Tuesday, February 26, 2013

HUKUM PERDATA


A.    LATAR BELAKANG
Hakim dalam memeriksa setiap perkara harus sampai kepada putusannya, walaupun kebenaran peristiwa yang dicari itu belum tentu ditemukan. Benar tidaknya sesuatu peristiwa yang disengketakan sangat bergantung kepada hasilpembuktian yang dilakukan para pihak di persidangan. Oleh karena itu kebenaran yang dicari di dalam hukum acara perdata sifatnya relatif.
Pembuktian dalam arti yuridis tidak dimaksudkan untuk mencari kebenaran yang mutlak. Hal ini disebabkan karena alat-alat bukti, baik berupa pengakuan, kesaksian, atau surat-surat, yang diajukan para pihak yang bersengketa kemungkinan tidak benar, palsu atau dipalsukan. Padahal hakim dalam memeriksa setiap perkara yang diajukan kepadanya harus memberikan keputusan yang dapat diterima kedua belah pihak.
Berkaitan dengan masalah pembuktian ini, Sudikno Mertokusumo,
mengemukakan antara lain:
"...Pada hakikatnya membuktikan dalam arti yuridis berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan oleh para pihak di persidangan....”
Memberikan dasar yang cukup kepada hakim berarti memberikan landasan yang benar bagi kesimpulan yang kelak akan diambil oleh hakim setelah keseluruhan proses pemeriksaan selesai. Maka putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim diharapkan akan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya telah terjadi.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian dari pembuktian ?
2.      Apa teori dalam pembuktian?
3.      Apa saja macam macam alat bukti?
BAB II

PEMBAHASAN

  1. PEMBUKTIAN
Pembuktian ini adalah memberikan keterangan kepada hakim akan kebenaran peristiwa yang menjadi dasar guagatan/ bantahan dengan alat-alat bukti yang tersedia. Perlu diperhatikan lagi bahwasanya Hukum pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang amat penting. Secara formal, hukum pembuktian mengatur cara bagaimana mengadakan pembuktian seperti terdapat di dalam HIR/ Rbg.
Hukum pembuktian secara yuridis, mengajukan fakta-fakta menurut hukum yang cukup untuk memberikan kepastian kepada hakim tentang suatu peristiwa atau hubungan hukum. ( Abdulkadir Muhammad, 1990 : 129). Dasar pembuktian ini adalah Pasal 163 HIR/ 283 Rbg yang berbunyi, “ Barang siapa menyatakan mempunyai sesuatu hak atau mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain haruslah membuktikan adanya hak itu atau adanya perbuatan itu”. Dari bunyi Pasal tersebut diketahui bahwa pihak yang menyatakan bahwa ia mempunyai suatu hak, melakukan suatu perbuatan atau menerangkan adanya suatu peristiwa, ia harus membuktikan adanya hak itu, apabila disangka oleh pihak lawan. Dengan kata lain beban pembuktian dalam perkara perdata ada pada kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat.
”Membuktikan” menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru besar FH-UGM mengandung beberapa pengertian:[1]
a) Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah. Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
b) Membuktikan dalam arti konvensionil.Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan:
- kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime)
- kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee)
c) Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis
Didalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan. Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak.
Ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan. Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian ”historis” yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar.
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
  1. TEORI PEMBUKTIAN
Dalam pembuktian kita mengenal beberapa teori antara lain ( Krisna Harahap, 2003 : 69 – 70 )
1. Teori hukum subyektif ( teori hak ) Dalam teori ini menetapkan bahwa barang siapa yang mengaku atau mengemukakan suatu hak maka yang bersangkutan harus membuktikannya[2].
 2. Teori hukum Obyektif Teori ini mngajarkan bahwa seorang hakim harus melaksanakan peraturan hukum ayas fakta-fakta untuk menemukan kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya.
3. Teori hukum acara dan teori kelayakan
Kedua teori ini bermuara pada hasil yang sama, yakni hakim semestinya berdasarkan kepatutan membagi beban pembuktian.Hukum pembuktian secara formil mengatur bagaimana mengadakan pembuktian seperti yang terdapat dalam HIR/ Rbg, sedangkan dalam arti materiil mengatur dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat ukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktian dari bukti itu. Di sini, hal yang perlu dinuktikan hanyalah hal yang dibantah oleh pihak lawan saja. Hal-hal yang tidak perlu dibuktikan antara lain sebagai berikut[3] :
1. Notoire feiten, yakni fakta/keadaan yang diperkirakan sudah diketahui oleh umum.
2. Pengakuan , yaitu bila tergugat mengakui apa yang digugat oleh penggugat
3. Processueele, yaitu fakta-fakta yang ditemukan hakim di muka sidang.
  1. ALAT BUKTI
Dalam proses pembuktian di pengadilan tentu diperlukan alat bukti yang mendukung para pihak. Alat bukti tersebut diajukan guna menyakinkan hakim. Dalam Pasal 164 HIR disebutkan ada 5 macam alat bukti yaitu :
1.      Surat atau bukti tertulis, diatur dalam Pasal 165 – 169[4].
Menurut undang-undang, surat-surat dapat dibagi dalam surat-surat akta dan surat-surat lain. Surat akta ialah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akta harus selalu ditandatangani.
Surat-surat akta dapat dibagi lagi atas akta resmi (authentiek) dan surat-surat akta di bawah tangan (onderhands).
Suatu akta resmi (authentiek) ialah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akta tesebut. Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim, jurusita pada suatu pengadilan, Pegawai Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgelijke Stand), dsb.
Menurut undang-undang suatu akta resmi (authentiek) mempunyai suatu kekuatan pembuktian sempurna (volledig bewijs), artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akta resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan didalam akta itu, sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.
Suatu akta di bawah tangan (onderhands) ialah tiap akta yang tidak dibuat oleh atau dengan perantara seorang pejabat umum. Misalnya, surat perjanjian jual-beli atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal tandatangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akta dibawah tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akta resmi.
Akan tetapi jika tanda tangan itu disangkal, maka pihak yang mengajukan surat perjanjian tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran penandatanganan atau isi akta tersebut. Ini adalah suatu hal yang sebaliknya dari apa yang berlaku terhadap suatu akta resmi. Barang siapa menyangkal tanda tangannya pada suatu akta resmi, diwajibkan membuktikan bahwa tanda tangan itu palsu, dengan kata lain, pejabat umum (notaris) yang membuat akta tersebut telah melakukan pemalsuan surat.
Berbagai tulisan-tulisan lain, artinya tulisan yang bukan akta seperti surat, faktur, catatan yang dibuat oleh suatu pihak, dsb. Yang kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai kebenarannya.
2.      Bukti dengan Saksi, diatur dalam Pasal 169 – 172[5]
Sesudah pembuktian dengan tulisan, pembuktian dengan kesaksian merupakan cara pembuktian yang terpenting dalam perkara yang sedang diperiksa didepan hakim. Suatu kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi itu hanya mendengar saja tentang adanya peristiwa dari orang lain.
Selanjutnya tidak boleh pula keterangan saksi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya dari peristiwa yang dilihat atau dialaminya, karena hakimlah yang berhak menarik kesimpulan-kesimpulan itu. Kesaksian bukanlah suatu alat pembuktian yang sempurna dan mengikat hakim, tetapi terserah pada hakim untuk menerimanya atau tidak. Artinya, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai keterangan seorang saksi.
Seorang saksi yang sangat rapat hubungan kekeluargaan dengan pihak yang berperkara, dapat ditolak oleh pihak lawan, sedangkan saksi itu sendiri dapat meminta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian. Selanjutnya, undang-undang menetapkan bahwa keterangan satu saksi tidak cukup. Artinya, hakim tidak boleh mendasarkan putusan tentang kalah menangnya suatu pihak atas keterangannya satu saksi saja. Jadi kesaksian itu selalu harus ditambah dengan suatu alat pembuktian lain.
3.      Persangkaan, diatur dalam Pasal 173
Persangkan ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. Dari peristiwa yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang dibuktikan juga telah terjadi. Dalam pembuktian, ada dua macam persangkaan, ada persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang sendiri (watterlijk vermoeden) dan persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden).[6]
Persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang (watterlijk vermoeden), pada hakekatnya merupakan suatu pembebasan dari kewajiban membuktikan suatu hal untuk keuntungan salah satu pihak yang berperkara. Misalnya, adanya tiga kwitansi pembayaran sewa rumah yang berturut-turut. Menurut UU menimbulkan suatu persangkaan, bahwa uang sewa untuk waktu yang sebelumnya juga telah dibayar olehnya.
Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden), terdapat pada pemeriksaan suatu perkara dimana tidak terdapat saksi-saksi yang dengan mata kepalanya sendiri telah melihat peristiwa itu. Misalnya, dalam suatu perkara dimana seorang suami mendakwa istrinya berbuat zina dengan lelaki lain. Hal ini tentunya sangat sukar memperoleh saksi-saksi yang melihat dengan mata kepalanya sendiri perbuatan zina itu. Akan tetapi, jika ada saksi-saksi yang melihat si istri itu menginap dalan satu kamar dengan seorang lelaki sedangkan didalam kamar tersebut hanya ada satu buah tempat tidur saja, maka dari keterangan saksi-saksi itu hakim dapat menetapkan suatu persangkaan bahwa kedua orang itu sudah melakukan perbuatan zina. Dan memang dalam perbuatan zina itu lazimnya hanya dapat dibuktikan dengan persangkaan.
4.      Pengakuan, diatur dalam Pasal 174 – 176
Sebenarnya pengakuan bukan suatu alat pembuktian, karena jika suatu pihak mengakui sesuatu hal, maka pihak lawan dibebaskan untuk membuktikan hak tersebut, sehingga tidak dapat dikatakan pihak lawan ini telah membuktikan hal tersebut. Sebab pemeriksaan didepan hakim belum sampai pada tingkat pembuktian.
Menurut undang-undang, suatu pengakuan di depan hakim, merupakan suatu pembuktian yang sempurna tentang kebenaran hal atau peristiwa yang diakui. Ini berarti, hakim terpaksa untuk menerima dan menganggap, suatu peristiwa yang telah diakui memang benar-benar telah terjadi, meskipun sebetulnya ia sendiri tidak percaya bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh telah terjadi. Adakalanya, seorang tergugat dalam suatu perkara perdata mengakui suatu peristiwa yang diajukan oleh penggugat, tetapi sebagai pembelaan mengajukan suatu peristiwa lain yang menghapuskan dasar tuntutan. Misalnya, ia mengakui adanya perjanjian jual beli, tetapi mengajukan bahwa ia sudah membayar harganya barang yang telah ia terima dari penggugat. Menurut UU suatu pengakuan yang demikian, oleh hakim tidak boleh dipecah-pecah hingga merugian kedudukkan pihak tergugat didalam proses yang telah berlangsung itu.
Dengan kata lain, suatu pengakuan yang disertai suatu peristiwa pembebasan oleh UU tidak dianggap sebagai suatu pengakuan (onplitsbare bekentenis). Jadi dalam praktek, si penjual barang masih harus membuktikan adanya perjanjian jual beli dan terjadinya penyerahan barang yang telah dibelinya itu pada si pembeli. Perlu diterangkan, bahwa dalam suatu hal UU melarang dipakai pengakuan sebagai alat pembuktian dalam suatu proses, yaitu dalam suatu perkara yang diajukan oleh seorang istri terhadap suaminya untuk mendapatkan pemisahan kekayaan.
5.      Sumpah, diatur dalam Pasal 177
Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang ”menentukan” (decissoire eed) dan ”tambahan” (supletoir eed)[7]. Sumpah yang ”menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia akan dikalahkan.
Pihak yang diperintahkan mengangkat sumpah, mempunyai hak untuk ”mengembalikan” perintah itu, artinya meminta kepada pihak lawannya sendiri mengangkat sumpah itu. Tentu saja perumusan sumpah yang dikembalikan itu sebaliknya dari perumusan semula. Misalnya, jika rumusan yang semula berbunyi : ”Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya telah menyerahkan barang” perumusan sumpah yang dikembalikan akan berbunyi ”Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya tidak menerima barang”. Jika sumpah dikembalikan, maka pihak yang semula memerintahkan pengangkatan sumpah itu, akan dimenangkan oleh hakim apabila ia mengangkat sumpah itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan apabila dia menolak pengangkatan sumpah itu.
Jika suatu pihak yang berperkara hendak memerintahkan pengangkatan suatu sumpah yang menentukan, hakim harus mempertimbangkan dahulu apakah ia dapat mengizinkan perintah mengangkat sumpah itu. Untuk itu hakim memeriksa apakah hal yang disebutkan dalam perumusan sumpah itu sungguh-sungguh mengenai suatu perbuatan yang telah dilakukan sendiri oleh pihak yang mengangkat sumpah atau suatu peristiwa yang telah dilihat sendiri oleh pihak itu. Selanjutnya harus dipertimbangkan apakah sungguh-sungguh dengan terbuktinya hal yang disumpahkan itu nanti perselisihan antara kedua pihak yang berperkara itu dapat diakhiri, sehingga dapat dikatakan bahwa sumpah itu sungguh-sungguh ”menentukan” jalannya perkara.
Suatu sumpah tambahan, adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu ”permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan permulaan pembuktian.
Pihak yang mendapat perintah untuk mengangkat suatu sumpah tambahan, hanya dapat mengangkat atau menolak sumpah itu. Tetapi ia tak dapat ”mengembalikan” sumpah tersebut kepada pihak lawan. Sebenarnya, terhadap sumpah tambahan ini pun dapat dikatakan, bahwa ia menentukan juga jalannya perkara, sehingga perbedaan sebenarnya dengan suatu sumpah decissoir ialah, bahwa yang belakangan diperintahkan oleh suatu pihak yang beperkara kepada pihak lawannya, sedangkan sumpah tambahan diperintahkan oleh hakim karena jabatannya, jadi atas kehendak hakim itu sendiri.
Menurut Prof. Wiryono Prodjodikoro, alat-alat bukti yang terdapat dalam Pasal 164 HIR, tidak semuanya merupakan alat bukti, sebagai contoh misalnya persangkaan dan sumpah. Persangkaan hanya merupakan kesimpulan yang ditarik oleh undang-undang atau Hakim dari hal-hal yang sudah jelas terhadap hal-hal yang belum jelas. Di sisi lain, sumpah hanya merupakan perjanjian/ pernyataan yang dikehendaki oleh para pihak, sehingga kebenaran dari sumpah tersebut tidak terjamin. Maka dari itu Prof. Wiryono Prodjodikoro berpendapat bahwa alat-alat bukti dalam Pasal 164 HIR itu harus ditambah :
·         Pengetahuan Hakim
·         Keterangan Ahli
Selain itu, di luar Pasal 164 HIR masih mengenal alat bukti lain yakni pemeriksaan di tempat atau descente, yaitu pemeriksaan mengenai perkara oleh karena jabatannya yang dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan Pengadilan agar hakim dapat melihat sendiri dan memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi sengketa. Seiring dengan perkembangan teknologi dewasa ini harusnya diikuti pula dengan perkembangan hukum pembuktian. Kini bentuk dokumen bukan saja berbentuk kertas, melainkan dapat berbentuk film, foto, email, dan sebagainya.









BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

A.                      Pembuktian ini adalah memberikan keterangan kepada hakim akan kebenaran peristiwa yang menjadi dasar guagatan/ bantahan dengan alat-alat bukti yang tersedia. Perlu diperhatikan lagi bahwasanya Hukum pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang amat penting. Secara formal, hukum pembuktian mengatur cara bagaimana mengadakan pembuktian seperti terdapat di dalam HIR/ Rbg.

B.                      Dalam pembuktian kita mengenal beberapa teori antara lain ( Krisna Harahap, 2003 : 69 – 70 )
1. Teori hukum subyektif ( teori hak ) Dalam teori ini menetapkan bahwa barang siapa yang mengaku atau mengemukakan suatu hak maka yang bersangkutan harus membuktikannya.
 2. Teori hukum Obyektif Teori ini mngajarkan bahwa seorang hakim harus melaksanakan peraturan hukum ayas fakta-fakta untuk menemukan kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya.
3. Teori hukum acara dan teori kelayakan
Kedua teori ini bermuara pada hasil yang sama, yakni hakim semestinya berdasarkan kepatutan membagi beban pembuktian.Hukum pembuktian secara formil mengatur bagaimana mengadakan pembuktian seperti yang terdapat dalam HIR/ Rbg, sedangkan dalam arti materiil mengatur dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat ukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktian dari bukti itu. Di sini, hal yang perlu dinuktikan hanyalah hal yang dibantah oleh pihak lawan saja. Hal-hal yang tidak perlu dibuktikan antara lain sebagai berikut:
1. Notoire feiten, yakni fakta/keadaan yang diperkirakan sudah diketahui oleh umum.
2. Pengakuan , yaitu bila tergugat mengakui apa yang digugat oleh penggugat
3. Processueele, yaitu fakta-fakta yang ditemukan hakim di muka sidang.

C.     Dalam Pasal 164 HIR disebutkan ada 5 macam alat bukti yaitu :
6.      Surat atau bukti tertulis, diatur dalam Pasal 165 – 169.
Menurut undang-undang, surat-surat dapat dibagi dalam surat-surat akta dan surat-surat lain. Surat akta ialah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akta harus selalu ditandatangani.
Surat-surat akta dapat dibagi lagi atas akta resmi (authentiek) dan surat-surat akta di bawah tangan (onderhands).
Suatu akta resmi (authentiek) ialah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akta tesebut. Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim, jurusita pada suatu pengadilan, Pegawai Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgelijke Stand), dsb.
Menurut undang-undang suatu akta resmi (authentiek) mempunyai suatu kekuatan pembuktian sempurna (volledig bewijs), artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akta resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan didalam akta itu, sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.
Suatu akta di bawah tangan (onderhands) ialah tiap akta yang tidak dibuat oleh atau dengan perantara seorang pejabat umum. Misalnya, surat perjanjian jual-beli atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal tandatangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akta dibawah tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akta resmi.
7.      Bukti dengan Saksi, diatur dalam Pasal 169 – 172
Sesudah pembuktian dengan tulisan, pembuktian dengan kesaksian merupakan cara pembuktian yang terpenting dalam perkara yang sedang diperiksa didepan hakim. Suatu kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi itu hanya mendengar saja tentang adanya peristiwa dari orang lain.
8.      Persangkaan, diatur dalam Pasal 173
Persangkan ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. Dari peristiwa yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang dibuktikan juga telah terjadi. Dalam pembuktian, ada dua macam persangkaan, ada persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang sendiri (watterlijk vermoeden) dan persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden).
9.      Pengakuan, diatur dalam Pasal 174 – 176
Sebenarnya pengakuan bukan suatu alat pembuktian, karena jika suatu pihak mengakui sesuatu hal, maka pihak lawan dibebaskan untuk membuktikan hak tersebut, sehingga tidak dapat dikatakan pihak lawan ini telah membuktikan hal tersebut. Sebab pemeriksaan didepan hakim belum sampai pada tingkat pembuktian.
10.  Sumpah, diatur dalam Pasal 177
Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang ”menentukan” (decissoire eed) dan ”tambahan” (supletoir eed). Sumpah yang ”menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia akan dikalahkan.
·         Menurut Prof. Wiryono Prodjodikoro, alat-alat bukti yang terdapat dalam Pasal 164 HIR, tidak semuanya merupakan alat bukti, sebagai contoh misalnya persangkaan dan sumpah. Persangkaan hanya merupakan kesimpulan yang ditarik oleh undang-undang atau Hakim dari hal-hal yang sudah jelas terhadap hal-hal yang belum jelas. Di sisi lain, sumpah hanya merupakan perjanjian/ pernyataan yang dikehendaki oleh para pihak, sehingga kebenaran dari sumpah tersebut tidak terjamin. Maka dari itu Prof. Wiryono Prodjodikoro berpendapat bahwa alat-alat bukti dalam Pasal 164 HIR itu harus ditambah :
·         Pengetahuan Hakim
·         Keterangan Ahli
Selain itu, di luar Pasal 164 HIR masih mengenal alat bukti lain yakni pemeriksaan di tempat atau descente, yaitu pemeriksaan mengenai perkara oleh karena jabatannya yang dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan Pengadilan agar hakim dapat melihat sendiri dan memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi sengketa. Seiring dengan perkembangan teknologi dewasa ini harusnya diikuti pula dengan perkembangan hukum pembuktian. Kini bentuk dokumen bukan saja berbentuk kertas, melainkan dapat berbentuk film, foto, email, dan sebagainya.



















DAFTAR PUSTAKA

Subekti . Pokok pokok Hukum Perdata. Jakarta. PT Intermasa . 2005.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta. Liberty. 2006.
Subekti . Kitab Undang undang Hukum Acara. Jakarta. PT Pradya Paramita. 2005.
Retnowulan . Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek. Bandung. CV Mandar Maju. 2005.
Abdul Kadair Muhammad. Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung. Citra Aditya Bakti. 1990.
Harahap Krisna. Hukum Acara Perdata. Bandung. Grafiti. 2003.







[1] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia , Hal. 134-136.
[2] R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet. XXV, Hal. 475
[3] Retnowulan, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Hal. 60.
[4] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, hal 178-180
[5] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, hal 141.
[6] Krisna Harahap . Hukum Acara Perdata . hal 89.
[7] Abdulkadir Muhammad , Hukum Acara Perdata Indonesia. Hal 91.

No comments:

Post a Comment