A.
LATAR BELAKANG
Hakim dalam
memeriksa setiap perkara harus sampai kepada putusannya, walaupun kebenaran
peristiwa yang dicari itu belum tentu ditemukan. Benar tidaknya sesuatu
peristiwa yang disengketakan sangat bergantung kepada hasilpembuktian yang
dilakukan para pihak di persidangan. Oleh karena itu kebenaran yang dicari di
dalam hukum acara perdata sifatnya relatif.
Pembuktian
dalam arti yuridis tidak dimaksudkan untuk mencari kebenaran yang mutlak. Hal
ini disebabkan karena alat-alat bukti, baik berupa pengakuan, kesaksian, atau
surat-surat, yang diajukan para pihak yang bersengketa kemungkinan tidak benar,
palsu atau dipalsukan. Padahal hakim dalam memeriksa setiap perkara yang
diajukan kepadanya harus memberikan keputusan yang dapat diterima kedua belah
pihak.
Berkaitan dengan masalah pembuktian
ini, Sudikno Mertokusumo,
mengemukakan antara lain:
"...Pada
hakikatnya membuktikan dalam arti yuridis berarti memberi dasar-dasar yang
cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi
kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan oleh para pihak di
persidangan....”
Memberikan
dasar yang cukup kepada hakim berarti memberikan landasan yang benar bagi
kesimpulan yang kelak akan diambil oleh hakim setelah keseluruhan proses
pemeriksaan selesai. Maka putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim diharapkan
akan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya telah terjadi.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian dari pembuktian ?
2.
Apa teori dalam pembuktian?
3.
Apa saja macam macam alat bukti?
BAB
II
PEMBAHASAN
- PEMBUKTIAN
Pembuktian
ini adalah memberikan keterangan kepada hakim akan kebenaran peristiwa yang
menjadi dasar guagatan/ bantahan dengan alat-alat bukti yang tersedia. Perlu
diperhatikan lagi bahwasanya Hukum pembuktian dalam hukum acara perdata
menduduki tempat yang amat penting. Secara formal, hukum pembuktian mengatur
cara bagaimana mengadakan pembuktian seperti terdapat di dalam HIR/ Rbg.
Hukum
pembuktian secara yuridis, mengajukan fakta-fakta menurut hukum yang cukup
untuk memberikan kepastian kepada hakim tentang suatu peristiwa atau hubungan
hukum. ( Abdulkadir Muhammad, 1990 : 129). Dasar pembuktian ini adalah Pasal
163 HIR/ 283 Rbg yang berbunyi, “ Barang siapa menyatakan mempunyai sesuatu hak
atau mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk
membantah hak orang lain haruslah membuktikan adanya hak itu atau adanya
perbuatan itu”. Dari bunyi Pasal tersebut diketahui bahwa pihak yang menyatakan
bahwa ia mempunyai suatu hak, melakukan suatu perbuatan atau menerangkan adanya
suatu peristiwa, ia harus membuktikan adanya hak itu, apabila disangka oleh
pihak lawan. Dengan kata lain beban pembuktian dalam perkara perdata ada pada
kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat.
”Membuktikan”
menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru besar FH-UGM mengandung
beberapa pengertian:[1]
a)
Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah. Membuktikan berarti memberikan
kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan
adanya bukti lawan.
b)
Membuktikan dalam arti konvensionil.Membuktikan berarti memberikan kepastian
yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan:
-
kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction
intime)
-
kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee)
c)
Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis
Didalam
ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang
berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan. Akan
tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam
arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang
memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak
menuju kepada kebenaran mutlak.
Ada
kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau
palsu atau dipalsukan. Maka hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan. Pembuktian
secara yuridis tidak lain adalah pembuktian ”historis” yang mencoba menetapkan
apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun
yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara
logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar.
Membuktikan
dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada
hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian
tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
- TEORI PEMBUKTIAN
Dalam
pembuktian kita mengenal beberapa teori antara lain ( Krisna Harahap, 2003 : 69
– 70 )
1.
Teori hukum subyektif ( teori hak ) Dalam teori ini menetapkan bahwa barang
siapa yang mengaku atau mengemukakan suatu hak maka yang bersangkutan harus
membuktikannya[2].
2. Teori hukum Obyektif Teori ini mngajarkan
bahwa seorang hakim harus melaksanakan peraturan hukum ayas fakta-fakta untuk
menemukan kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya.
3.
Teori hukum acara dan teori kelayakan
Kedua
teori ini bermuara pada hasil yang sama, yakni hakim semestinya berdasarkan
kepatutan membagi beban pembuktian.Hukum pembuktian secara formil mengatur
bagaimana mengadakan pembuktian seperti yang terdapat dalam HIR/ Rbg, sedangkan
dalam arti materiil mengatur dapat tidaknya diterima pembuktian dengan
alat-alat ukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktian dari bukti
itu. Di sini, hal yang perlu dinuktikan hanyalah hal yang dibantah oleh pihak
lawan saja. Hal-hal yang tidak perlu dibuktikan antara lain sebagai berikut[3]
:
1.
Notoire feiten, yakni fakta/keadaan yang diperkirakan sudah diketahui oleh
umum.
2.
Pengakuan , yaitu bila tergugat mengakui apa yang digugat oleh penggugat
3.
Processueele, yaitu fakta-fakta yang ditemukan hakim di muka sidang.
- ALAT BUKTI
Dalam
proses pembuktian di pengadilan tentu diperlukan alat bukti yang mendukung para
pihak. Alat bukti tersebut diajukan guna menyakinkan hakim. Dalam Pasal 164 HIR
disebutkan ada 5 macam alat bukti yaitu :
1. Surat atau bukti tertulis, diatur dalam
Pasal 165 – 169[4].
Menurut
undang-undang, surat-surat dapat dibagi dalam surat-surat akta dan surat-surat
lain. Surat akta ialah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan
sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akta harus selalu ditandatangani.
Surat-surat
akta dapat dibagi lagi atas akta resmi (authentiek) dan surat-surat akta di
bawah tangan (onderhands).
Suatu
akta resmi (authentiek) ialah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan
seorang pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat
surat-surat akta tesebut. Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim,
jurusita pada suatu pengadilan, Pegawai Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgelijke
Stand), dsb.
Menurut
undang-undang suatu akta resmi (authentiek) mempunyai suatu kekuatan pembuktian
sempurna (volledig bewijs), artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akta
resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan didalam akta
itu, sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim tidak boleh memerintahkan
penambahan pembuktian lagi.
Suatu
akta di bawah tangan (onderhands) ialah tiap akta yang tidak dibuat oleh atau
dengan perantara seorang pejabat umum. Misalnya, surat perjanjian jual-beli
atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani sendiri oleh kedua
belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang menandatangani
surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal tandatangannya, yang
berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam
surat perjanjian itu, maka akta dibawah tangan tersebut memperoleh suatu
kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akta resmi.
Akan
tetapi jika tanda tangan itu disangkal, maka pihak yang mengajukan surat
perjanjian tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran penandatanganan atau
isi akta tersebut. Ini adalah suatu hal yang sebaliknya dari apa yang berlaku
terhadap suatu akta resmi. Barang siapa menyangkal tanda tangannya pada suatu
akta resmi, diwajibkan membuktikan bahwa tanda tangan itu palsu, dengan kata
lain, pejabat umum (notaris) yang membuat akta tersebut telah melakukan
pemalsuan surat.
Berbagai
tulisan-tulisan lain, artinya tulisan yang bukan akta seperti surat, faktur,
catatan yang dibuat oleh suatu pihak, dsb. Yang kekuatan pembuktiannya
diserahkan kepada pertimbangan hakim, hakim leluasa untuk mempercayai atau
tidak mempercayai kebenarannya.
2. Bukti dengan Saksi, diatur dalam Pasal
169 – 172[5]
Sesudah
pembuktian dengan tulisan, pembuktian dengan kesaksian merupakan cara
pembuktian yang terpenting dalam perkara yang sedang diperiksa didepan hakim. Suatu
kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri
atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi itu hanya
mendengar saja tentang adanya peristiwa dari orang lain.
Selanjutnya
tidak boleh pula keterangan saksi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang
ditariknya dari peristiwa yang dilihat atau dialaminya, karena hakimlah yang
berhak menarik kesimpulan-kesimpulan itu. Kesaksian bukanlah suatu alat
pembuktian yang sempurna dan mengikat hakim, tetapi terserah pada hakim untuk
menerimanya atau tidak. Artinya, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak
mempercayai keterangan seorang saksi.
Seorang
saksi yang sangat rapat hubungan kekeluargaan dengan pihak yang berperkara,
dapat ditolak oleh pihak lawan, sedangkan saksi itu sendiri dapat meminta
dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian. Selanjutnya,
undang-undang menetapkan bahwa keterangan satu saksi tidak cukup. Artinya,
hakim tidak boleh mendasarkan putusan tentang kalah menangnya suatu pihak atas
keterangannya satu saksi saja. Jadi kesaksian itu selalu harus ditambah dengan
suatu alat pembuktian lain.
3. Persangkaan, diatur dalam Pasal 173
Persangkan
ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan
nyata. Dari peristiwa yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan bahwa suatu
peristiwa lain yang dibuktikan juga telah terjadi. Dalam pembuktian, ada dua
macam persangkaan, ada persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang sendiri
(watterlijk vermoeden) dan persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk
vermoeden).[6]
Persangkaan
yang ditetapkan oleh undang-undang (watterlijk vermoeden), pada hakekatnya
merupakan suatu pembebasan dari kewajiban membuktikan suatu hal untuk
keuntungan salah satu pihak yang berperkara. Misalnya, adanya tiga kwitansi
pembayaran sewa rumah yang berturut-turut. Menurut UU menimbulkan suatu
persangkaan, bahwa uang sewa untuk waktu yang sebelumnya juga telah dibayar
olehnya.
Persangkaan
yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden), terdapat pada pemeriksaan
suatu perkara dimana tidak terdapat saksi-saksi yang dengan mata kepalanya sendiri
telah melihat peristiwa itu. Misalnya, dalam suatu perkara dimana seorang suami
mendakwa istrinya berbuat zina dengan lelaki lain. Hal ini tentunya sangat
sukar memperoleh saksi-saksi yang melihat dengan mata kepalanya sendiri
perbuatan zina itu. Akan tetapi, jika ada saksi-saksi yang melihat si istri itu
menginap dalan satu kamar dengan seorang lelaki sedangkan didalam kamar
tersebut hanya ada satu buah tempat tidur saja, maka dari keterangan
saksi-saksi itu hakim dapat menetapkan suatu persangkaan bahwa kedua orang itu
sudah melakukan perbuatan zina. Dan memang dalam perbuatan zina itu lazimnya
hanya dapat dibuktikan dengan persangkaan.
4. Pengakuan, diatur dalam Pasal 174 – 176
Sebenarnya
pengakuan bukan suatu alat pembuktian, karena jika suatu pihak mengakui sesuatu
hal, maka pihak lawan dibebaskan untuk membuktikan hak tersebut, sehingga tidak
dapat dikatakan pihak lawan ini telah membuktikan hal tersebut. Sebab
pemeriksaan didepan hakim belum sampai pada tingkat pembuktian.
Menurut
undang-undang, suatu pengakuan di depan hakim, merupakan suatu pembuktian yang
sempurna tentang kebenaran hal atau peristiwa yang diakui. Ini berarti, hakim
terpaksa untuk menerima dan menganggap, suatu peristiwa yang telah diakui
memang benar-benar telah terjadi, meskipun sebetulnya ia sendiri tidak percaya
bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh telah terjadi. Adakalanya, seorang tergugat
dalam suatu perkara perdata mengakui suatu peristiwa yang diajukan oleh
penggugat, tetapi sebagai pembelaan mengajukan suatu peristiwa lain yang
menghapuskan dasar tuntutan. Misalnya, ia mengakui adanya perjanjian jual beli,
tetapi mengajukan bahwa ia sudah membayar harganya barang yang telah ia terima
dari penggugat. Menurut UU suatu pengakuan yang demikian, oleh hakim tidak
boleh dipecah-pecah hingga merugian kedudukkan pihak tergugat didalam proses
yang telah berlangsung itu.
Dengan
kata lain, suatu pengakuan yang disertai suatu peristiwa pembebasan oleh UU
tidak dianggap sebagai suatu pengakuan (onplitsbare bekentenis). Jadi dalam
praktek, si penjual barang masih harus membuktikan adanya perjanjian jual beli
dan terjadinya penyerahan barang yang telah dibelinya itu pada si pembeli. Perlu
diterangkan, bahwa dalam suatu hal UU melarang dipakai pengakuan sebagai alat
pembuktian dalam suatu proses, yaitu dalam suatu perkara yang diajukan oleh
seorang istri terhadap suaminya untuk mendapatkan pemisahan kekayaan.
5. Sumpah, diatur dalam Pasal 177
Menurut
UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang ”menentukan” (decissoire eed)
dan ”tambahan” (supletoir eed)[7].
Sumpah yang ”menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh
salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk
mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak lawan
mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang
memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia
tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia akan dikalahkan.
Pihak
yang diperintahkan mengangkat sumpah, mempunyai hak untuk ”mengembalikan”
perintah itu, artinya meminta kepada pihak lawannya sendiri mengangkat sumpah
itu. Tentu saja perumusan sumpah yang dikembalikan itu sebaliknya dari
perumusan semula. Misalnya, jika rumusan yang semula berbunyi : ”Saya bersumpah
bahwa sungguh-sungguh Saya telah menyerahkan barang” perumusan sumpah yang
dikembalikan akan berbunyi ”Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya tidak
menerima barang”. Jika sumpah dikembalikan, maka pihak yang semula
memerintahkan pengangkatan sumpah itu, akan dimenangkan oleh hakim apabila ia
mengangkat sumpah itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan apabila dia menolak
pengangkatan sumpah itu.
Jika
suatu pihak yang berperkara hendak memerintahkan pengangkatan suatu sumpah yang
menentukan, hakim harus mempertimbangkan dahulu apakah ia dapat mengizinkan
perintah mengangkat sumpah itu. Untuk itu hakim memeriksa apakah hal yang
disebutkan dalam perumusan sumpah itu sungguh-sungguh mengenai suatu perbuatan
yang telah dilakukan sendiri oleh pihak yang mengangkat sumpah atau suatu
peristiwa yang telah dilihat sendiri oleh pihak itu. Selanjutnya harus
dipertimbangkan apakah sungguh-sungguh dengan terbuktinya hal yang disumpahkan
itu nanti perselisihan antara kedua pihak yang berperkara itu dapat diakhiri,
sehingga dapat dikatakan bahwa sumpah itu sungguh-sungguh ”menentukan” jalannya
perkara.
Suatu
sumpah tambahan, adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah
satu pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu
perkara sudah terdapat suatu ”permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan
penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas
dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan
memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan
permulaan pembuktian.
Pihak
yang mendapat perintah untuk mengangkat suatu sumpah tambahan, hanya dapat
mengangkat atau menolak sumpah itu. Tetapi ia tak dapat ”mengembalikan” sumpah
tersebut kepada pihak lawan. Sebenarnya, terhadap sumpah tambahan ini pun dapat
dikatakan, bahwa ia menentukan juga jalannya perkara, sehingga perbedaan
sebenarnya dengan suatu sumpah decissoir ialah, bahwa yang belakangan
diperintahkan oleh suatu pihak yang beperkara kepada pihak lawannya, sedangkan
sumpah tambahan diperintahkan oleh hakim karena jabatannya, jadi atas kehendak
hakim itu sendiri.
Menurut
Prof. Wiryono Prodjodikoro, alat-alat bukti yang terdapat dalam Pasal 164 HIR,
tidak semuanya merupakan alat bukti, sebagai contoh misalnya persangkaan dan
sumpah. Persangkaan hanya merupakan kesimpulan yang ditarik oleh undang-undang
atau Hakim dari hal-hal yang sudah jelas terhadap hal-hal yang belum jelas. Di
sisi lain, sumpah hanya merupakan perjanjian/ pernyataan yang dikehendaki oleh
para pihak, sehingga kebenaran dari sumpah tersebut tidak terjamin. Maka dari
itu Prof. Wiryono Prodjodikoro berpendapat bahwa alat-alat bukti dalam Pasal
164 HIR itu harus ditambah :
·
Pengetahuan
Hakim
·
Keterangan
Ahli
Selain
itu, di luar Pasal 164 HIR masih mengenal alat bukti lain yakni pemeriksaan di
tempat atau descente, yaitu pemeriksaan mengenai perkara oleh karena jabatannya
yang dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan Pengadilan agar hakim dapat
melihat sendiri dan memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian
tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi sengketa. Seiring dengan perkembangan
teknologi dewasa ini harusnya diikuti pula dengan perkembangan hukum
pembuktian. Kini bentuk dokumen bukan saja berbentuk kertas, melainkan dapat berbentuk
film, foto, email, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
A.
Pembuktian
ini adalah memberikan keterangan kepada hakim akan kebenaran peristiwa yang
menjadi dasar guagatan/ bantahan dengan alat-alat bukti yang tersedia. Perlu
diperhatikan lagi bahwasanya Hukum pembuktian dalam hukum acara perdata
menduduki tempat yang amat penting. Secara formal, hukum pembuktian mengatur
cara bagaimana mengadakan pembuktian seperti terdapat di dalam HIR/ Rbg.
B.
Dalam
pembuktian kita mengenal beberapa teori antara lain ( Krisna Harahap, 2003 : 69
– 70 )
1.
Teori hukum subyektif ( teori hak ) Dalam teori ini menetapkan bahwa barang
siapa yang mengaku atau mengemukakan suatu hak maka yang bersangkutan harus
membuktikannya.
2. Teori hukum Obyektif Teori ini mngajarkan
bahwa seorang hakim harus melaksanakan peraturan hukum ayas fakta-fakta untuk
menemukan kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya.
3.
Teori hukum acara dan teori kelayakan
Kedua
teori ini bermuara pada hasil yang sama, yakni hakim semestinya berdasarkan
kepatutan membagi beban pembuktian.Hukum pembuktian secara formil mengatur
bagaimana mengadakan pembuktian seperti yang terdapat dalam HIR/ Rbg, sedangkan
dalam arti materiil mengatur dapat tidaknya diterima pembuktian dengan
alat-alat ukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktian dari bukti
itu. Di sini, hal yang perlu dinuktikan hanyalah hal yang dibantah oleh pihak
lawan saja. Hal-hal yang tidak perlu dibuktikan antara lain sebagai berikut:
1.
Notoire feiten, yakni fakta/keadaan yang diperkirakan sudah diketahui oleh
umum.
2.
Pengakuan , yaitu bila tergugat mengakui apa yang digugat oleh penggugat
3.
Processueele, yaitu fakta-fakta yang ditemukan hakim di muka sidang.
C. Dalam Pasal 164 HIR disebutkan ada 5
macam alat bukti yaitu :
6. Surat atau bukti tertulis, diatur dalam
Pasal 165 – 169.
Menurut
undang-undang, surat-surat dapat dibagi dalam surat-surat akta dan surat-surat
lain. Surat akta ialah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan
sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akta harus selalu ditandatangani.
Surat-surat
akta dapat dibagi lagi atas akta resmi (authentiek) dan surat-surat akta di
bawah tangan (onderhands).
Suatu
akta resmi (authentiek) ialah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan
seorang pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat
akta tesebut. Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim, jurusita pada
suatu pengadilan, Pegawai Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgelijke Stand), dsb.
Menurut
undang-undang suatu akta resmi (authentiek) mempunyai suatu kekuatan pembuktian
sempurna (volledig bewijs), artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akta
resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan didalam akta
itu, sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim tidak boleh memerintahkan
penambahan pembuktian lagi.
Suatu
akta di bawah tangan (onderhands) ialah tiap akta yang tidak dibuat oleh atau
dengan perantara seorang pejabat umum. Misalnya, surat perjanjian jual-beli
atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani sendiri oleh kedua
belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang menandatangani
surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal tandatangannya, yang
berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam
surat perjanjian itu, maka akta dibawah tangan tersebut memperoleh suatu
kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akta resmi.
7. Bukti dengan Saksi, diatur dalam Pasal
169 – 172
Sesudah
pembuktian dengan tulisan, pembuktian dengan kesaksian merupakan cara
pembuktian yang terpenting dalam perkara yang sedang diperiksa didepan hakim. Suatu
kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri
atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi itu hanya
mendengar saja tentang adanya peristiwa dari orang lain.
8. Persangkaan, diatur dalam Pasal 173
Persangkan
ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan
nyata. Dari peristiwa yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan bahwa suatu
peristiwa lain yang dibuktikan juga telah terjadi. Dalam pembuktian, ada dua
macam persangkaan, ada persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang sendiri
(watterlijk vermoeden) dan persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk
vermoeden).
9. Pengakuan, diatur dalam Pasal 174 – 176
Sebenarnya
pengakuan bukan suatu alat pembuktian, karena jika suatu pihak mengakui sesuatu
hal, maka pihak lawan dibebaskan untuk membuktikan hak tersebut, sehingga tidak
dapat dikatakan pihak lawan ini telah membuktikan hal tersebut. Sebab
pemeriksaan didepan hakim belum sampai pada tingkat pembuktian.
10. Sumpah, diatur dalam Pasal 177
Menurut
UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang ”menentukan” (decissoire eed)
dan ”tambahan” (supletoir eed). Sumpah yang ”menentukan” (decissoire eed)
adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada
pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh
hakim. Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri
oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan,
sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia akan
dikalahkan.
·
Menurut
Prof. Wiryono Prodjodikoro, alat-alat bukti yang terdapat dalam Pasal 164 HIR,
tidak semuanya merupakan alat bukti, sebagai contoh misalnya persangkaan dan
sumpah. Persangkaan hanya merupakan kesimpulan yang ditarik oleh undang-undang
atau Hakim dari hal-hal yang sudah jelas terhadap hal-hal yang belum jelas. Di
sisi lain, sumpah hanya merupakan perjanjian/ pernyataan yang dikehendaki oleh
para pihak, sehingga kebenaran dari sumpah tersebut tidak terjamin. Maka dari
itu Prof. Wiryono Prodjodikoro berpendapat bahwa alat-alat bukti dalam Pasal
164 HIR itu harus ditambah :
·
Pengetahuan
Hakim
·
Keterangan
Ahli
Selain
itu, di luar Pasal 164 HIR masih mengenal alat bukti lain yakni pemeriksaan di
tempat atau descente, yaitu pemeriksaan mengenai perkara oleh karena jabatannya
yang dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan Pengadilan agar hakim dapat
melihat sendiri dan memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian
tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi sengketa. Seiring dengan perkembangan
teknologi dewasa ini harusnya diikuti pula dengan perkembangan hukum
pembuktian. Kini bentuk dokumen bukan saja berbentuk kertas, melainkan dapat berbentuk
film, foto, email, dan sebagainya.
DAFTAR
PUSTAKA
Subekti
. Pokok pokok Hukum Perdata. Jakarta. PT Intermasa . 2005.
Mertokusumo,
Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta. Liberty. 2006.
Subekti
. Kitab Undang undang Hukum Acara. Jakarta. PT Pradya Paramita. 2005.
Retnowulan
. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek. Bandung. CV Mandar Maju.
2005.
Abdul
Kadair Muhammad. Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung. Citra Aditya
Bakti. 1990.
Harahap
Krisna. Hukum Acara Perdata. Bandung. Grafiti. 2003.
[1] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia , Hal. 134-136.
[2] R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
Cet. XXV, Hal. 475
[3] Retnowulan, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Hal. 60.
[4] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, hal 178-180
[5] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, hal 141.
[6] Krisna Harahap . Hukum Acara Perdata . hal 89.
[7] Abdulkadir Muhammad , Hukum Acara Perdata Indonesia. Hal 91.
No comments:
Post a Comment