seseorang membeli satu kuintal beras. Setelah dibayar, sipenjual langsung pergi
sedangkan berasnya dalam karung belum ditimbang apakah cukup atau tidak. Jual
beli ini belum jelas yang sebenarnya. Sabda Rasulullah SAW.
Artinya:
“Emas dengan
emas, perak dengan perak, beras dengan beras, gandum dengan gandum, kurma
dengan kurma, garam dengan garam, hendaknya serupa dan sama banyaknya, tunai
dengan tunai, apabila berlainan jenisnya boleh kamu menjual sekehendamu asal
tunai”. (Riwayat Muslim)
Bunga Bank
Menurut The American Heritage DICTIONARY of the English Language :
Interest is "A charge for a financial loan, usually a precentage of the
amount loaned". (lihat H. Karnaen A. Perwataatmadja, S.E., MPA). Bunga adalah
sejumlah uang yang dibayar atau untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut
misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal yang bersangkut
paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal.
Kata riba berhubungan dengan pengambilan bunga yang
berlebihan yang dilakukan pemberi pinjaman uang terhadap peminjam . Penjelasan
ini sama dengan penjelasan kata “usury” dalam bahasa Inggris untuk kata
riba.Sementara itu bunga diterjemahkan sebagai interest
Di
Eropa, riba dilarang oleh gereja atau hukum Canon. Akan tetapi, pada akhir
abad-13, pengaruh gereja ortodoks mulai melemah dan orang mulai kompromi dengan
riba. Selanjutnya pelarangan riba di Eropa dihilangkan. Di Inggris,
pelarangan itu dicabut pada 1545, saat pemerintahan Raja Henry VIII. Pada zaman
itulah, istilah usury (riba) diganti dengan istilah interest (bunga).
Lama-kelamaan tercipta citra bahwa riba tidak sama dengan bunga. Riba dilarang,
bunga tidak.
Ulama
Islam berpandangan bahwa bunga uang merupakan bagian dari teori riba.Ibnu Qayyim
membedakan antara riba terang-terangan (al-jali) dan riba
terselubung (al-khafi). Definisi fiqih yang menjelaskan riba
karena perpanjangan waktu (an-nasi'ah) dan riba dalam pertukaran barang
sejenis (al-fadl). Bunga bank termasuk dalam riba nasi'ah ini.
Jadi, teori pembungaan uang hanya merupakan bagian dari teori riba yang jauh
lebih komprehensif. Dan pembungaan uang oleh bank lebih parah dari praktik
riba nasi'ah pada zaman Jahiliah dimana riba nasi'ah di
zaman Jahiliyah baru dikenakan pada saat peminjam tidak mampu melunasi utangnya
dan meminta perpanjangan waktu. Bila si peminjam mampu melunasi pada saat
jatuh temponya, tidak dikenakan riba, padahal bank konvensional telah
mengenakan bunga sehari setelah uang dipinjamkan.
Sabda
Rasulullah SAW,”Jika seseorang memberikan pinjaman kepada sesorang lainnya,
dia tidak boleh menerima hadiah” (HR. Bukhari). Dalam
hadits yang lain Rasulullah bersabda,”Ketika sesorang memberikan pinjaman
kepada orang lain dan peminjam memberikannya makanan atau tumpangan hewan, dia
tidak boleh menerimanya kecuali keduanya terbiasa saling memberikan
pertolongan” (HR. Baihaqi). Jawaban Rasulullah ini
menyamakan riba dengan apa yang lazim dipahami sebagai bunga (bunga bank).
Allah SWT
berfirman,
”Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan
rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (al-Baqarah:
278-279).
Riba
menyuburkan sifat rakus dan kesemena-menaan. Juga memudahkan
berkembangnya sifat materialisme manusia yang tidak memikirkan hal lain kecuali
memperbanyak dan menimbun harta tanpa mempedulikan kebutuhan masyarakat dan
lingkungannya.
Beban bunga akan
membuat orang membutuhkan banyak keuntungan yang demikian banyak dari
sesamanya.
Menurut fatwa
MUI tentang bunga adalah sebagai berikut:
- Bunga (Interest/fa’idah) adalah tambahan yang
dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang di per-hitungkan
dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok
tersebut,berdasarkan tempo waktu,diperhitungkan secara pasti di muka,dan
pada umumnya berdasarkan persentase.
- Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan
yang terjadi karena penagguhan dalam pembayaran yang di perjanjikan
sebelumnya, dan inilah yang disebut Riba Nasi’ah.
Hukum Bunga
(interest) menurut fatwa MUI adalah:
- Praktek pembungaan uang saat ini telah
memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba
Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu
bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya.
- Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah
haram,baik di lakukan oleh Bank, Asuransi,Pasar Modal, Pegadian, Koperasi,
Dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
Mayoritas
ulama mengatakan bahwa bunga bank adalah riba dan hukumnya haram. Dan sebagian
yang lain mengatakan bahwa bunga bank adalah bukan riba, maka hukumnyapun tidak
haram.
Mayoritas
ulama berargumentasi bahwa bunga bank tidak berbeda dengan riba hanya dalam
bentuk dan tekhnis operasionalnya saja (dalil-dalilnya sama dengan apa yang
diungkapkan oleh MUI).
Adapun sebagian ulama yang mengatakan bahwa bunga bank bukan merupakan
riba berargumentasi dengan dalil-dalil secara globalnya sebagai berikut:
a) bahwa bunga bank sifatnya fluktuatif dan ditentukan
berdasarkan keuntungan yang diperoleh secara standar dari neraca ekonomi sebuah
negara. Jadi bunga bank adalah sama dengan keuntungan dari sebuah perusahaan
yang membagikan keuntungan yang diperolehnya.Pendapat tersebut jelas sekali
tidak sesuai dengan realitanya, karena bunga bank ditentukan bukan berdasarkan
keuntungan standar yang dihasilkan oleh ekonomi negara tapi ditentukan oleh
banyak faktor, salah satunya adalah tingkat inflasi, cadangan devisa negara,
strategi ekonomi, pertumbuhan ekonomi suatu negara dan lainnya.
b) bahwa bank adalah sebuah lembaga investasi yang
mana mereka menginvestasikan dana nasabahnya dalam bentuk-bentuk investasi yang
menguntungkan. Jadi fungsi bank dalam hal ini adalah sebagai mudharib
(pengelola dana untuk di investasikan) dan bukan sebagai broker atau mediator
yang meminjamkan lagi dana nasabahnya kepada pihak ketiga dengan sistem bunga.
Bila fungsi bank sebagai mudharib/ patner of share maka hal
itu dibolehkan dalam fiqh Islam.
c) Melihat realita, fungsi bank lebih dominan kepada
mediator untuk meminjam kembali uang nasabahnya kepada pihak ketiga dengan rate
bunganya lebih tinggi dibandingkan yang diberikan kepada nasabahnya.
Adapun ulama
lain mengatakan bahwa bunga bank adalah haram tapi karena madharat maka hal itu
dibolehkan. Pendapat ini untuk 20 tahun yang lalu mungkin bisa diterima tapi
untuk kondisi sekarang, dimana bank-bank syariah sudah menjamur dimana-mana
bahkan bank-konvensionalpun sudah mulai membuka cabang syariahnya (dual
system).
Dari uraian
singkat di atas. Jelaslah bahwa bunga bank dalam berbagai bentuknya baik
rekening biasa, rekening berjangka, rekening deposito dan instrument-instrument
lainnya yang menggunakan bunga adalah haram.
D.
Pengharaman Bunga Bank
Tentang
pengharaman bunga bank (karena bunga bank sama denga riba) melalui berbagai
fatwa yang dikemukan sebagai berikut :
a) Muktamar II Lembaga Riset Islam Al Azhar, yang
dilaksanakan di Kairo (bulan mei 1965) dan dihadiri utusan dari 35 negara Islam
telah menyepakati beberapa hal diantaranya : Bunga (interest) dari semua
pinjaman, hukumnya riba dan diharamkan
b) Rabithah Al-Alam Al-Islami (Keputusan No.6 Sidang
ke 9 ) di Mekkah, 12-19 Rajab 1406 H,menyatakan : bunga bank yang berlaku pada
perbankan konvensional adalah riba yang diharamkan
c) Majma Fiqh Islami Organisasi KonferensiIslam/OKI
(keputusan No.10, OKI ke dua 22-28 Desember 1985 yang menyatakan : Setiap
tambahan (interest) atas hutang yang telah jatuh tempo dan orang yang berutang
tidak mampu membayarnya dan sebagai imbalan atas penundaaanya itu, demikian
pula tambahan (interest) atas pinjaman yang ditetapkan di awal perjanjian, maka
kedua bentuk itu adalah riba yang diharamkan dalam syariat
d) Bahtsul Masail, dalam Munas di Bandar Lampung tahun
1992, merekomendasikan agar Nadhatul Ulama (PBNU) mendirikan bank Islam NU
dengan sistem tanpa bunga. Sebenarnya dikalangan NU masih terdapat tiga
pendapat tentang bunga bank, ada yang menyatakan bunga bank sama dengan riba,
ada yang menyatakan tidak sama dan ada yang menyatakan subhat (meragukan)
e) Lajnah Tarjih (Muhammadiyah) tahun 1968 di Sidoarjo
menyarankan kepada Pengurus Pusat (PP Muhammadiyah) untuk mengusahakan
terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khususnya lembaga perbankan yang
sesuai dengan kaidah Islam
f) Majelis Ulama Indonesia dalam lokakarya Alim Ulama
di Cisarua Tahun 1991 bertekad bahwa MUI harus segera mendirikan bank
Alternatif
g) Fatwa Majelis Ulama Indonesia Pada Akhir Tahun 2003
yang menyatakan bahwa bunga bank haram
h) Fatma Lajnah Tarjih Muhammadiyah yang menyatakan
bunga bank termasuk kategori riba sehingga bunga bank menjadi haram hukumnya
E. Bunga
Dalam Perspektif Non-Muslim
Bunga / riba
bukan hanya persoalan umat Islam, tetapi berbagai umat yang lainnya juga
memandang serius praktek bunga/riba tersebut. Berikut bagaimana pandangan
non-muslim dalam memandang bunga/riba, diantaranya :
1. Konsep bunga menurut kalangan Yahudi
Orang-orang Yahudi dilarang mempraktekkan pengambilan bunga. Pelarangan
ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament
(Perjanjian Lama) maupun undang-undang Talmud.
Kitab
Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7 menyatakan :
"Janganlah
engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut
akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau
memberi uang-mu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau
berikan dengan meminta bunga."
2. Konsep bunga menurut kalangan Yunani dan Romawi
Pada masa Yunani sekitar abad V SM – IV M telah terdapat undang-undang
yang membenarkan memngambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan
tingkat maksimal yang dibenarkan hukum (maximum legal rate). Nilai suku bunga
selalu berubah-rubah sesuai dengan waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan
bunga tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga berbunga (double
countable).
Pada masa
pemerintahan Genucia (342 SM) kegitan pengambilan bunga tidak diperbolehkan,
tapi pada masa Unciaria (88 SM) prektek tersebut dibolehkan lagi seperti
semula. Namun demikian praktek pengambilan bunga dicerca oleh ahli filsafat
Yunani, diantaranya : Plato (427-347 SM), ia mengecam sistem bunga berdasarkan
dua alasan, yaitu : bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam
masyarakat dan bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi
golongan miskin.
Aristoteles (384-322 SM) menyatakan uang adalah sebagai alat tukar
(medium exchange). Uang bukan alat untuk mengahasilkan lewat bunga. Ia juga
menyebutkan bunga sebagai uang yang berasal dari uang yang keberadaannya dari
sesuatu yang belum tentu pasti terjadi. Jadi pengambilan bunga merupakan
sesuatu yang tidak adil.
Ahli filsafat Romawi, Cato (234-149 SM), ia memberikan dua ilustrasi untuk melukiskan perbedaan antara perniagaan dan memberi pinjaman ; pertama, perniagaan adalah suatu pekerjaan yang mempunyai resiko sedangkan memberi pinjaman dengan bunga adalah sesuatu yang tidak pantas. Kedua, dalam tradisi mereka terdapat perbandingan antara seorang pencuri dengan seorang pemakan bunga. Pencuri akan didenda dua kali lipat sedangkan pemakan bunga akan didenda empat kali lipat. Sedangkan Cicero (106-43 SM) memberi nasehat kepada anaknya agar menjauhi dua pekerjaan; memungut cukai dan memberi pinjaman dengan bunga. Ringkasnya ahli filsafat Yunani dan Romawi menganggap bunga sesuatu yang hina dan keji.
Ahli filsafat Romawi, Cato (234-149 SM), ia memberikan dua ilustrasi untuk melukiskan perbedaan antara perniagaan dan memberi pinjaman ; pertama, perniagaan adalah suatu pekerjaan yang mempunyai resiko sedangkan memberi pinjaman dengan bunga adalah sesuatu yang tidak pantas. Kedua, dalam tradisi mereka terdapat perbandingan antara seorang pencuri dengan seorang pemakan bunga. Pencuri akan didenda dua kali lipat sedangkan pemakan bunga akan didenda empat kali lipat. Sedangkan Cicero (106-43 SM) memberi nasehat kepada anaknya agar menjauhi dua pekerjaan; memungut cukai dan memberi pinjaman dengan bunga. Ringkasnya ahli filsafat Yunani dan Romawi menganggap bunga sesuatu yang hina dan keji.
3. Konsep bunga menurut kalangan Kristen
Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas,
namun sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas
6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut
menyatakan :
“Dan jikalau
kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima
sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada
orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah
musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak
mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak
Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu
berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.”'
Ketidak tegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan
dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang
Kristen mempraktekkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka
agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan
para pendeta awal Kristen (abad I hingga XII) yang mengharamkan bunga,
pandangan para sarjana Kristen (abad XII - XVI) yang berkeinginan agar bunga
diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI - tahun 1836) yang
menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga.
Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abad I - XII) pada masa ini,
umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah pengambilan bunga
kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh orang Kristen. St. Basil
(329 - 379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak
berperi-kemanusiaan. Baginya, mengambil bunga adalah mengambil keuntungan dari
orang yang memerlukan. Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air
mata dan kesusahan orang miskin.
St. Gregory dari Nyssa (335 - 395) mengutuk praktek bunga karena
menurutnya pertolongan melalui pinjaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti
membantu tetapi pada saat menagih dan meminta imbalan bunga bertindak sangat
kejam.
St. John Chrysostom (344 - 407) berpendapat bahwa larangan yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi juga berlaku bagi penganut Perjanjian Baru. St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir).
St. John Chrysostom (344 - 407) berpendapat bahwa larangan yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi juga berlaku bagi penganut Perjanjian Baru. St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir).
St. Augustine berpendapat pemberlakuan bunga pada orang miskin
lebih kejam dibandingkan dengan perampok yang merampok orang kaya. Karena
dua-duanya sama-sama merampok, satu terhadap orang kaya dan lainnya terhadap
orang miskin.
Kesimpulan hasil bahasan para sarjana Kristen periode tersebut
sehubungan dengan bunga adalah sebagai berikut : pertama, niat atau perbuatan
untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan pinjaman adalah suatu dosa yang
bertentangan dengan konsep keadilan. Kedua, mengambil bunga dari pinjaman
diperbolehkan, namun haram atau tidaknya tergantung dari niat si pemberi
hutang.
F. Kesimpulan
Riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat
pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang
dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan).
Dalam pengertian lain, secara linguistik riba
juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba
berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modalsecara
bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum
terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan,
baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau
bertentangan dengan prinsip muamalat dalam
Islam.
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi
dua.Yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli.Riba hutang-piutang terbagi
lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan riba jual-beli terbagi
atas riba fadhl dan riba nasi’ah.
- Riba Qardh
- Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu
yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
- Riba Jahiliyyah
- Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si
peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
- Riba Fadhl
- Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar
atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu
termasuk dalam jenis barang ribawi.
- Riba Nasi’ah
- Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis
barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba
dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan
antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Bunga
(Interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang
(al-qardh) yang di per-hitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan
pemanfaatan/hasil pokok tersebut,berdasarkan tempo waktu,diperhitungkan secara
pasti di muka,dan pada umumnya berdasarkan persentase.
Adapun bunga
dapat di identikaan dengan riba, karena prinsip bunga adalah menambah/
melebihkan dari yang seharusnya, dalam konsep bunga bank, yang menjadi acuannya
presentase dari bunga tersebu tadi dapat di identifikasi, bunga yang terdapat
pada bank konfensional labih condong kea rah riba, karena yang menjadi acuan
mereka adalah uang bukan apa yang dapat di usahakan dari uang yang beredar
tersebut,
Menurut Fatwa
MUI adalah Praktek Penggunaan bunga tersebut hukumnya adalah haram,baik di
lakukan oleh Bank, Asuransi,Pasar Modal, Pegadian, Koperasi, Dan Lembaga
Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
A. Hukum Riba
Hukum Islam meliputi semua aspek kehidupan kaum muslim, seperangkat
kewajiban dan praktik ibadah, shalat, tata krama dan moral, perkawinan,
pewarisan, pidana, dan transaksi komersial. Dengan kata lain, hukum Islam
meliputi banyak aspek yang dalam tradisi lain tak akan dianggap sebagai hukum.
Oleh karena itulah, sebagai hukum yang suci, hukum Islam mengandung inti
keimanan Islam itu sendiri.[1] Ibnul Qoyyim -rahimahullah- berkata: “Islam
adalah mentauhidkan Allah, beribadah kepada Nya saja, dan tidak ada sekutu bagi
Nya, iman kepada Allah dan Rasul Nya, dan mengikuti apa yang beliau bawa. Jika
seorang hamba tidak melaksanakan hal ini, maka ia bukan Muslim. Bila ia bukan
kafir mu’anid (kafir pembangkang) maka dia kafir jahil (kafir karena bodoh).
Status minimal thabaqah (tingkatan) ini adalah mereka itu orang-orang kafir
jahil yang tidak mu’anid, dan ketidak ‘inad (pembangkangan) mereka tidak
mengeluarkan mereka dari status sebagai orang-orang kafir.”[2]
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaithan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Allah telah
menghalalkan perniagaan (jual-beli) dan mengharamkan riba. Orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datangnya larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal
di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang senantiasa berbuat kekafiran/ingkar, dan selalu
berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih,
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Rabbnya.
Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya
akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu
pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”(Q.S.
Al-Baqarah: 275-279)[3]
Prof.Dr.Yusuf Al-Qaradhawi dalam pengertian riba mengatakan bahwa
sesungguhnya pegangan ahli-ahli fiqh[4] dalam membuat batasan pengertian riba
dalah nash (teks) Al-Qur’an itu sendiri. Ayat di atas menunjukkan bahwa sesuatu
yang lebih dari modal dasar adalah riba, sedikit atau banyak. Jadi, setiap
kelebihan dari modal asli yang ditentukan sebelumnya karena semata-mata imbalan
bagi berlalunya waktu adalah riba. Batasan riba yang diharamkan oleh Al-Qur’an
itu sebenarnya tidak memerlukan penjelasan yang rumit. Karena tidak mungkin
Allah mengharamkan sesuatu bagi manusia, apalagi mengancam pelakunya dengan
siksa yang paling pedih, sementara bagi mereka sendiri tidak jelas apa yang
dilarang itu. Padahal Allah telah berfirman,
“Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (Q.S.
Al-Baqarah: 275).[5]
Prinsip perbankan Islam adalah menjauhkan riba dan menerapkan
sistem bagi hasil dan jual beli. Ditinjau dari bahasa Arab, riba bermakna:
tambahan, tumbuh, dan menjadi tinggi.[6] Menurut ensiklopedi Islam Indonesia,
Ar-Riba makna asalnya ialah tambah, tumbuh, dan subur. Adapun pengertian tambah
dalam konteks riba ialah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara
yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun
berjumlah banyak, seperti yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an.[7] Sedangkan dalam
bahasa Inggris, riba sering diterjemahkan sebagai “usury” yang artinya dalam
The American Heritage Dictonary of the English Language, adalah:
a. the act of lending money at an exorbitant or illegal rate of
interest;
b. such of an excessive rate of interest;
c. archaic (tidak dipakai lagi, kuno, kolot, lama). The act or
practice of lending money at any rate of interest;
d. aw, obsolete (usang, tidak dipakai, kuno). Interest charged or
paid on such a loan.[8]
Dr. Perry Warijo berpendapat bahwa interest dan usury pada
hakikatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam
persentase. Istilah usury muncul karena belum mapannya pasar keuangan pada
zaman itu sehingga penguasa harus menertapkan suatu tingkat bunga yang dianggap
“wajar”. Namun setelah mapannya lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah itu
menjadi hilang karena hanya ada satu tingkat bunga di pasar sesuai dengan hukum
permintaan dan penawaran.[9]
Diantara dalil dari hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang
menunjukkan akan haramnya riba ialah hadits berikut:
Dari Shahabat Jabir Radhiyallahu Ta’ala Anhu’ ia berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah melaknati pemakan riba, orang
yang memberikan/membayar riba, penulisnya, dan juga dua orang saksinya.” Dan
beliau juga bersabda, “Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (H.R. Muslim).[10]
“Satu dirham dari hasil riba yang dimakan oleh seseorang dan ia
mengetahuinya niscaya dosanya lebih berat daripada dosa 36 (tiga puluh enam)
kali berbuat zina.” (H.R. Ahmad, dan sanadnya digolongkan shahih).[11]
“Riba itu mempunyai 73 pintu (dosa), di mana pintunya yang paling
ringan setara dengan (dosa) seseorang yang menikahi ibu kandungnya dan pintunya
yang paling berat setara dengan (dosa) menodai kehormatan seorang Muslim.”
(H.R. al-Hakim dan ia menshahihkannya).[12]
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga telah memerintahkan untuk
mengambil yang halal dan jelas, serta meninggalkan yang syubhat, apalagi yang
jelas keharamannya.
Dari Nu’man bin Basyir, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah
bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas. Antara keduanya
ada perkara-perkara syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Maka
barangsiapa yang menjaga diri dari perkara-perkara yang syubhat tersebut maka
berarti ia telah menjaga dien dan kehormatannya, dan barangsiapa yang
terjerumus dalam perkara yang syubhat berarti dia terjerumus kepada yang haram.
Seperti seorang penggembala yang menggembala di sekitar daerah larangan, lambat
laun akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya setiap raja itu
memiliki daerah larangan, sedangkan daerah larangan Allah itu adalah apa-apa
yang diharamkan Allah. Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal darah,
apabila dia baik, maka baiklah seluruh jasad dan apabila dia buruk maka
buruklah seluruh jasad. Dia adalah hati.” (H.R. Bukhari dan Muslim)[13]
Jadi dapat disimpulkan bahwa riba itu haram. Tidak ada perbedaan
pendapat di kalangan para ahli ilmu mengenai hal ini. Perbedaan pendapat muncul
saat para ahli ilmu menentukan apakah bunga bank komersial/bank konvensional
yang telah menjadi sistem perekonomian dunia adalah sama dengan riba.
A.1. Pendapat Yang Mengatakan Bunga Bank Bukan Riba[14]
Segelintir Ulama di negara-negara Timur Tengah dan beberapa orang
pakar ekonomi di negara sekuler, berpendapat bahwa riba tidaklah sama dengan
bunga bank. Seperti Mufti Mesir Dr. Sayid Thantawi, yang berfatwa tentang
bolehnya sertifikat obligasi yang dikeluarkan Bank Nasional Mesir yang secara
total masih menggunakan sistem bunga, dan ahli lain seperti Dr. Ibrahim
Abdullah an-Nashir. Doktor Ibrahim dalam buku Sikap Syariah Islam terhadap
Perbankan mengatakan, “Perkataan yang benar bahwa tidak mungkin ada kekuatan
Islam tanpa ditopang dengan kekuatan perekonomian, dan tidak ada kekuatan
perekonomian tanpa ditopang perbankan, sedangkan tidak ada perbankan tanpa riba.
Ia juga mengatakan, “Sistem ekonomi perbankan ini memiliki perbedaan yang jelas
dengan amal-amal ribawi yang dilarang Al-Qur’an yang Mulia. Karena bunga bank
adalah muamalah baru, yang hukumnya tidak tunduk terhadap nash-nash yang pasti
yang terdapat dalam Al-Qur’an tentang pengharaman riba.”
Di Indonesia, pendapat yang mengemuka adalah pendapat pakar
ekonomi yang juga mantan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia,
Syafruddin Prawiranegara. Dalam bukunya Benarkah Bunga Bank Riba (1993) yang
diterbitkan penerbit Ramadhan, Syafruddin berkata, “Jika bunga, walaupun dalam
bentuk yang masuk akal atau ringan, tidak dibolehkan bagi pedagang muslim, maka
larangan ini akan menempatkannya pada suatu posisi yang sangat kaku, janggal,
dan tidak menguntungkan apabila dihadapkan kepada lawannya dari Barat dan Timur
Tengah. Hal ini akan memaksa dia untuk mengikuti cara-cara yang dibuat-buat
dalam melakukan transaksi atau memberikan nama lainnya kepada bunga seperti
ongkos administrasi, hanya untuk menghindari kata riba.”
Pada halaman 43 Syafruddin berkata “…riba adalah semua bentuk
keuntungan yang berlebih-lebihan yang didapat lewat pekerjaan yang salah. Bunga
yang bersifat komersial dan normal diizinkan dalam Islam.” Selanjutnya pada
halaman 36, ia berkata, “Mengenai Al-Qur’an dan Sunnah, saya tidak mendapati
satu ayat pun dari Al-Qur’an atau hadits Nabi Muhammad yang dapat menyalahkan
tafsir saya tentang riba.”
Mohamad Hatta berpendapat, bunga bank untuk kepentingan produktif
bukanlah riba, tetapi untuk kepentingan konsumtif riba. Mr. Kasman Singodimedjo
berpendapat, sistem perbankan modern diperbolehkan karena tidak mengandung
unsur eksploitasi yang dzalim, oleh karenanya tidak perlu didirikan bank tanpa
bunga. A.Hasan Bangil, tokoh Persatuan Islam (PERSIS), secara tegas menyatakan
bunga bank itu halal karena tidak ada unsur lipat gandanya. Prof.Dr.Nurcholish
Madjid berpendapat bahwa riba di mengandung unsur eksploitasi satu pihak kepada
pihak lain, sementara dalam perbankan (konvensional) tidaklah seperti itu. Dr.Alwi
Shihab dalam wawancaranya dengan Metro TV sekitar tahun 2004 lalu, juga
berpendapat bunga bank bukanlah riba.
A.2. Pendapat Yang Mengatakan Bunga Bank Adalah Riba
Umer Chapra mengutip Ibnu Manzur dalam kitabnya Lisan al-Arab,
mengatakan bahwa pengertian riba secara harfiah berarti peningkatan,
pertambahan, perluasan, atau pertumbuhan. Tetapi tidak semua peningkatan atau
pertumbuhan terlarang dalam Islam. Keuntungan juga menyebabkan peningkatan atas
jumlah pokok, tetapi hal ini tidaklah dilarang.[15] Maka apa yang sebenarnya
diharamkan?
Pribadi yang sangat tepat untuk menjawab pertanyaan itu adalah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau melarang mengambil hadiah,
jasa, atau pertolongan sekecil apapun sebagai syarat atas suatu pinjaman. Dalam
hadits riwayat Imam Bukhari, Rasulullah bersabda, “Jika seseorang memberikan
pinjaman kepada seseorang lainnya, dia tidak boleh menerima hadiah.” Dalam
hadits riwayat Imam Baihaqi, Rasulullah bersabda, “Ketika seseorang memberikan
pinjaman kepada orang lain dan peminjam memberikannya makanan atau tumpangan
hewan, dia tidak boleh menerimanya kecuali keduanya terbiasa saling memberikan
pertolongan.” Jawaban Rasulullah ini menyamakan riba dengan apa yang lazim
dipahami sebagai bunga (bunga bank).[16]
Jumhur (mayoritas/kebanyakan) Ulama’ sepakat bahwa bunga bank
adalah riba, oleh karena itulah hukumnya haram. Pertemuan 150 Ulama’ terkemuka
dalam konferensi Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di
Kairo, Mesir menyepakati secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai
macam pinjaman semua merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk bunga
bank.[17] Berbagai forum ulama internasional yang juga mengeluarkan fatwa
pengharaman bunga bank, yaitu:
1. Majma’al Fiqh al-Islamy, Negara-negara OKI yang diselenggarakan
di Jeddah pada tanggal 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22 Desember 1985;
2. Majma’ Fiqh Rabithah al’Alam al-Islamy, Keputusan 6 Sidang IX
yang diselenggarakan di Makkah, 12-19 Rajab 1406 H;
3. Keputusan Dar It-Itfa, Kerajaan Saudi Arabia, 1979;
4. Keputusan Supreme Shariah Court, Pakistan, 22 Desember 1999;
5. Majma’ul Buhuts al-Islamyyah, di Al-Azhar, Mesir, 1965.
Walaupun Indonesia termasuk Negara dengan penduduk mayoritas
muslim yang terlambat mempromosikan gagasan perbankan Islam,[18] namun Majelis
Ulama Indonesia (”MUI”) melalui Keputusan Fatwa Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Bunga (Interest/Fa’idah) berpendapat:
1. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba
yang terjadi pada zaman Rasulullah, yaitu Riba Nasi’ah. Dengan demikian,
praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram
Hukumnya;
2. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram, baik di
lakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga
Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
Majelis Ulama Indonesia berpendapat demikian dengan berdasarkan
pada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta Kesepakatan para Ulama. Berikut
petikan Fatwa MUI tentang Bunga (Interest/Fa’idah):
“…MENGINGAT :
1. Firman Allah SWT, antara lain :
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal
di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shaleh, mendirikan
sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya
dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang-orang berhutang itu) dalam
kesukaran, berilah tangguh mereka sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Ali’Imran
[3]: 130).
2. Hadis-hadis Nabi s.a.w., antara lain :
Dari Abdullah r.a., ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang
yang memakan (mengambil) dan memberikan riba.” Rawi berkata: saya
bertanya:”(apakah Rasulullah melaknat juga) orang yang menuliskan dan dua orang
yang menajdi saksinya?” Ia (Abdullah) menjawab : “Kami hanya menceritakan apa
yang kami dengar.” (HR.Muslim).
Dari Jabir r.a.,ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang
yang memakan (mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang yang
menyaksikan.” Ia berkata: “mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim).
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Akan
datang kepada umat manusia suatu masa di mana mereka (terbiasa) memakan riba.
Barang siapa tidak memakan (mengambilnya)-nya,ia akan terkena
debunya.”(HR.al-Nasa’i).
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Riba
adalah tujuh puluh dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama dengan) dosa
orang yang berzina dengan ibunya.” (HR. Ibn Majah).
Dari Abdullah, dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: “Riba mempunyai
tujuh puluh tiga pintu (cara, macam).” (HR. Ibn Majah).
Dari Abdullah bin Mas’ud: “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang
memakan (mengambil) riba, memberikan, dua orang yang menyaksikannya.” (HR. Ibn
Majah).
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Sungguh
akan datang kepada umat manusia suatu masa di mana tak ada seorang pun di
antara mereka kecuali (terbiasa) memakan riba. Barang siapa tidak memakan
(mengambil)-nya,ia akan terkena debunya.”(HR. Ibn Majah).
3. Ijma’ Ulama tentang keharaman riba dan bahwa riba adalah salah
satu dosa besar (kaba’ir) (lihat antara lain: al-Nawawi, al-Majmu’Syarch
al-Muhadzdzab, [t.t.: Dar al-Fikr, juz 9, th 391].
MEMPERHATIKAN :
1. Pendapat para Ulama ahli fiqh bahwa bunga yang dikenakan dalam
transaksi pinjaman (utang piutang, al-qardh wa al-iqtiradh) telah memenuhi
kriteria riba yang diharamkan Allah SWT, seperti dikemukakan, antara lain, oleh
:
Al-Nawawi berkata, al-Mawardi berkata: Sahabat-sahabat kami (ulama
mazhab Syafi’i) berbeda pendapat tentang pengharaman riba yang ditegaskan oleh
al-Qur’an, atas dua pandangan. Pertama, pengharaman tersebut bersifat mujmal
(global) yang dijelaskan oleh sunnah. Setiap hukum tentang riba yang
dikemukakan oleh sunnah adalah merupakan penjelasan (bayan) terhadap kemujmalan
al-Qur’an, baik riba naqad maupun riba nasi’ah.
Kedua, bahwa pengharaman riba dalam al-Qur’an sesungguhnya hanya mencakup riba nasa’ yang dikenal oleh masyarakat Jahiliah dan permintaan tambahan atas harta (piutang) disebabkan penambahan masa (pelunasan). Salah seorang di antara mereka apabila jatuh tempo pembayaran piutangnya dan pihak berhutang tidak membayarnya, ia menambahkan piutangnya dan menambahkan pula masa pembayarannya. Hal seperti itu dilakukan lagi pada saat jatuh tempo berikutnya. Itulah maksud firman Allah :
Kedua, bahwa pengharaman riba dalam al-Qur’an sesungguhnya hanya mencakup riba nasa’ yang dikenal oleh masyarakat Jahiliah dan permintaan tambahan atas harta (piutang) disebabkan penambahan masa (pelunasan). Salah seorang di antara mereka apabila jatuh tempo pembayaran piutangnya dan pihak berhutang tidak membayarnya, ia menambahkan piutangnya dan menambahkan pula masa pembayarannya. Hal seperti itu dilakukan lagi pada saat jatuh tempo berikutnya. Itulah maksud firman Allah :
“…janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda… “, kemudian
Sunnah menambahkan riba dalam pertukaran mata uang (naqad) terhadap bentuk riba
yang terdapat dalam al-Qur’an.
1. Ibn al-‘Araby dalam Ahkam al-Qur’an;
2. Al-Aini dalam ‘Umdah al-Qary;
3. Al-Sarakhsyi dalam Al-Mabsuth;
4. Ar-Raghib al-Isfani dalam Al-Mufradat Fi Gharib al-Qur’an;
5. Muhammad Ali al-Shabuni dalam Rawa-I’ al-Bayan;
6. Muhammad Abu Zahrah dalam Buhuts fi al-Riba;
7. Yusuf al-Qardhawy dalam fawa’id al-Bunuk;
8. Wahbah al-Zuhaily dalam Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh.
2. Al-Aini dalam ‘Umdah al-Qary;
3. Al-Sarakhsyi dalam Al-Mabsuth;
4. Ar-Raghib al-Isfani dalam Al-Mufradat Fi Gharib al-Qur’an;
5. Muhammad Ali al-Shabuni dalam Rawa-I’ al-Bayan;
6. Muhammad Abu Zahrah dalam Buhuts fi al-Riba;
7. Yusuf al-Qardhawy dalam fawa’id al-Bunuk;
8. Wahbah al-Zuhaily dalam Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh.
2. Bunga uang atas pinjaman (Qardh) yang berlaku di atas lebih
buruk dari riba yang diharamkan Allah SWT dalam Al-Quran, karena dalam riba
tambahan hanya dikenakan pada saat jatuh tempo. Sedangkan dalam sistem bunga
tambahan sudah langsung dikenakan sejak terjadi transaksi.
3. Ketetapan akan keharaman Bunga Bank oleh berbagai forum Ulama
Internasional, antara lain:
1. Majma’ul Buhuts al-Islamy di Al-Azhar Mesir pada Mei 1965;
2. Majma’ al-Fiqh al-Islamy Negara-negara OKI Yang di selenggarakan di Jeddah tgl 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22 28 Desember 1985;
3. Majma’ Fiqh Rabithah al-Alam al-Islamy, keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di makkah tanggal 12-19 Rajab 1406 H;
4. Keputusan Dar Al-Itfa, Kerajaan Saudi Arabia, 1979;
5. Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan 22 Desember 1999.
1. Majma’ul Buhuts al-Islamy di Al-Azhar Mesir pada Mei 1965;
2. Majma’ al-Fiqh al-Islamy Negara-negara OKI Yang di selenggarakan di Jeddah tgl 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22 28 Desember 1985;
3. Majma’ Fiqh Rabithah al-Alam al-Islamy, keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di makkah tanggal 12-19 Rajab 1406 H;
4. Keputusan Dar Al-Itfa, Kerajaan Saudi Arabia, 1979;
5. Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan 22 Desember 1999.
4. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga bank tidak sesuai dengan syari’ah.
5. Keputusan Sidang Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di
Sidoarjo yang menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya
konsepsi sistem perekonomian khususnya Lembaga Perbankan yang sesuai dengan
kaidah Islam.
6. Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar
Lampung yang mengamanatkan berdirinya Bank Islam dengan sistem tanpa Bunga.
7. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa
Bunga (interest/fa’idah), tanggal 22 Syawal 1424/16 Desember 2003.
8. Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 11 Dzulqa’idah
1424/03 Januari 2004, 28 Dzulqa’idah 1424/17 Januari 2004, dan 05 Dzulhijah
1424/24 Januari 2004.
Dengan memohon ridha Allah SWT
MEMUTUSKAN : FATWA TENTANG BUNGA (INTEREST/FA`IDAH):
Pertama : Pengertian Bunga (Interest) dan Riba
Pertama : Pengertian Bunga (Interest) dan Riba
1. Bunga (Interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam
transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman
tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo
waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan
persentase.
2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi
karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya, dan inilah
yang disebut Riba Nasi’ah.
Kedua : Hukum Bunga (interest)
3. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba
yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi’ah. Dengan demikian,
praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram
Hukumnya.
4. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram, baik di
lakukan oleh Bank, Asuransi,Pasar Modal, Pegadian, Koperasi, dan Lembaga
Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
Ketiga : Bermu’amallah dengan lembaga keuangan konvensional
5. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan
syari’ah dan mudah di jangkau, tidak diperbolehkan melakukan transaksi yang
didasarkan kepada perhitungan bunga.
6. Untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan
syari’ah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan
konvensional berdasarkan prinsip dharurat/hajat…”[19]
Pendapat Lembaga atau Ahli lainnya adalah sebagai berikut:[20]
1. Majelis Tarjih Muhammadiyah
Majelis Tarjih Sidoarjo tahun 1968 pada nomor b dan c, mengatakan
bahwa bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal
-bank yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau
sebaliknya yang selama ini berlaku atau sebaliknya yang selama ini berlaku,
termasuk perkara musytabihat (syubhat).
2. Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
Ada dua pendapat dalam bahtsul masail di Lampung tahun 1982.
Pendapat yang pertama mengatakan bahwa bunga Bank adalah riba secara mutlak dan
hukumnya haram. Yang kedua berpendapat bunga bank bukan riba sehingga hukumnya
boleh. Pendapat yang ketiga, menyatakan bahwa bunga bank hukumnya syubhat.
3. Mufti Negara Mesir
Keputusan Kantor Mufti Mesir konsisten sejak tahun 1900 hingga
1989 menetapkan haramnya bunga bank dan mengkategorikannya sebagai riba yang
diharamkan.
4. Konsul Kajian Islam
Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam lembaga ini telah
memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank sebagai riba. Ditetapkan bahwa
tidak ada keraguan atas keharaman praktek pembungaan uang seperti yang
dilakukan bank-bank konvensional. Di antara 300 ulama yang tergabung dalam
Konsul Kajian Islam ini tercatat nama seperti Syeikh Al-Azhar, Prof. Abu Zahra,
Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa’, Prof. Dr. Yusuf
Al-Qardlawi. Konferensi ini juga dihadiri oleh para bankir dan ekonom dari
Amerika, Eropa dan dunia Islam.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz mengatakan, “Aku dapati di
dalam upaya untuk menghalalkan riba yang diharamkan Allah dengan metode-metode
yang kacau, hujjah-hujjah yang lemah, dan syubhat-syubhat yang terbantah.
Sesungguhnya perekonomian muslimin telah kukuh berabad-abad yang telah lewat,
lebih dari tiga belas abad tanpa memakai sistem perbankan dan tanpa menggunakan
manfaat-manfaat ribawi. Sungguh kekayaan mereka berkembang baik, dan muamalah
mereka kukuh. Mereka telah meraih keberuntungan yang banyak, harta melimpah
melalui saran muamalah-muamalah yang syar’i. Allah telah menolong generasi
pertama atas musuh-musuh mereka sehingga mereka menguasai sebagian besar
wilayah dunia. Ketika itu mereka menjadikan syariat Allah sebagai hokum, dan
tidak ada sistem perbankan di masa mereka dan mereka tidak memakai
manfaat-manfaat ribawi.”
Prof.Dr.Yusuf Qaradhawi berkata bahwa perkataan sebagian orang dan
Ulama yang melakukan justifikasi atas kehalalan sistem bunga bank konvensional
dengan berdalih bahwa riba yang diharamkan Allah dan Rasul Nya, adalah jenis
yang dikenal sebagai bunga konsumtif saja, tidak dapat dibenarkan. Sebenarnya
tidak ada perbedaan di kalangan ahli syariah pun sepanjang tiga belas abad yang
silam. Ini jelas merupakan pembatasan terhadap nash-nash yang umum berdasarkan
selera dan asumsi belaka.[21]
Tarek El-Diwany dalam bukunya The Problem With Interest menyamakan
bahaya sistem bunga dengan entropi dalam fisika. Entropi adalah sebuah kata
yang digunakan untuk menggambarkan tingkat ketidakteraturan dalam suatu sistem
fisika. Bahkan beberapa pakar ekonomi mengatakan bahwa riba (bunga bank)
merupakan penyakit AIDS dalam kehidupan dunia ekonomi yang bisa merontokkan
kekebalan dan mengancamnya dengan kemusnahan serta keruntuhan.[22]
Syaikh Abul A’la al-Maududi mengatakan bahwa memakan bunga bank
dapat menyebabkan rakus, tamak, kikir, dan egois bagi orang yang mengambilnya.
Dapat mengakibatkan kebencian, kemarahan, permusuhan dan kecemburuan bagi orang
yang membayarkannya. Orang yang memakan riba seperti orang gila, ia kehilangan
perasaan dan intelektualitasnya. Dan dengan cara yang sama, seorang yang suka
meminjamkan uangnya selalu berpikir untuk memperbanyak uangnya sehingga ia
sendiri telah kehilangan perasaannya. Sehingga ia jauh dari memikirkan
kesulitan orang lain. Demikianlah keadaannya di dunia, dan kelak di kemudian
hari ia akan bangkit seperti orang gila pada hari kebangkitan. Karenanya, di
akhirat nanti ia akan hidup kembali dalam kondisi yang sama di waktu ia
mati.[23]
Dr.Muhammad Syafi’i Antonio, M.Ec, mengatakan bahwa larangan riba
(bunga) yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, namun secara
gradual (bertahap). Tahap pertama menolak anggapan bahwa pinjaman riba
nampaknya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan
mendekati atau taqarrub kepada Allah. Tahap kedua riba digambarkan sebagai
suatu yang buruk. Allah mengancam member balasan yang keras kepada orang Yahudi
yang memakan riba. Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu
tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan
bunga dengan tingkat yang tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan
saat itu. Tahap terakhir, Allah dengan tegas dan jelas mengharamkan apa pun
jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Karena itulah dalam amanat
terakhirnya pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah, Rasulullah menekankan
sikap tegas Islam dalam melarang riba (bunga):
“Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan Dia pasti akan
menghitung amalmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba, karena itu utang
akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu
tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.”[24]
B. Berpegang Kepada Pendapat Jumhur Ulama
Allah berfirman, yang artinya:
“…Tanyalah kepada ahli ilmu –orang yg punya pengetahuan– jika
memang kamu tidak mengetahuinya” (Q.S. An-Nahl: 43)[25]
Dalam ayat ini Allah Ta’ala memerintahkan kepada ummat untuk
bertanya kepada ahlinya jika kita tidak mengetahui suatu permasalahan. Maka
orang yang sakit mendatangi dokter dan bertanya tentang obat penyakitnya, orang
yang ingin membangun rumah mendatangi arsitek dan pemborong untuk mendapatkan
rumah yang ia idamkan, demikian halnya dalam masalah agama, ummat bertanya
kepada para Ulama.
Dengan konsensus mutlak para Ulama tersebut, maka sebenarnya
sungguh sempit ruang untuk beragumentasi bahwa bunga bank tidak diharamkan
dalam Islam. Karena itulah, beberapa pendapat minoritas yang menyatakan
pandangan berbeda tidak melemahkan sedikitpun konsensus tersebut. Nabi telah
bersabda bahwa tidak mungkin umat Islam bersepakat di atas kesesatan:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah melindungi umatku untuk
bersepakat di atas kesesatan”. (H.R.Ibnu Abi Ashim dari Anas bin Malik dan
dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’)[26]
Syaikh Muhammad Ibn Sholih al-Utsaimin berkata bahwa Nabi telah
bersabda:
“Umatku tidak akan bersepakat di atas kesesatan”[27]
Jelaslah solusinya, posisi kita sebagai ummat adalah mengikuti
pendapat jumhur atau kesepakatan kebanyakan Ulama, apalagi ternyata pendapat
itu adalah pendapat yang kuat dengan dalil dan argumentasi yang kokoh bersumber
dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang mulia.
C. Hikmah Diharamkannya Riba
Syaikh Muhammad Jabir Al-Jaza’iri menjelaskan diantara hikmah
diharamkannya riba oleh Allah dan Rasul Nya adalah sebagai berikut:[28]
1. Menjaga harta seorang muslim supaya tidak dimakan dengan
cara-cara yang bathil;
2. Mengarahkan seorang muslim supaya menginvestasikan hartanya di
dalam sejumlah usaha yang bersih dan jauh dari kecurangan dan penipuan, serta
terhindar dari segala tindakan yang menimbulkan kesengsaraan dan kebencian di
antara kaum muslimin. Hal tersebut dilakukan dengan menginvestasikannya dalam
bidang pertanian, industry, dan perdagangan yang sehat dan bersih;
3. Menyumbat seluruh jalan yang membawa seorang muslim kepada
tindakan memusuhi dan menyusahkan saudaranya sesama muslim yang berakibat pada
lahirnya celaan serta kebencian dari saudaranya;
4. Menjauhkan seorang muslim dari perbuatan yang dapat membawanya
kepada kebinasaan. Karena memakan harta riba itu merupakan keduharkaan dan
kezhaliman, sedangkah akibat dari kedurhakaan dan kezhaliman itu ialah
penderitaan. Allah berfirman, yang artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kezhaliman kalian akan
menimpa diri kalian sendiri.” (Q.S. Yunus: 23).
Dalam salah satu hadits, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda:
“Takutlah kamu akan kezhaliman, karena kezhaliman itu merupakan
kegelapan pada hari kiamat dan takutlah kamu akan kikir, karena kikir itu telah
membawa umat-umat sebelum kamu kepada pertumpahan darah mereka dan menghalalkan
sesuatu yang telah diharamkan kepada mereka.” (H.R. Muslim).
5. Membukakan pintu-pintu kebaikan di hadapan seorang muslim untuk
mempersiapkan bekal kelak di akhiratnya dengan meminjami saudaranya sesama
muslim tanpa mengambil manfaat (keuntungan), menghutanginya, menangguhkan
hutangnya hingga mampu membayarnya, memberinya kemudahan serta menyayanginya
dengan tujuan semata-mata mencari keridhaan Allah. Sehingga mengakibatkan
tersebarnya kasih sayang dan ruh persaudaraan yang tulus di antara kaum
muslimin.
———————————————————
Catatan kaki:
———————————————————
Catatan kaki:
[1]Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algoud, Perbankan Syariah
Prinsip, Praktik, dan Prospek (Islamic Banking), diterjemahkan oleh Burhan
Subrata, cet. ke-1, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007), hal. 27-28.
[2]Abu Bakar Ba’asyir dan Abu Muhammad Jibriel AR, Tarbiyah Aqidah
& Syari’ah, cet. pertama, (Jakarta: Majelis Ilmu Ar-Royyan, 2008), hal.
12-13.
[3]Al-Qur’an, Op.Cit., hal. 47.
[4]Fiqh menurut Ibnu Subki adalah: “Pengetahuan tentang hukum
syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan, yang digali dari satu per satu
dalilnya. Abdullah bin ‘Umar al-Baidawi ahli Ushul Fiqh dari kalangan mazhab
Syafi’i mendefinisikan fiqh sebagai: “Pengetahuan tentang dalil-dalil secara global,
cara mengistimbathkan (menarik) hukum dari dalil-dalil itu, dan tentang hal
ihwal pelaku istinbath.” Satria Effendi mengatakan bahwa yang dimaksud
“dalil-dalil” adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Satria Effendi, Ushul Fiqh, diedit
oleh Aminuddin Ya’qub, Nurul Irvan, dan Azharuddin Latif, cet. ke-2, (Jakarta:
Penerbit Kencana, 2008), hal. 2-13.
No comments:
Post a Comment